Perjalanan Bujangga Manik
Perjalanan Bujangga Manik merupakan salah satu peninggalan dari naskah berbahasa Sunda .
Naskah ini ditulis pada daun nipah, dalam puisi naratif berupa lirik yang terdiri dari delapan suku kata, dan saat ini disimpan di Perpustakaan Bodley di Oxford sejak tahun 1627 (MS Jav. b. 3 (R), cf. Noorduyn 1968:469, Ricklefs/Voorhoeve 1977:181). Naskah Bujangga Manik seluruhnya terdiri dari 29 daun nipah, yang masing-masing berisi sekitar 56 baris kalimat yang terdiri dari 8 suku kata.
Yang menjadi tokoh dalam naskah ini adalah Prabu Jaya Pakuan alias Bujangga Manik, seorang resi Hindu dari Kerajaan Sunda yang, walaupun merupakan seorang prabu pada keraton Pakuan Pajajaran (ibu kota kerajaan, yang bertempat di wilayah yang sekarang menjadi kota Bogor), lebih suka menjalani hidup sebagai seorang resi. Sebagai seorang resi, dia melakukan dua kali perjalanan dari Pakuan Pajajaran ke Jawa. Pada perjalanan kedua Bujangga Manik malah singgah di Bali untuk beberapa lama. Pada akhirnya Bujangga Manik bertapa di sekitar Gunung Patuha sampai akhir hayatnya.[1] Jelas sekali, dari ceritera dalam naskah tersebut, bahwa naskah Bujangga Manik berasal dari zaman sebelum Islam masuk ke Tatar Sunda. Naskah tersebut tidak mengandung satu pun kata-kata yang berasal dari bahasa Arab. Penyebutan Majapahit, Malaka dan Demak Demak memungkinkan kita untuk memperkirakan bahwa naskah ini ditulis dalam akhir tahun 1400-an atau awal tahun 1500-an.[2] Naskah ini sangat berharga karena menggambarkan topografi pulau Jawa pada sekitar abad ke-15. Lebih dari 450 nama tempat, gunung, dan sungai disebutkan di dalamnya. Sebagian besar dari nama-nama tempat tersebut masih digunakan atau dikenali sampai sekarang.
Ringkasan Naskah
Nama penulis naskah ini, Prabu Jaya Pakuan, muncul pada baris ke-14. Nama alias dari penulis, yaitu Bujangga Manik, dapat ditemukan mulai baris ke-456. Dalam baris 15-20 diceritakan bahwa dia akan meninggalkan ibunya untuk pergi ke arah timur. Dia sangat teliti dalam menceritakan keberangkatannya. Dari kebiasaannya kita tahu bahwa dia mengenakan ikat kepala ("saceundung kaen" dalam baris 36).
Kemudian dia memulai perjalanan pertamanya yang dia lukiskan secara terperinci. Waktu Bujangga Manik mendaki daerah Puncak, dia menghabiskan waktu, seperti seorang pelancong zaman modern, dia duduk, mengpasi badannya dan menikmati pemandangan, khususnya Gunung Gede yang, pada baris ke 59 sampai 64, dia sebut sebagai titik tertinggi dari kota Pakuan (ibukota Kerajaan Sunda).
Dari Puncak dia melanjutkan perjalanan sampai menyeberangi Ci Pamali (sekarang lebih sering disebut Kali Brebes) untuk masuk ke daerah Jawa. Di daerah Jawa dia mengembara ke berbagai desa yang termasuk kerajaan Majapahit dan juga kerajaan Demak. Sesampai di Pamalang, Bujangga Manik merindukan ibunya (baris 89) dan memutuskan untuk pulang. Namun pada kesempatan ini, dia lebih suka untuk lewat laut dan menaiki kapal yang datang dari Malaka. Kesultanan Malaka mulai pertengahan abad ke-15 sampai ditaklukkan oleh Portugis menguasai perdagangan pada perairan ini.
Keberangkatan kapal dari pelabuhan dilukiskan seperti upacara pesta (baris 96-120): bedil ditembakkan, alat musik dimainkan, beberapa lagu dinyanyikan dengan keras oleh awak kapal; gambaran terperinci mengenai bahan yang digunakan untuk membuat kapal diceritakan: berbagai jenis bambu dan rotan, tiang dari kayu laka, juru mudi yang berasal dari India juga disebutkan; Bujangga Manik benar-benar terpesona karena awak kapal berasal dari berbagai tempat atau bangsa.
Perjalanan dari Pamalang ke Kalapa, pelabuhan Kerajaan Sunda, ditempuh dalam setengah bulan. (baris 121), yang memberi kesan bahwa kapal yang ditumpangi tersebut berhenti di berbagai tempat di antara Pamalang dan Kalapa. Dari perjalanan tersebut, Bujangga Manik membuat nama alias lainnya yaitu Ameng Layaran. Dari Kalapa, Bujangga Manik melewati Pabeyaan dan meneruskan perjalanan ke istana kerajaan di Pakuan, di bagian selatan kota Bogor sekarang (Noorduyn 1982:419). Bujangga Manik memasuki Pakancilan (baris 145), terus masuk ke paviliun yang dihias cantik dan duduk di sana. Dia melihat ibunya sedang menenun, teknik menenunnya dijelaskan dalam baris (160-164). Ibunya terkejut dan bahagia melihat anaknya pulang kembali. Dia segera meninggalkan pekerjaannya dan memasuki rumah dengan melewati beberapa lapis tirai, dan naik ke tempat tidurnya.
Ibu Bujangga Manik menyiapkan sambutan buat anaknya, menghidangkan sebaki bahan untuk mengunyah sirih, menyisirkan rambutnya, dan mengenakan baju mahal. Dia kemudian turun dari kamar tidurnya, keluar dari rumah, pergi ke paviliun dan menyambut anaknya. Bujangga Manik menerima perlengkapan mengunyah sirih yang ditawarkan ibunya.
Pada bagian berikutnya, diceritakan mengenai putri Ajung Larang Sakean Kilat Bancana. Jompong Larang, pesuruh putri Ajung Larang meninggalkan istananya, menyeberangi Ci (Sungai) Pakancilan dan datang ke istana Bujangga Manik. Di istana tersebut dia bertemu seorang asing yang sedang mengunyah sirih yang ternyata adalah Bujangga Manik. Jompong Larang terpesona dengan ketampanan Bujangga Manik (baris 267-273).
Sekembalinya ke istana majikannya, Jompong Larang menemui putri Ajung Larang yang kebetulan sedang sibuk menenun. Uraian mengenai cara menenunnya diterangkan dalam baris (279-282). Putri, yang mengenakan gaun serta di sampingnya ada kotak impor dari Cina (284-290), melihat Jompong Larang yang terburu-buru, menaiki tangga dan kemudian duduk di sampingnya.
Putri menanyakan pesan apa yang dibawanya. Jompong Larang mengatakan bahwa dia melihat pria yang sangat tampan, sepadan bagi putri Ajung Larang. Dia menceritakan bahwa Ameng Layaran lebih tampan daripada Banyak Catra atau Silih Wangi, atau sepupu sang putri (321), atau siapapun itu. Lebih dari itu, pria itu pintar membuat sajak dalam daun lontar serta bisa berbahasa Jawa (baris 327). Putri Ajung Larang langsung dihinggapi rasa cinta. Dia kemudian menghentikan pekerjaan menenunnya dan memasuki rumah. Di sana dia sibuk menyiapkan hadiah bagi pria muda tersebut, yang terdiri dari berbagai perlengkapan mengunyah sirih, menggunakan bahan-bahan yang indah, dengan sangat hati-hati. Putri juga menambahkan koleksi wangi-wangian yang sangat mahal: "seluruh wewangian tersebut berasal dari luar negeri", juga baju dan sebuah keris yang indah.
Ibu Bujangga Manik mendesak anaknya untuk menerima hadiah dari putri Ajung Larang kemudian menggambarkan kecantikan putri yang luar biasa serta pujian-pujian lainnya. Ibunya juga mengatakan bahwa putri berkeinginan untuk meyerahkan dirinya kepada Bujangga Manik serta mengucapkan kata-kata yang tidak pernah disampaikan putri Ajung Larang, "Saya akan menyerahkan diri saya. Saya akan menyambar seperti elang, menerkam seperti harimau, meminta diterima sebagai kekasih (530-534). Ameng Layaran terkejut mendengar ucapan-ucapan ibunya yang antusias dan menyebutnya sebagai kata-kata terlarang (carèk larangan) dan bertekad untuk menolak hadiah tersebut dengan kata-kata yang panjang juga (baris 548-650). Dia meminta ibunya bersama Jompong Larang untuk mengembalikan hadiah tersebut kepada putri serta menghibur putri. Dia lebih suka untuk hidup sendiri dan menjaga ajaran yang dia terima selama perjalanannya ke Tanah Jawa, di pesantren di lereng Gunung Merbabu (yang dia sebut dalam naskah ini sebagai Gunung Damalung dan Pamrihan). Untuk itulah Bujangga Manik terpaksa harus meninggalkan ibunya. (baris 649-650).
Bujangga Manik mengambil tasnya yang berisi buku besar (apus ageung) dan siksaguru, juga tongkat rotan serta pecut. Dia kemudian mengatakan bahwa dia akan pergi lagi ke timur, ke ujung timur pulau Jawa untuk mencari tempat nanti dia dikuburkan, untuk mencari "laut untuk hanyut, suatu tempat untuk kematiannya, suatu tempat untuk merebahkan tubuhnya" (663-666). Dengan kata-kata yang dramatis ini dia meninggalkan istana dan memulai pengembaraan panjangnya.
Dia meneruskan perjalanannya ke timur, menuliskan banyak sekali nama tempat yang sebagian masih digunakan sampai sekarang.
MEDIA INFORMASI AJARAN LELUHUR HINDU DHARMA MELALUI GARIS PERGURUAN BHUJANGGA DHARMA INDONESIA MELIPUTI MAHARSI MARKHANDYA, MAHARSI MATHURA, DAN IDA RSI BHAGAWANTA MUSTIKA.
Om namā bhujanggā bħuddayā.
Om awighnam astu namā śidyam. Om prânamyam sirā sang widyam, bhukti bhukti hitartwatam, prêwaksyā tatwam widayah, wişņu wangsā pādāyā śiwanêm, sirā ghranā sitityam waknyam. Rajastryam mahā bhalam, sāwangsanirā mongjawam, bhupa-lakam, satyamloka. Om namadewayā, pānamaskaraning hulun, ri bhatarā hyang mami. Om kara panga bali puspanam. Prajā pasyā. nugrah lakam, janowa papā wināsayā, dirgha premanaming sang ngadyut, sembahing ngulun ri sanghyang bhumi patthi, hanugrahaneng hulun, muncar anākna ikang tatwa, prêtthi entananira sang bhujanggā wişņawa, tan katamanan ulun hupadrawa, tan kêneng tulah pāmiddi, wastu pari purņā hanmu rahayu, ratkeng kulā warggā sāntanannirā, mamastu jagatitayā. Ong namasiwaya, ong nama bhuddayā. Om namā bhujanggā bħuddayā.
Kamis, 14 Oktober 2010
Senin, 11 Oktober 2010
ANGGARAN DASAR MAHA WARGA BHUJANGGA WAISNAWA
ANGGARAN DASAR
MAHA WARGA BHUJANGGA WAISNAWA
PEMBUKAAN
Atas Asung Kertha Wara Nugraha Ida Sang Hyang Widhi Wasa / Tuhan Yang Maha Esa, serta didorong oleh kesadaran yang mendalam, maka Maha Warga Bhujangga Waisnawa telah sampai pada tahap pencapaian cita-cita luhur untuk melaksanakan pembangunan keluarga, yaitu mewujudkan persatuan, kesatuan, kebersamaan, kekeluargaan, meningkatkan kesejahteraan lahir dan bathin berdasarkan ajaran Agama Hindhu.
Sesungguhnya keberadaan Maha Warga Bhujangga Waisnawa, sesuai sejarah dalam prasastinya, adalah sebagai warga yang merupakan keturunan dan penerus dari semangat para Leluhur Bhujangga Waisnawa, yaitu penganut ajaran yang menitikberatkan pandangan kepada Dasar dan Filsafat Agama Hindhu, yaitu : Tat Wan Asi, Ahimsa, dan Satyam.
Maha Warga Bhujangga Waisnawa, senantiasa sadar dengan dirinya sebagai bagian dari Umat Hindhu dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia, serta bersama-sama membina semangat persatuan dalam membangun manusia Indonesia seutuhnya.
Untuk mewujudkan cita-cita tersebut, Maha Warga Bhujangga Waisnawa selalu bekerja keras dalam bentuk karya-nyata sesuai swadharmanya masing-masing.
Berdasarka hal tersebut di atas, maka Maha Warga Bhujangga Waisnawa menghimpun diri dalam suatu wadah organisasi dengan Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga (ART) sebagai berikut :
BAB I
NAMA, WAKTU, DAN KEDUDUKAN
Pasal-1
Organisasi ini bernama Kemoncolan Maha Warga Bhujangga Waisnawa yang selanjutnya dalam Anggaran Dasar ini disebut Kemoncolan Maha Warga Bhujangga Waisnawa
Pasal-2
Kemoncolan Maha Warga Bhujangga Waisnawa didirikan pada Tahun 1930 untuk jangka waktu yang tidak ditentukan.
Pasal-3
Kemoncolan Pusat Maha Warga Bhujangga Waisnawa berkedudukan di Denpasar-Bali, dengan membentuk Moncol Provinsi, Moncol Kabupaten / Kota, Moncol Kecamatan, dan Moncol Dadia / Kelompok di seluruh Indonesia.
BAB II
AZAS, SIFAT, DAN TUJUAN
Pasal-4
Maha Warga Bhujangga Waisnawa berazaskan :
1. Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945,
2. Agama Hindú,
3. Dharma, Dresta, Sima, dan Sesana Bhujangga Waisnawa.
Pasal-5
Kemoncolan Maha Warga Bhujangga Waisnawa bersifat keagamaan (religius), memelihara nilai-nilai budaya (cultur), mengedepankan rasa kekeluargaan (familiar), berdasarkan musyawarah-mufakat dan gotong-royong untuk mencapai suasana rukun dan damai.
Pasal-6
Kemoncolan Maha Warga Bhujangga Waisnawa memiliki tujuan sebagai berikut :
1. Meningkatkan kesadaran Berbangsa dan Bernegara dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
2. Meningkatkan pemahaman ajaran Agama Hindú.
3. Membina kerukunan dengan Umat ber-Agama lainnya dan dengan para penganut kepercayaan di Indonesia.
4. Membina rasa kekeluargaan dan kebersamaan dalam wadah Kemoncolan Maha Warga Bhujangga Waisnawa.
5. Menyatukan cara pandang dan sikap dalam melaksanakan tugas-tugas luhur Bhujangga Waisnawa.
BAB III
KEGIATAN
Pasal-7
Kemoncolan Maha Warga Bhujangga Waisnawa melakukan kegiatan sebagai berikut :
1. Memperdalam ajaran Agama Hindhú serta meningkatkan srada-bhakti kepada Leluhur dan Ida Sang Hyang Widhi Wasa.
2. Melakukan Sila Krama sehinggá tercapainya rasa kekeluargaan yang rukun dan damai.
3. Menyelenggarakan kegiatan yang bersifat sosial-budaya.
4. Mengadakan kegiatan yang bersifat ekonomi guna meningkatkan kesejahteraan anggota.
5. Memelihara dan melestarikan tempat-tempat suci peninggalan Leluhur Bhujangga Waisnawa dan menghimpun dan melestarikan sastra-sastra suci.
BAB IV
KEANGGOTAAN
Pasal-8
1. Keanggotaan Kemoncolan Maha Warga Bhujangga Waisnawa ádalah setiap orang yang memiliki keyakinan sebagai keturunan Bhujangga Waisnawa.
2. Syarat-syarat keanggotaan Maha Warga Bhujangga Waisnawa dimuat dalam Anggaran Rumah Tangga.
BAB V
SUSUNAN ORGANISASI / MONCOL
Pasal-9
Susunan Kemoncolan Maha Warga Bhujangga Waisnawa adalah sebagai berikut :
1. Moncol Pusat
2. Moncol Provinsi
3. Moncol Kabupaten / Kota
4. Moncol Kecamatan
5. Moncol Dadia / Kelompok
BAB VI
KEPENGURUSAN
Pasal-10
1. Kepengurusan Kemoncolan Maha Warga Bhujangga Waisnawa adalah sebagai berikut :
a. Moncol Pusat terdiri dari :
1) Pelindung,
2) Dewan Pertimbangan,
3) Pengurus Moncol Harian, dan
4) Pengurus Bidang.
b. Moncol Provinsi terdiri dari :
1) Pembina,
2) Pengurus Moncol Harian, dan
3) Pengurus Bagian.
c. Moncol Kabupaten / Kota terdiri dari :
1) Sesepuh,
2) Pengurus Moncol Harian, dan
3) Seksi.
d. Moncol Kecamatan terdiri dari :
1) Penglingsir, dan
2) Pengurus Moncol Harian.
e. Moncol Dadia / Kelompok terdiri dari :
1) Pengurus Moncol Harian
2. Pelindung adalah Ida Rsi Nabe
3. Dewan Pertimbangan, Pembina, Sesepuh, dan Penglingsir ditetapkan oleh sabha pada tingkatannya masing-masing sebanyak-banyaknya 7 (tujuh) orang,
4. Pengurus Moncol Harian ditetapkan oleh sabha pada tingkatannya masing-masing terdiri dari : Ketua, Wakil Ketua, Sekretaris, Wakil Sekretaris, Bendahara, dan Wakil Bendahara.
5. Pengurus Bidang, Pengurus Bagian, dan Seksi diangkat oleh Ketua Pengurus Moncol Harian.
BAB VII
KEWAJIBAN DAN HAK
Pasal-11
1. Setiap Anggota Kemoncolan Maha Warga Bhujangga Waisnawa memiliki kewajiban sebagai berikut :
a. Menjungjung tinggi kehormatan Kemoncolan Maha Warga Bhujangga Waisnawa,
b. Mentaati ketentuan Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga (ART).
c. Berpartisipasi aktif dalam pelaksanaan program kerja organisasi.
2. Setiap Anggota Kemoncolan Maha Warga Bhujangga Waisnawa berhak mendapatkan pelayanan dari Pengurus Moncol untuk meningkatkan srada bhakti-nya kepada Leluhur dan Ida Sang Hyang Widhi Wasa.
Pasal-12
1. Setiap Pengurus Kemoncolan Maha Warga Bhujangga Waisnawa memiliki kewajiban sebagai berikut :
a. Memajukan organisasi dan melaksanakan tugas-tugas kepengurusan sesuai tingkatannya.
b. Menjunjung tinggi kehormatan Kemoncolan Maha Warga Bhujangga Waisnawa.
c. Melaksaakan amanat Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga (ART).
d. Melaksanakan program kerja.
2. Pengurus Kemoncolan Maha Warga Bhujangga Waisnawa memiliki hak mewakili organisasi baik ke dalam maupun keluar.
3. Pengurus Kemoncolan Maha Warga Bhujangga Waisnawa memiliki hak mengukuhkan kepengurusan organisasi setingkat di bawahnya.
BAB VIII
JENIS SABHA DAN WEWENANGNYA
Pasal-13
Jenis sabha Kemoncolan Maha Warga Bhujangga Waisnawa adalah sebagai berikut :
a. Mahasabha untuk Moncol Pusat
b. Lokasabha untuk Moncol Provinsi dan Kabupaten / Kota
c. Sabha untuk Moncol Kecamatan, dan Moncol Dadia.
Pasal-14
1. Mahasabha diadakan Moncol Pusat, setiap 5 (lima) tahun sekali, memiliki wewenang sebagai berikut :
d. Merubah Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga,
e. Meminta pertanggungjawaban Pengurus Moncol Pusat,
f. Menyusun program kerja Moncol Pusat,
g. Memilih kepengurusan Moncol Pusat,
2. Lokasabha diadakan Moncol Provinsi atau Moncol Kabupaten / Kota setiap 5 (lima) tahun sekali, memiliki wewenang sebagai berikut :
a. Meminta pertanggungjawaban Pengurus Moncol Provinsi atau MoncolKabupaten / Kota.
b. Menyusun program kerja Moncol Provinsi atau Moncol Kabupaten / Kota.
c. Memilih Kepengurusan Moncol Provinsi atau Moncol Kabupaten / Kota.
3. Sabha diadakan Moncol Kecamatan atau Moncol Dadia setiap 5 (lima) tahun sekali, memiliki wewenang sebagai berikut :
a. Meminta pertanggungjawaban Pengurus Moncol Kecamatan atau Moncol Dadia.
b. Menyusun program kerja Moncol Kecamatan atau Moncol Dadia.
c. Memilih kepengurusan Moncol Kecamatan atau Moncol Dadia.
Pasal-15
Ketentuan mengenai kepesertaan sabha diatur dalam Anggaran Rumah Tangga
BAB IX
PENGAMBILAN KEPUTUSAN
Pasal-16
1. Pengambilan keputusan dalam Mahasabha, Lokasabha, dan Sabha dilakuakn dengan cara musyawarah mufakat.
2. Apabila pengambilan keputusan tidak dapat dicapai melalui cara musyawarah mufakat, maka keputusan dapat diambil dengan cara pemungutan suara (votting)
BAB X
KEUANGAN
Pasal-17
Sumber keuangan Kemoncolan Maha Warga Bhujangga Waisnawa adalah :
a. Iuran Anggota,
b. Sumbangan dan bantuan yang sifatnya tidak mengikat, dan
c. Usaha-usaha lain yang sah.
BAB XI
LAMBANG DAN MOTTO
Pasal-18
1. Kemoncolan Maha Warga Bhujangga Waisnawa memiliki Lambang dan Motto organisasi.
2. Ketentuan mengani lambang dan Motto Kemoncolan Maha Warga Bhujangga Waisnawa diatur dalam Anggaran Rumah Tangga.
BAB XII
PERUBAHAN ANGGARAN DASAR
Pasal-19
Perubahan Anggaran Dasar dilakukan dalam forum Mahasabha dengan syarat mendapat persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 (dua per tiga) dari jumlah peserta yang memiliki hak suara.
BAB XIII
PENUTUP
Pasal-20
1. Ketentuan lain tentang Maha Warga Bhujangga Waisnawa yang belum diatur dalam Anggaran Dasar ini selanjutnya diatur dalam Anggaran Rumah Tangga, dan aturaran lainnya yang dibuat oleh Moncol Pusat.
2. Anggaran Dasar ini berlaku sejak ditetapkan.
Ditetapkan di : Denpasar
Pada Tanggal : 10 Oktober 2010
MAHASABHA II
MAHA WARGA BHUJANGGA WAISNAWA
Pimpinan Sidang Paripurna III
Ketua, Sekretaris,
..................................... ...........................................
Wakil Ketua, Anggota,
..................................... ...........................................
Anggota,
..............................................
MAHA WARGA BHUJANGGA WAISNAWA
PEMBUKAAN
Atas Asung Kertha Wara Nugraha Ida Sang Hyang Widhi Wasa / Tuhan Yang Maha Esa, serta didorong oleh kesadaran yang mendalam, maka Maha Warga Bhujangga Waisnawa telah sampai pada tahap pencapaian cita-cita luhur untuk melaksanakan pembangunan keluarga, yaitu mewujudkan persatuan, kesatuan, kebersamaan, kekeluargaan, meningkatkan kesejahteraan lahir dan bathin berdasarkan ajaran Agama Hindhu.
Sesungguhnya keberadaan Maha Warga Bhujangga Waisnawa, sesuai sejarah dalam prasastinya, adalah sebagai warga yang merupakan keturunan dan penerus dari semangat para Leluhur Bhujangga Waisnawa, yaitu penganut ajaran yang menitikberatkan pandangan kepada Dasar dan Filsafat Agama Hindhu, yaitu : Tat Wan Asi, Ahimsa, dan Satyam.
Maha Warga Bhujangga Waisnawa, senantiasa sadar dengan dirinya sebagai bagian dari Umat Hindhu dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia, serta bersama-sama membina semangat persatuan dalam membangun manusia Indonesia seutuhnya.
Untuk mewujudkan cita-cita tersebut, Maha Warga Bhujangga Waisnawa selalu bekerja keras dalam bentuk karya-nyata sesuai swadharmanya masing-masing.
Berdasarka hal tersebut di atas, maka Maha Warga Bhujangga Waisnawa menghimpun diri dalam suatu wadah organisasi dengan Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga (ART) sebagai berikut :
BAB I
NAMA, WAKTU, DAN KEDUDUKAN
Pasal-1
Organisasi ini bernama Kemoncolan Maha Warga Bhujangga Waisnawa yang selanjutnya dalam Anggaran Dasar ini disebut Kemoncolan Maha Warga Bhujangga Waisnawa
Pasal-2
Kemoncolan Maha Warga Bhujangga Waisnawa didirikan pada Tahun 1930 untuk jangka waktu yang tidak ditentukan.
Pasal-3
Kemoncolan Pusat Maha Warga Bhujangga Waisnawa berkedudukan di Denpasar-Bali, dengan membentuk Moncol Provinsi, Moncol Kabupaten / Kota, Moncol Kecamatan, dan Moncol Dadia / Kelompok di seluruh Indonesia.
BAB II
AZAS, SIFAT, DAN TUJUAN
Pasal-4
Maha Warga Bhujangga Waisnawa berazaskan :
1. Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945,
2. Agama Hindú,
3. Dharma, Dresta, Sima, dan Sesana Bhujangga Waisnawa.
Pasal-5
Kemoncolan Maha Warga Bhujangga Waisnawa bersifat keagamaan (religius), memelihara nilai-nilai budaya (cultur), mengedepankan rasa kekeluargaan (familiar), berdasarkan musyawarah-mufakat dan gotong-royong untuk mencapai suasana rukun dan damai.
Pasal-6
Kemoncolan Maha Warga Bhujangga Waisnawa memiliki tujuan sebagai berikut :
1. Meningkatkan kesadaran Berbangsa dan Bernegara dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
2. Meningkatkan pemahaman ajaran Agama Hindú.
3. Membina kerukunan dengan Umat ber-Agama lainnya dan dengan para penganut kepercayaan di Indonesia.
4. Membina rasa kekeluargaan dan kebersamaan dalam wadah Kemoncolan Maha Warga Bhujangga Waisnawa.
5. Menyatukan cara pandang dan sikap dalam melaksanakan tugas-tugas luhur Bhujangga Waisnawa.
BAB III
KEGIATAN
Pasal-7
Kemoncolan Maha Warga Bhujangga Waisnawa melakukan kegiatan sebagai berikut :
1. Memperdalam ajaran Agama Hindhú serta meningkatkan srada-bhakti kepada Leluhur dan Ida Sang Hyang Widhi Wasa.
2. Melakukan Sila Krama sehinggá tercapainya rasa kekeluargaan yang rukun dan damai.
3. Menyelenggarakan kegiatan yang bersifat sosial-budaya.
4. Mengadakan kegiatan yang bersifat ekonomi guna meningkatkan kesejahteraan anggota.
5. Memelihara dan melestarikan tempat-tempat suci peninggalan Leluhur Bhujangga Waisnawa dan menghimpun dan melestarikan sastra-sastra suci.
BAB IV
KEANGGOTAAN
Pasal-8
1. Keanggotaan Kemoncolan Maha Warga Bhujangga Waisnawa ádalah setiap orang yang memiliki keyakinan sebagai keturunan Bhujangga Waisnawa.
2. Syarat-syarat keanggotaan Maha Warga Bhujangga Waisnawa dimuat dalam Anggaran Rumah Tangga.
BAB V
SUSUNAN ORGANISASI / MONCOL
Pasal-9
Susunan Kemoncolan Maha Warga Bhujangga Waisnawa adalah sebagai berikut :
1. Moncol Pusat
2. Moncol Provinsi
3. Moncol Kabupaten / Kota
4. Moncol Kecamatan
5. Moncol Dadia / Kelompok
BAB VI
KEPENGURUSAN
Pasal-10
1. Kepengurusan Kemoncolan Maha Warga Bhujangga Waisnawa adalah sebagai berikut :
a. Moncol Pusat terdiri dari :
1) Pelindung,
2) Dewan Pertimbangan,
3) Pengurus Moncol Harian, dan
4) Pengurus Bidang.
b. Moncol Provinsi terdiri dari :
1) Pembina,
2) Pengurus Moncol Harian, dan
3) Pengurus Bagian.
c. Moncol Kabupaten / Kota terdiri dari :
1) Sesepuh,
2) Pengurus Moncol Harian, dan
3) Seksi.
d. Moncol Kecamatan terdiri dari :
1) Penglingsir, dan
2) Pengurus Moncol Harian.
e. Moncol Dadia / Kelompok terdiri dari :
1) Pengurus Moncol Harian
2. Pelindung adalah Ida Rsi Nabe
3. Dewan Pertimbangan, Pembina, Sesepuh, dan Penglingsir ditetapkan oleh sabha pada tingkatannya masing-masing sebanyak-banyaknya 7 (tujuh) orang,
4. Pengurus Moncol Harian ditetapkan oleh sabha pada tingkatannya masing-masing terdiri dari : Ketua, Wakil Ketua, Sekretaris, Wakil Sekretaris, Bendahara, dan Wakil Bendahara.
5. Pengurus Bidang, Pengurus Bagian, dan Seksi diangkat oleh Ketua Pengurus Moncol Harian.
BAB VII
KEWAJIBAN DAN HAK
Pasal-11
1. Setiap Anggota Kemoncolan Maha Warga Bhujangga Waisnawa memiliki kewajiban sebagai berikut :
a. Menjungjung tinggi kehormatan Kemoncolan Maha Warga Bhujangga Waisnawa,
b. Mentaati ketentuan Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga (ART).
c. Berpartisipasi aktif dalam pelaksanaan program kerja organisasi.
2. Setiap Anggota Kemoncolan Maha Warga Bhujangga Waisnawa berhak mendapatkan pelayanan dari Pengurus Moncol untuk meningkatkan srada bhakti-nya kepada Leluhur dan Ida Sang Hyang Widhi Wasa.
Pasal-12
1. Setiap Pengurus Kemoncolan Maha Warga Bhujangga Waisnawa memiliki kewajiban sebagai berikut :
a. Memajukan organisasi dan melaksanakan tugas-tugas kepengurusan sesuai tingkatannya.
b. Menjunjung tinggi kehormatan Kemoncolan Maha Warga Bhujangga Waisnawa.
c. Melaksaakan amanat Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga (ART).
d. Melaksanakan program kerja.
2. Pengurus Kemoncolan Maha Warga Bhujangga Waisnawa memiliki hak mewakili organisasi baik ke dalam maupun keluar.
3. Pengurus Kemoncolan Maha Warga Bhujangga Waisnawa memiliki hak mengukuhkan kepengurusan organisasi setingkat di bawahnya.
BAB VIII
JENIS SABHA DAN WEWENANGNYA
Pasal-13
Jenis sabha Kemoncolan Maha Warga Bhujangga Waisnawa adalah sebagai berikut :
a. Mahasabha untuk Moncol Pusat
b. Lokasabha untuk Moncol Provinsi dan Kabupaten / Kota
c. Sabha untuk Moncol Kecamatan, dan Moncol Dadia.
Pasal-14
1. Mahasabha diadakan Moncol Pusat, setiap 5 (lima) tahun sekali, memiliki wewenang sebagai berikut :
d. Merubah Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga,
e. Meminta pertanggungjawaban Pengurus Moncol Pusat,
f. Menyusun program kerja Moncol Pusat,
g. Memilih kepengurusan Moncol Pusat,
2. Lokasabha diadakan Moncol Provinsi atau Moncol Kabupaten / Kota setiap 5 (lima) tahun sekali, memiliki wewenang sebagai berikut :
a. Meminta pertanggungjawaban Pengurus Moncol Provinsi atau MoncolKabupaten / Kota.
b. Menyusun program kerja Moncol Provinsi atau Moncol Kabupaten / Kota.
c. Memilih Kepengurusan Moncol Provinsi atau Moncol Kabupaten / Kota.
3. Sabha diadakan Moncol Kecamatan atau Moncol Dadia setiap 5 (lima) tahun sekali, memiliki wewenang sebagai berikut :
a. Meminta pertanggungjawaban Pengurus Moncol Kecamatan atau Moncol Dadia.
b. Menyusun program kerja Moncol Kecamatan atau Moncol Dadia.
c. Memilih kepengurusan Moncol Kecamatan atau Moncol Dadia.
Pasal-15
Ketentuan mengenai kepesertaan sabha diatur dalam Anggaran Rumah Tangga
BAB IX
PENGAMBILAN KEPUTUSAN
Pasal-16
1. Pengambilan keputusan dalam Mahasabha, Lokasabha, dan Sabha dilakuakn dengan cara musyawarah mufakat.
2. Apabila pengambilan keputusan tidak dapat dicapai melalui cara musyawarah mufakat, maka keputusan dapat diambil dengan cara pemungutan suara (votting)
BAB X
KEUANGAN
Pasal-17
Sumber keuangan Kemoncolan Maha Warga Bhujangga Waisnawa adalah :
a. Iuran Anggota,
b. Sumbangan dan bantuan yang sifatnya tidak mengikat, dan
c. Usaha-usaha lain yang sah.
BAB XI
LAMBANG DAN MOTTO
Pasal-18
1. Kemoncolan Maha Warga Bhujangga Waisnawa memiliki Lambang dan Motto organisasi.
2. Ketentuan mengani lambang dan Motto Kemoncolan Maha Warga Bhujangga Waisnawa diatur dalam Anggaran Rumah Tangga.
BAB XII
PERUBAHAN ANGGARAN DASAR
Pasal-19
Perubahan Anggaran Dasar dilakukan dalam forum Mahasabha dengan syarat mendapat persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 (dua per tiga) dari jumlah peserta yang memiliki hak suara.
BAB XIII
PENUTUP
Pasal-20
1. Ketentuan lain tentang Maha Warga Bhujangga Waisnawa yang belum diatur dalam Anggaran Dasar ini selanjutnya diatur dalam Anggaran Rumah Tangga, dan aturaran lainnya yang dibuat oleh Moncol Pusat.
2. Anggaran Dasar ini berlaku sejak ditetapkan.
Ditetapkan di : Denpasar
Pada Tanggal : 10 Oktober 2010
MAHASABHA II
MAHA WARGA BHUJANGGA WAISNAWA
Pimpinan Sidang Paripurna III
Ketua, Sekretaris,
..................................... ...........................................
Wakil Ketua, Anggota,
..................................... ...........................................
Anggota,
..............................................
SAMBUTAN KETUA UMUM MONCOL PUSAT MAHA WARGA BHUJANGGA WAISNAWA
SAMBUTAN KETUA UMUM MONCOL PUSAT
MAHA WARGA BHUJANGGA WAISNAWA
PADA
ACARA PEMBUKAAN MAHASABHA II
Tanggal : 10 Oktober 2010
Om Swastyastu,
1. Singgih Ratu Ida Rsi Nabe sane dahat sucian tityang;
2. Ratu Ida Rsi Bhujangga Waisnawa se-jebag Bali taler sane sucian tityang;
3. Penglingsir Puri se-jebag Bali sane subaktinin tityang.
4. Yang terhormat Bapak Gubernur Bali;
5. Yang kami hormati :
- Bapak Ketua DPRD Provisi Bali,
- Bapak Panglima KODAM IX/Udayana
- Bapak Kapolda Bali;
- Bapak Kepala Kejaksaan Tinggi Bali;
- Kepala Pengadilan Tinggi Denpasar;
- Bapak Wali Kota Denpasar serta Bapak dan Ibu Bupati se-Bali;
- Bapak Ketua DPRD Kabupaten Kota se-Bali
- Ketua PHDI Provinsi Bali dan Ketua PHDI Kabupaten / Kota se-Bali
- Para undangan lainnya yang kami hormati pula,
- Peserta dan Peninjau Mahasabha II Maha Warga Bhujangga Waisnawa sekalian yang berbahagia.
Mengawali sambutan ini ijinkanlah saya mengajak kita semua memanjatkan puji syukur kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa) karena atas Asung Kertha Wara Nugraha-Nya kita semua diberikan kesehatan sehingga bisa hadir di tempat ini dalam keadaan sehat walafiat. Selanjutnya selaku Ketua Umum Moncol Pusat Maha Warga Bhujangga Waisnawa saya menyampaikan rasa hormat dan terimakasih yang setulus-tulusnya kepada semua undangan yang telah berkenan hadir pada acara pembukaan Mahasabha II kali ini. Kehadiran Bapak dan Ibu semua sungguh suatu kehormatan bagi kami.
Bapak Gubernur dan para undangan sekalian,
Mahasabha yang kami gelar ini selain sebagai ajang konsolidasi organisasi pasemetonan Bhujangga Waisnawa, seperti yang diamanatkan oleh Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga yang kami miliki, juga sebagai upaya penataan organisasi dengan menerapkan prinsip-prinsip manajemen modern. Dalam forum Mahasabha inilah kami Maha Warga Bhujangga Waisnawa belajar mengaktualisasikan nilai-nilai demokrasi, transfaransi, dan akuntabilitas itu. Semoga proses pembelajaran ini akan membawa dampak terhadap kemajuan praktek demokrasi di Negara Republik Indonesia yang kita cintai ini. Hal ini kami anggap penting karena jika kita masih bertahan pada pola manajemen tradisional dalam pengelolaan organisasi, pastilah kita akan stagnan dan semakin ditinggal oleh zaman. Karena itulah kemudian kami Maha Warga Bhujangga Waisnawa mencoba membuat tatanan baru dalam organisasi keluarga kami, salah-satunya dengan cara menggelar forum Mahasabha ini. Mahasabha ini kami harapkan akan mampu menghasilkan keputusan-keputusan strategis dalam memajukan organisasi keluarga kami.
Selanjutnya pada kesempatan yang baik ini ijinkanlah saya menyampaikan beberapa hal kehadapan Bapak Gubernur, Bapak / Ibu Bupati, para Penglingsir Puri, Ketua PHDI se-Bali, dan Undangan sekalian, tentang keberadaan dan komitmen Maha Warga Bhujangga Waisnawa sebagai berikut :
Pertama : Secara kuantitas jumlah keluarga kami sampai saat ini sudah mencapai 45.000 KK lebih. Keberadaan mereka tersebar di semua Kabupaten / Kota di Bali bahkan sampai di Lampung, Sulawesi, Jawa Timur, NTB, dan Daerah-daerah lainnya di Idonesia. Serta ada pula yang sekarang berdomisili di Negera lain. Sedangkan jumlah Sulinggih (Ida Rsi) yang bertugas melayani Umat masih sangat terbatas, sampai saat ini kami baru memiliki 45 Sulinggih yang setia melayani semua Umat Hindhu di Bali bahkan sampai ke luar Daerah. Keterbatasan jumlah Sulinggih yang kami miliki, telah diupayakan dengan melakukan Kursus Calon Pemangku dan Sulinggih sampai empat angkatan bekerjasama dengan Dirjen Bimas Hindhu Kementrian Agama RI, Kanwil Kemnterian Agama Provinsi Bali, PHDI Bali, IHD, dan UNHI. Dari hasil kurus tersebut, tidak kurang dari 20 orang yang sudah siap melakukan upacara pediksan.
Kedua : Adapun yang menjadi focus aktifitas Maha Warga Bhujangga Waisnawa ke depan adalah menuntaskan persoalan-persoalan yang menyangkut kesejahteraan umat yang diarahkan untuk mengentaskan kemiskinan, yaitu diantaranya membuat aktivitas ekonomi dalam segala bentuk, seperti : mendirikan lembaga Koperasi, Usaha Pertanian terpadu, UMKM, Aktivitas jasa perdagangan, dll.
Ketiga : Maha Warga Bhujangga Waisnawa pada kesempatan ini juga ingin menyampaikan komitmen kami mendukung semua program pemerintah. Dan kami siap bersama-sama komponen masyarakat lainnya untuk ikut melaksanakan pembangunan di segala bidang. Terutama mendukung kebijakan Pemerintah Provinsi Bali tentang ”Bali Go Green”, karena kebijakan ini kami anggap sangat sejalan dengan ajaran dan tugas-tugas Kebhujanggan.
Hadirin sekalian yang kami hormati,
Jika kita cermati kehidupan di zaman kekinian ini maka kami melihat ada beberapa fenomena menarik, khususnya menyangkut praktek kehidupan ber-Agama di Tanah Air kita ini. Fenomena itu bisa jadi sebagai sebuah persoalan serius yang harus kita pikirkan bersama untuk dicarikan jalan keluarnya.
Pertama : Adanya degradasi pemahaman ”Tatwa Agama”. Lihatlah misalnya akibat tuntutan zaman ini diantara kita ternyata sudah tidak banyak lagi yang paham makna dari upakara dan upacara yang kita lakukan dalam prosesi persembahyangan, sehingga lebih terkesan hanya sebagai ritual belaka.
Kedua : Adanya praktek-praktek yang mengarah kepada komersialisasi Agama. Hal ini nampak pada pembuatan sarana upakara yang cenderung berlebih-lebihan. Sarana upakara itu tidak lagi menekankan pada pemaknaan simbolis, melainkan lebih menonjolkan wujud (perfomance) kebendaannya yang mengabaikan aspek efesiensi. Demikian juga praktek jual-beli sarana upakara telah menjadi bagian dari kehidupan Umat Hindhu saat ini yang di dalamnya berlaku hukum bisnis.
Ketiga : Adanya kecendrungan prilaku masyarakat yang hendak mengaburkan antara ranah Agama dengan ranah Politik. Ajaran Agama yang suci itu sering mendapat muatan-muatan politik praktis yang berorientasi kekuasaan. Sehingga loyalitas Agama menjadi identik dengan loyalitas politik. Hal ini tentu tidak boleh kita biarkan terus berlangsung, karena tujuan Agama pastilah tidak sama dengan tujuan politik itu.
Menurut hemat kami itulah 3 (tiga) persoalan besar yang dihadapi oleh Umat Hindhu saat ini. Kami Maha Warga Bhujangga Waisnawa akan mencoba merumuskan jawaban atas persoalan-persoalan tersebut dalam forum Mahasabha ini.
Peserta dan Peninjau Mahasabha yang saya cintai,
Sungguh suatu kebahagiaan yang tak ternilai harganya bagi kita semua karena saat ini kita sebagai keluarga yang tergabung dalam wadah pasemetonan “Maha Warga Bhujangga Waisnawa” kembali bisa berkumpul dalam suasana yang penuh kekeluargaan yang dilandasi rasa saling asah, asih, dan asuh. Moment ini, seperti komitmen kita 5 (lima) tahun yang lalu di tempat ini pula, kita akan terus adakan setiap 5 (lima) tahun sekali yang kita jadikan ajang konsolidasi dan evaluasi dalam rangka menata organisasi keluarga.
Zaman terus berubah seiring perjalanan waktu, sehingga tidak ada lagi waktu buat kita untuk mempertajam segala perbedaan yang ada, kecuali kita satukan langkah dan kekuatan untuk menghadapi tantangan zaman ke depan. Maha Warga Bhujangga Waisnawa sebagai komunitas yang tak terpisahkan dari Umat Hindu dan sebagai bagian integral dari Bangsa Indonesia sudah saatnya untuk menyumbangkan pikiran dan karyanya demi kemajuan peradaban Umat Manusia di muka Bumi ini. Dengan berbekal semangat demikianlah, saya harapkan, para Peserta dan Peninjau Mahasabha II Maha Warga Bhujangga Waisnawa bermusyawarah dalam forum Mahasabha ini. Sehingga keputusan-keputusan yang dihasilkan dalam forum Mahasabha II ini bukan saja berdampak positif terhadap kemajuan keluarga, tetapi juga memberi ekses terhadap kemajuan Umat Hindhu, Bangsa Indonesia, dan Umat Manusia secara keseluruhan. Tantangan yang paling berat dihadapi oleh Umat manusia saat ini adalah persoalan kebodohan dan kemiskinan, maka saya kira, segala sumber daya yang kita miliki saat ini harus diarahkan untuk memerangi kedua hal tersebut.
Selaku Ketua Umum Moncol Pusat Maha Warga Bhujangga Waisnawa saya menyampaikan penghar-gaan dan terimakasih kepada Panitia Mahasabha II, karena telah bekerja keras memfasilitasi acara kita. Tanpa kerja keras mereka pastilah kita tidak akan bisa berkumpul di tempat ini. Saya tahu mereka semua bekerja dilandasi sikap profesionalisme dan semangat, serta ketulusan hati untuk kemajuan keluarga kita. Karena itulah mari kita hargai kerja keras mereka dengan mengikuti acara Mahasabha II ini dengan sungguh-sungguh.
Saya juga ingin menyampaikan penghargaan dan ucapan terimakasih kepada semua pihak yang telah mendukung dan membantu, baik secara moril maupun materiil, sehingga acara Mahasabha II Maha Warga Bhujangga Waisnawa ini dapat terselenggara dengan baik, aman, dan lancar.
Sebelum saya mengakhiri sambutan ini, dengan hormat kami mohon kesediaan Bapak Gubernur Bali untuk memberikan sambutan dan arahan kepada kami seluruh Peserta dan Peninjau Mahasabha, yang nantinya akan kami jadikan bekal dalam proses pengambilan keputusan organisasi. Dan pada saatnya nanti mohon pula Bapak Gubernur berkenan membuka acara Mahasabha II Maha Warga Bhujangga Waisnawa ini secara resmi. Atas kesediaan Bapak Gubernur kami atas nama keluarga mengucapkan terimakasih.
Akhirnya, kepada seluruh Peserta dan Peninjau Mahasabha II saya sampaikan, “selamat bermusya-warah”, semoga Ida Sang Hyang Widhi Wasa dan para Leluhur menuntun pikiran, perkataan dan perbuatan kita dalam membuat keputusan-keputusan strategis.
Sekian sambutan saya, atas perhatian hadirin sekalian, saya ucapkan terimakasih.
Om Shanti…., Shanti….., Shanti……, Om.
Moncol Pusat
Maha Warga Bhujangga Waisnawa
Ketua,
Gr. Mayjen (Purn) I Ketut Wirdhana
MAHA WARGA BHUJANGGA WAISNAWA
PADA
ACARA PEMBUKAAN MAHASABHA II
Tanggal : 10 Oktober 2010
Om Swastyastu,
1. Singgih Ratu Ida Rsi Nabe sane dahat sucian tityang;
2. Ratu Ida Rsi Bhujangga Waisnawa se-jebag Bali taler sane sucian tityang;
3. Penglingsir Puri se-jebag Bali sane subaktinin tityang.
4. Yang terhormat Bapak Gubernur Bali;
5. Yang kami hormati :
- Bapak Ketua DPRD Provisi Bali,
- Bapak Panglima KODAM IX/Udayana
- Bapak Kapolda Bali;
- Bapak Kepala Kejaksaan Tinggi Bali;
- Kepala Pengadilan Tinggi Denpasar;
- Bapak Wali Kota Denpasar serta Bapak dan Ibu Bupati se-Bali;
- Bapak Ketua DPRD Kabupaten Kota se-Bali
- Ketua PHDI Provinsi Bali dan Ketua PHDI Kabupaten / Kota se-Bali
- Para undangan lainnya yang kami hormati pula,
- Peserta dan Peninjau Mahasabha II Maha Warga Bhujangga Waisnawa sekalian yang berbahagia.
Mengawali sambutan ini ijinkanlah saya mengajak kita semua memanjatkan puji syukur kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa) karena atas Asung Kertha Wara Nugraha-Nya kita semua diberikan kesehatan sehingga bisa hadir di tempat ini dalam keadaan sehat walafiat. Selanjutnya selaku Ketua Umum Moncol Pusat Maha Warga Bhujangga Waisnawa saya menyampaikan rasa hormat dan terimakasih yang setulus-tulusnya kepada semua undangan yang telah berkenan hadir pada acara pembukaan Mahasabha II kali ini. Kehadiran Bapak dan Ibu semua sungguh suatu kehormatan bagi kami.
Bapak Gubernur dan para undangan sekalian,
Mahasabha yang kami gelar ini selain sebagai ajang konsolidasi organisasi pasemetonan Bhujangga Waisnawa, seperti yang diamanatkan oleh Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga yang kami miliki, juga sebagai upaya penataan organisasi dengan menerapkan prinsip-prinsip manajemen modern. Dalam forum Mahasabha inilah kami Maha Warga Bhujangga Waisnawa belajar mengaktualisasikan nilai-nilai demokrasi, transfaransi, dan akuntabilitas itu. Semoga proses pembelajaran ini akan membawa dampak terhadap kemajuan praktek demokrasi di Negara Republik Indonesia yang kita cintai ini. Hal ini kami anggap penting karena jika kita masih bertahan pada pola manajemen tradisional dalam pengelolaan organisasi, pastilah kita akan stagnan dan semakin ditinggal oleh zaman. Karena itulah kemudian kami Maha Warga Bhujangga Waisnawa mencoba membuat tatanan baru dalam organisasi keluarga kami, salah-satunya dengan cara menggelar forum Mahasabha ini. Mahasabha ini kami harapkan akan mampu menghasilkan keputusan-keputusan strategis dalam memajukan organisasi keluarga kami.
Selanjutnya pada kesempatan yang baik ini ijinkanlah saya menyampaikan beberapa hal kehadapan Bapak Gubernur, Bapak / Ibu Bupati, para Penglingsir Puri, Ketua PHDI se-Bali, dan Undangan sekalian, tentang keberadaan dan komitmen Maha Warga Bhujangga Waisnawa sebagai berikut :
Pertama : Secara kuantitas jumlah keluarga kami sampai saat ini sudah mencapai 45.000 KK lebih. Keberadaan mereka tersebar di semua Kabupaten / Kota di Bali bahkan sampai di Lampung, Sulawesi, Jawa Timur, NTB, dan Daerah-daerah lainnya di Idonesia. Serta ada pula yang sekarang berdomisili di Negera lain. Sedangkan jumlah Sulinggih (Ida Rsi) yang bertugas melayani Umat masih sangat terbatas, sampai saat ini kami baru memiliki 45 Sulinggih yang setia melayani semua Umat Hindhu di Bali bahkan sampai ke luar Daerah. Keterbatasan jumlah Sulinggih yang kami miliki, telah diupayakan dengan melakukan Kursus Calon Pemangku dan Sulinggih sampai empat angkatan bekerjasama dengan Dirjen Bimas Hindhu Kementrian Agama RI, Kanwil Kemnterian Agama Provinsi Bali, PHDI Bali, IHD, dan UNHI. Dari hasil kurus tersebut, tidak kurang dari 20 orang yang sudah siap melakukan upacara pediksan.
Kedua : Adapun yang menjadi focus aktifitas Maha Warga Bhujangga Waisnawa ke depan adalah menuntaskan persoalan-persoalan yang menyangkut kesejahteraan umat yang diarahkan untuk mengentaskan kemiskinan, yaitu diantaranya membuat aktivitas ekonomi dalam segala bentuk, seperti : mendirikan lembaga Koperasi, Usaha Pertanian terpadu, UMKM, Aktivitas jasa perdagangan, dll.
Ketiga : Maha Warga Bhujangga Waisnawa pada kesempatan ini juga ingin menyampaikan komitmen kami mendukung semua program pemerintah. Dan kami siap bersama-sama komponen masyarakat lainnya untuk ikut melaksanakan pembangunan di segala bidang. Terutama mendukung kebijakan Pemerintah Provinsi Bali tentang ”Bali Go Green”, karena kebijakan ini kami anggap sangat sejalan dengan ajaran dan tugas-tugas Kebhujanggan.
Hadirin sekalian yang kami hormati,
Jika kita cermati kehidupan di zaman kekinian ini maka kami melihat ada beberapa fenomena menarik, khususnya menyangkut praktek kehidupan ber-Agama di Tanah Air kita ini. Fenomena itu bisa jadi sebagai sebuah persoalan serius yang harus kita pikirkan bersama untuk dicarikan jalan keluarnya.
Pertama : Adanya degradasi pemahaman ”Tatwa Agama”. Lihatlah misalnya akibat tuntutan zaman ini diantara kita ternyata sudah tidak banyak lagi yang paham makna dari upakara dan upacara yang kita lakukan dalam prosesi persembahyangan, sehingga lebih terkesan hanya sebagai ritual belaka.
Kedua : Adanya praktek-praktek yang mengarah kepada komersialisasi Agama. Hal ini nampak pada pembuatan sarana upakara yang cenderung berlebih-lebihan. Sarana upakara itu tidak lagi menekankan pada pemaknaan simbolis, melainkan lebih menonjolkan wujud (perfomance) kebendaannya yang mengabaikan aspek efesiensi. Demikian juga praktek jual-beli sarana upakara telah menjadi bagian dari kehidupan Umat Hindhu saat ini yang di dalamnya berlaku hukum bisnis.
Ketiga : Adanya kecendrungan prilaku masyarakat yang hendak mengaburkan antara ranah Agama dengan ranah Politik. Ajaran Agama yang suci itu sering mendapat muatan-muatan politik praktis yang berorientasi kekuasaan. Sehingga loyalitas Agama menjadi identik dengan loyalitas politik. Hal ini tentu tidak boleh kita biarkan terus berlangsung, karena tujuan Agama pastilah tidak sama dengan tujuan politik itu.
Menurut hemat kami itulah 3 (tiga) persoalan besar yang dihadapi oleh Umat Hindhu saat ini. Kami Maha Warga Bhujangga Waisnawa akan mencoba merumuskan jawaban atas persoalan-persoalan tersebut dalam forum Mahasabha ini.
Peserta dan Peninjau Mahasabha yang saya cintai,
Sungguh suatu kebahagiaan yang tak ternilai harganya bagi kita semua karena saat ini kita sebagai keluarga yang tergabung dalam wadah pasemetonan “Maha Warga Bhujangga Waisnawa” kembali bisa berkumpul dalam suasana yang penuh kekeluargaan yang dilandasi rasa saling asah, asih, dan asuh. Moment ini, seperti komitmen kita 5 (lima) tahun yang lalu di tempat ini pula, kita akan terus adakan setiap 5 (lima) tahun sekali yang kita jadikan ajang konsolidasi dan evaluasi dalam rangka menata organisasi keluarga.
Zaman terus berubah seiring perjalanan waktu, sehingga tidak ada lagi waktu buat kita untuk mempertajam segala perbedaan yang ada, kecuali kita satukan langkah dan kekuatan untuk menghadapi tantangan zaman ke depan. Maha Warga Bhujangga Waisnawa sebagai komunitas yang tak terpisahkan dari Umat Hindu dan sebagai bagian integral dari Bangsa Indonesia sudah saatnya untuk menyumbangkan pikiran dan karyanya demi kemajuan peradaban Umat Manusia di muka Bumi ini. Dengan berbekal semangat demikianlah, saya harapkan, para Peserta dan Peninjau Mahasabha II Maha Warga Bhujangga Waisnawa bermusyawarah dalam forum Mahasabha ini. Sehingga keputusan-keputusan yang dihasilkan dalam forum Mahasabha II ini bukan saja berdampak positif terhadap kemajuan keluarga, tetapi juga memberi ekses terhadap kemajuan Umat Hindhu, Bangsa Indonesia, dan Umat Manusia secara keseluruhan. Tantangan yang paling berat dihadapi oleh Umat manusia saat ini adalah persoalan kebodohan dan kemiskinan, maka saya kira, segala sumber daya yang kita miliki saat ini harus diarahkan untuk memerangi kedua hal tersebut.
Selaku Ketua Umum Moncol Pusat Maha Warga Bhujangga Waisnawa saya menyampaikan penghar-gaan dan terimakasih kepada Panitia Mahasabha II, karena telah bekerja keras memfasilitasi acara kita. Tanpa kerja keras mereka pastilah kita tidak akan bisa berkumpul di tempat ini. Saya tahu mereka semua bekerja dilandasi sikap profesionalisme dan semangat, serta ketulusan hati untuk kemajuan keluarga kita. Karena itulah mari kita hargai kerja keras mereka dengan mengikuti acara Mahasabha II ini dengan sungguh-sungguh.
Saya juga ingin menyampaikan penghargaan dan ucapan terimakasih kepada semua pihak yang telah mendukung dan membantu, baik secara moril maupun materiil, sehingga acara Mahasabha II Maha Warga Bhujangga Waisnawa ini dapat terselenggara dengan baik, aman, dan lancar.
Sebelum saya mengakhiri sambutan ini, dengan hormat kami mohon kesediaan Bapak Gubernur Bali untuk memberikan sambutan dan arahan kepada kami seluruh Peserta dan Peninjau Mahasabha, yang nantinya akan kami jadikan bekal dalam proses pengambilan keputusan organisasi. Dan pada saatnya nanti mohon pula Bapak Gubernur berkenan membuka acara Mahasabha II Maha Warga Bhujangga Waisnawa ini secara resmi. Atas kesediaan Bapak Gubernur kami atas nama keluarga mengucapkan terimakasih.
Akhirnya, kepada seluruh Peserta dan Peninjau Mahasabha II saya sampaikan, “selamat bermusya-warah”, semoga Ida Sang Hyang Widhi Wasa dan para Leluhur menuntun pikiran, perkataan dan perbuatan kita dalam membuat keputusan-keputusan strategis.
Sekian sambutan saya, atas perhatian hadirin sekalian, saya ucapkan terimakasih.
Om Shanti…., Shanti….., Shanti……, Om.
Moncol Pusat
Maha Warga Bhujangga Waisnawa
Ketua,
Gr. Mayjen (Purn) I Ketut Wirdhana
Rabu, 06 Oktober 2010
Lontar Pabancangah Maospahit
Isi Pabancangah Maospahit
Pada mulai bumi ini mengental, sebelum ada pohon, turunlah Bhatara Meleng di Gunung Sanunggal.
Juga Hyang Ratih yang menciptakan pohon Jarak dan Kaliki, sehingga menjadi penuh ada tumbuh tumbuhan di tegalan.
Pohon jarak itu dimusnahkan dan menjadi lah manusia laki perempuan.
Kemudian turunlah Bhatara Siwa Sadasiwa dan Paramasiwa untuk memelihara manusia dan tumbuh tumbuhan di Bumi.
Di situlah Bhatara Siwa memberikan ajaran atau nasehat nasehat kepada manusia agar melaksanakan tata susila. Dan Sang Brahmana menjadi Siwa dari para Arya dan wesia.
Sang Boda berhak, membersihkan (menyucikan) para Dalem, Pra-Pungakan, Pra-Sanghyang.
Sang Bhujangga menjadi Siwa dari Pasek, Kabayan, Panyarikan, Sedahan, Bandesa dan semua orang sudra.
Sang Bhujangga sebagai Sang Guru yang disebut Sang Guhung.
Dinasihatkan agar para Arya, Wesya, Dalem tidak boleh mengambil istri dari putri Brahmana dan putri dari Bujangga sebab sebagai Siwa mereka.
Bila mana dilanggar akan kena kutuk (raja pinulah).
Juga bila mana orang sudra mengambil anak sang Brahmana, Sang Bhujangga, Sang Boda, maka Sang Sudra ini diusir, dan Sang Guru patut membuat upacara pembersihan bumi yang dilaksanakan di pura Baleagung di Sawah.
Ada lagi nasehat Sang Hyang Meleng kepada Dalem agar rakyat dengan tekun melaksanakan ajaran agama. Putra Hyang Meleng 3 orang tersebut seperti Siwa menjadi Brahmana, Sadasiwa menjadi Boda, dan Paramasiwa menjadi Bhujangga
Kemudian tersebut Ratu yang lahir dari mata seperti Hyang Ratih.
Para patih tempatnya pada bahu yang disebut Padang Astra yang nantinya menjadi sebutan Sudra.
Mengingat arti dari pohon jarak sebagai Purusa dan Kaliki sebagai pradana.
Purusa sebagai Bayu(angin), Pradana sebagai Agni (api).
Dan bila bayu bertemu dengan agni lahirlah jiwa.
Disebutkan warah dari Mpu Kuturan kepada muridnya yang bernama Sang Astaloma.
Bila mana mengaskara (melaksanakan upacara) hendaknya diselesaikan oleh Sang Boda atau Siwa.
Dalam tatwa Kreta Bhujangga disebutkan tentang silakrama (kewajiban) dan hubungan antara Bhujangga dan Brahmana, Prabu dengan Patih.
Juga diajarkan tentang bakti terhadap palinggih dan sebagai catur saksi yang artinya empat yang mengawasi (anodyani).
Disebutkan juga di dunia ini berlaku hukum Tri Agama yaitu Agama, Adigama, dan Siwagama.
Arti dari kata Bhujangga yang artinya penyucian bumi dengan air suci yang dapat dipercikkan kepada orang kotor maupun orang yang bersih (ayu).
Disebutkan dalam Purwa Kamulan yaitu menyebutkan nama nama dewa sebagai menjaga/ menguasai penjuru dunia dan juga nama nama itu disesuaikan dengan tempat dan tugasnya masing masing.
Misalnya Sang Korsika di Timur menjadi dengen,
Sang Garga di selatan menjadi sang mong,
Sang Metri di Barat menjadi sang naga, dan
Sang Kursya di utara menjadi buaya.
Nama/ Judul Babad :
Pabancangah Maospahit
Nomor/ kode :
Va. 4600, Gedong Kirtya Singaraja
Koleksi :
Koleksi di Badung
Alamat :
Denpasar
Bahasa :
Jawa Kuno Tengahan bercampur Bali
Huruf :
Latin
Jumlah halaman :
5 halaman
Ditulis oleh :
I Ketut Sangka, Tabanan
Pada mulai bumi ini mengental, sebelum ada pohon, turunlah Bhatara Meleng di Gunung Sanunggal.
Juga Hyang Ratih yang menciptakan pohon Jarak dan Kaliki, sehingga menjadi penuh ada tumbuh tumbuhan di tegalan.
Pohon jarak itu dimusnahkan dan menjadi lah manusia laki perempuan.
Kemudian turunlah Bhatara Siwa Sadasiwa dan Paramasiwa untuk memelihara manusia dan tumbuh tumbuhan di Bumi.
Di situlah Bhatara Siwa memberikan ajaran atau nasehat nasehat kepada manusia agar melaksanakan tata susila. Dan Sang Brahmana menjadi Siwa dari para Arya dan wesia.
Sang Boda berhak, membersihkan (menyucikan) para Dalem, Pra-Pungakan, Pra-Sanghyang.
Sang Bhujangga menjadi Siwa dari Pasek, Kabayan, Panyarikan, Sedahan, Bandesa dan semua orang sudra.
Sang Bhujangga sebagai Sang Guru yang disebut Sang Guhung.
Dinasihatkan agar para Arya, Wesya, Dalem tidak boleh mengambil istri dari putri Brahmana dan putri dari Bujangga sebab sebagai Siwa mereka.
Bila mana dilanggar akan kena kutuk (raja pinulah).
Juga bila mana orang sudra mengambil anak sang Brahmana, Sang Bhujangga, Sang Boda, maka Sang Sudra ini diusir, dan Sang Guru patut membuat upacara pembersihan bumi yang dilaksanakan di pura Baleagung di Sawah.
Ada lagi nasehat Sang Hyang Meleng kepada Dalem agar rakyat dengan tekun melaksanakan ajaran agama. Putra Hyang Meleng 3 orang tersebut seperti Siwa menjadi Brahmana, Sadasiwa menjadi Boda, dan Paramasiwa menjadi Bhujangga
Kemudian tersebut Ratu yang lahir dari mata seperti Hyang Ratih.
Para patih tempatnya pada bahu yang disebut Padang Astra yang nantinya menjadi sebutan Sudra.
Mengingat arti dari pohon jarak sebagai Purusa dan Kaliki sebagai pradana.
Purusa sebagai Bayu(angin), Pradana sebagai Agni (api).
Dan bila bayu bertemu dengan agni lahirlah jiwa.
Disebutkan warah dari Mpu Kuturan kepada muridnya yang bernama Sang Astaloma.
Bila mana mengaskara (melaksanakan upacara) hendaknya diselesaikan oleh Sang Boda atau Siwa.
Dalam tatwa Kreta Bhujangga disebutkan tentang silakrama (kewajiban) dan hubungan antara Bhujangga dan Brahmana, Prabu dengan Patih.
Juga diajarkan tentang bakti terhadap palinggih dan sebagai catur saksi yang artinya empat yang mengawasi (anodyani).
Disebutkan juga di dunia ini berlaku hukum Tri Agama yaitu Agama, Adigama, dan Siwagama.
Arti dari kata Bhujangga yang artinya penyucian bumi dengan air suci yang dapat dipercikkan kepada orang kotor maupun orang yang bersih (ayu).
Disebutkan dalam Purwa Kamulan yaitu menyebutkan nama nama dewa sebagai menjaga/ menguasai penjuru dunia dan juga nama nama itu disesuaikan dengan tempat dan tugasnya masing masing.
Misalnya Sang Korsika di Timur menjadi dengen,
Sang Garga di selatan menjadi sang mong,
Sang Metri di Barat menjadi sang naga, dan
Sang Kursya di utara menjadi buaya.
Nama/ Judul Babad :
Pabancangah Maospahit
Nomor/ kode :
Va. 4600, Gedong Kirtya Singaraja
Koleksi :
Koleksi di Badung
Alamat :
Denpasar
Bahasa :
Jawa Kuno Tengahan bercampur Bali
Huruf :
Latin
Jumlah halaman :
5 halaman
Ditulis oleh :
I Ketut Sangka, Tabanan
Bisama/pesan Ida Maharsi Markandeya saka 844 (922M) diwilayah Danau Buyan
PRASASTI Tamblingan yang ditulis pada tahun 844 Saka (922 M), ketika Sri Ugrasena menjadi Raja di Bali menetapkan bahwa wilayah Danau Buyan, Tamblingan dan sekitamya (sekarang dikenal sebagai kawasan Bedugul) adalah kawasan suci. Pada tahun Saka 858 beberapa keturunan Ida Maha Rsi Markandeya yakni warga Bhujangga Waisnawa menetap di Buyan Tamblingan ditugaskan untuk menjaga kesucian kawasan itu. Beliau membangun pura dan pasraman. Raja-rajà dari dinasti Warmadewa berikutnya antara lain Sri Jayapangus di tahun 1177 M dan Sri Bhatara Hyang Hyang Adidewa Paramaswara di tahun 1320 M menguatkan keyakinan kesucian wilayah Buyan-Tamblingan dengan menegaskannya dalam prasasti-prasasti yang berisi “kutukan” (bhisama) bagi pelanggar kesucian. Sejarah mencatat bukti kutukan Bhatara Paramaswara atas pelanggaran kesucian wilayah itu berupa malapetaka yang dahsyat:
1. Hancurnya kerajaan Kalianget yang dipimpin Raja I Dewa Kaleran pada awal abad-16 karena beliau tidak menjaga kesucian kawasan Buyan-Tamblingan (Bedugul).
2. Bencana yang menimpa Kerajaan Buleleng di bawah pimpinan Kyai Anglurah Panji Sakti, karena beliau merusak Pura Batukaru dalam ekspedisi penyerangannya ke Denpasar dan Tabanan pada tahun 1652 M. Beliau lupa pada nasihat Ki Panji Landung ketika berada di pinggir Danau Buyan pada tahun 1611 M.
3. Malapetaka dahsyat berupa tanah longsor dan banjir lumpur tanggal 22 Oktober 1815 (Masehi) yang disebabkan karena jebolnya dinding sebelah utara danau buyan-Tamblingan yang menimbun Buleleng/Singaraja bagian selatan, karena tidak dijaganya kelestarianfkesucian kawasan Bedugul dengan gunung dan danau di sekitarnya.
Pura dan Upacara-upacara Agama Hindu yang ada di Kawasan Suci Bedugul
1. Menurut Lontar Usana Bali, di kawasan Bedugul terdapat pura-pura yang sangat disakralkan oleh seluruh umat Hindu di Bali. Pura-pura itu dibangun pada tahun 1042-1045M oleh Mpu Kuturan, seorang pendeta agung dari Kadiri (Jawa Timur) yang ketika itu dipimpin oleh Raja Sri Jayawarsa Digjaya Sastraprabhu. Mpu Kuturan diminta datang oleh Raja Bali Dwipa, yakni Sri Udayana Warmadewa, keturunan Airlangga untuk memimpin umat Hindu di Bali serta menjaga keajegan Bali. Pura-pura yang terpenting adalah:
Tiga Pura Penting
A.
1 Tiga buah Pura Hulun Danu (hulunya/sumber mata air, danau), yaitu Pura
Hulun Danu Beratan, Hulun Danu Bulian dan Hulun Danau Tamblingan, sebagai stana Hyang Widhi (Tuhan YME) dalam manifestasi? Nya sebagai Bhatari Dewi “ Danuh yang memberikan kemakmuran kepada umat manusia berupa kecukupan
bahan makanan bersumber dari hasil pertanian yang subur karena diairi ketiga danau itu. Pura-pura ini dipelihara dan menjadi tanggung jawab subak-subak (organisasi pengairan khas Bali) di wilayah Kabupaten Buleleng, Tabanan, dan Badung.
2 Pura Luhur Puncak Mangu, stana pemujaan Hyang Widhi Wasa (Tuhan YME) dalam manifestasi-Nya Sebagai Bhatara Sambhu, pelindung umat manusia dan segala bentuk malapetaka.
3 Pura Luhur Batukaru, stana pemujaan Hyang Widhi Wasa (Tuhan YME) dalam manifestasi-Nya sebagai Bhatara Mahadewa, pelindung umat manusia dari perbuatan adharma (dosa). Pura ini dibangun untuk tempat pertapaan para Maha-Rsi.
4 Pura Luhur Puncak Sangkur, stana pemujaan Hyang Widhi Wasa (Tuhan YME) dalam manifestasi-Nya Sebagai Bhatara Rudra, melindungi umat manusia dari wabah dan segala penderitaan.
5 Pura Teratai Bang, stana pemujaan Hyang Widhi Wasa (Tuhan YME) dalam manifestasiNya sebagai Bhatara Sri yag memberi kemakmuran dan keberhasilan panen.
6 Selain itu di kawasan Bedugul masih ada 35 buah pura yang statusnya sebagai pura milik desa adat, milik keluarga atau klan, dan pura milik perseorangan.
B. Upacara Wanakertih diadakan setahun sekali di hutan Bedugul yakni di Pura Batukaru, bertujuan mempertahankan kelestarian hutan dan gunung, menjaga agar tetap suci sebagai stana Dewa Wisnu, manifestasi Hyang Widhi Wasa (Tuhan), pemeliharaan dunia.
C. Upacara mapekelem diadakan setahun sekali di danau-danau Beratan, Buhan dan Tamblingan, hertujuan memohon kepada Hyang Widhi Wasa (Tuhan YME) agar air danau tetap melimpah cukup karena sangat dibutuhkan bagi kehidupan semua makhluk.
D. Upacara Ngusaba Nini diadakan setahun sekali di Pura-pura Hulun Danu sebagai cetusan rasa syukur dan persembahan kepada Hyang Widhi Wasa (Tuhan YME) karena panen hasil pertanian yang baik sehingga manusia dapat menikmati kehidupan wajar.
E. Upacara Ngusabha Desa diadakan setahun sekali di Pura Batukaru, Pura Luhur Puncak Mangu, dan Pura Luhur Puncak Sangkur, memohon kepada Hyang Widhi Wasa (Tuhan YME) agar semua palemahan (bumi) terhindari bencana alam.
Kesimpulan
Tinjauan dari aspek spiritual-religius Hindu-Bali di atas, adalah berkaitan dengan upaya untuk tidak melanggar kelestarian kawasan suci yang menyebabkan nilai sakral gunung, hutan, danau dan pura-pura di sekitar Buyan-Tamblingan akan memudar sehingga mempengaruhi “kesehatan rohani” penduduk Bali yang beragama Hindu.
1. Sejarah telah mencatat bahwa perusakan hutan, gunung dan danau di kawasan Buyan-Tamblingan akan mendatangkan malapetaka yang sungguh hebat karena terkena kutukan yang tertuang dalam prasasti Tamblingan tahun 844 Saka.
2. Tercemarnya kawasan suci, pura, hutan, gunung, dan danau di kawasan Buyan-Tamblingan akan meresahkan penduduk yang beragama Hindu di Bali, karena telah menodai nilai-nilai kesakralan dan keyakinan agama yang telah menyatu pada kehidupan sehari-hari umat Hindu sejak berabad-abad lampau.
3. Pemaksaan kehendak oleh pemerintah untuk mengizinkan proyek-proyek wisata di kawasan BuyanTamblingan dapat menimbulkan gejolak sosial yang negatif, berdampak luas, dan berlangsung lama.
Sumber : Ida Bhagawan Dwija.
Bisama/pesan Mpu Kuturan Caka 929 (1007M) kepada para Bhujangga Waisnawa
Dari beberapa sumber sejarah dapat disimpulkan betapa eratnya hubungan pulau Bali dan Jawa terutama Jawa Timur. Ikatan tali kasih antara Bali dan Jawa Timur bertambah erat dengan dilangsungkannya pernikahan agung antara Sri Udayana Warmadewa dari Bali dengan Sri Mahendradatta adik perempun raja daha Sri Dhamawangsa Ananta Teguh putri raja Sri Makutawangsawardana, cicit dari Sri Maharaja Paradewasikan Kamaswara Dharmawangsa, dimana setelah upahcara dwijati atau diksa (inisiasi) bernama Empu Sendok. Upacara agung itu dilaksanakan pada tahun 988 M, dimana kemudian keduanya dinobatkan menjadi raja suami istri di Bali dengan gelar Sri Gunapriya Dharmapatni/Dharmodayana Warmadewa.
Pada masa pemerintahan suami istri inilah terjadi perubahan besar-besaran di Bali. Perubahan ini hampir menyangkut seluruh aspek kehidupan di Bali. Singkat kata perubahan ini menyangkut politik, ekonomi, sosial, budaya, dan agama. Zaman itu dapat dikatakan sebagai zaman perubahan yang memberi corak dan warna bagi kehidupan masyarakat Bali, dari situasi perselisihan dan pertentangan kepada situasi persatuan dan kesatuan. Adanya konflik ini diakibatkan oleh adanya perbedaan keyakinan dan kepercayaan yang dianut oleh masyarakat Bali yang mayoritas terdiri dari orang-orang Bali Aga.
Pada saat itu penduduk di Bali menganut sembilan paksa/keyakinan yang berbeda, yaitu : Siwa, Khala, Brahma, Wisnu, Bayu, Iswara, Bhairawa, Ghanapatya, dan Sogotha (Budha) yang didalam pelaksanaannya sering menimbulkan keresahan di masyarakat. Rakyat tidak menentang Raja, dan tidak ada pemberontakan yang ingin menggulingkan raja, hal ini disebabkan karena masing-masing paksa/keyakinan pada masa itu menempuh jalannya sendiri-sendiri, sehingga raja sulit mengendalikan rakyatnya karena banyaknya visi dan misi pada tataran pemikiran rakyatnya. Akibat dari perbedaan dan keanekaragaman keyakinan itu, keamanan dan ketertiban menjadi terganggu. Peristiwa ini menjadi masalah sosial yang berlarut-larut dan jika dibiarkan akan sangat mengganggu stabilitas kerajaan, dan pulau Bali pada umumnya. Hal ini tidak dapat diatasi oleh Raja Udayana Warmadewa dan Ratu Gunapriya Dharmapatni. Untuk mengatasi kemelut tersebut, raja suami istri ini mengundang Sang Catur Sanak dari Panca Tirta (empat dari lima pandita/Mpu bersaudara putra Mpu Lampita) di Jawa timur yang telah terkenal keahliannya dalam berbagai bidang kehidupan. Mereka adalah para Mpu yang datang secara bertahap, kemudian mendampingi pemerintahan raja dan ratu ini di Bali. Para Mpu ini antara lain :
Mpu Semeru atau Mpu Mahameru, tiba di Bali thun 999 M, beliau pemeluk agama Siwa dan beliau menjalani Sukla Brahmacari (Tidak kawin seumur hidup).
Mpu Ghana tiba di Bali tahun 1000 M, beliau pemeluk paham Ghanapatya dan beliau menjalani Sukla Brahmacari.
Mpu Rajakretha atau Mpu Kuturan tiba di Bali tahun 1001 M, beliau pemeluk Agama Budha, aliran Mahayana. Beliau menjalani Sewala Brahmacari (kawin hanya sekali dalam seumur hidup dengan satu istri).
Mpu Genijaya tiba di Bali tahun 1006 M, beliau pemeluk paham Brahmaisme dan menjadi ayah dari 7 Mpu yang kemudian dikenal dengan nama Sang Sapta Rsi di Bali, beliau menjalani Swala Brahmacari.
Sedangkan yang paling bungsu bernama Mpu Bharada tidak ikut ke Bali. Beliau tetap tinggal di Lemah Tulis, Pajarakan, Jawa Timur dan kemudian menjadi purohito kerajaan Daha pada masa pemerintahan Raja Sri Airlangga.
Kedatangan empat Pandita/Mpu ini ke Bali membawa perubahan dan angin segar bagi pulau ini. Sebab empat Rohaniawan ini bukan saja ahli di bidang Agama, namun juga menguasai berbagai hal dan keahlian yang berkaitan dengan politik dan pemerintahan. Seorang yang menonjol dalam berbagai bidang keahlian diantara keempat pandita itu adalah Mpu Kuturan. Pada masa pemerintahan raja dan ratu ini, Mpu Kuturan selain diangkat menjadi Purohito di Kerajaan Bali, Mpu Tuturan juga memegang beberapa jabatan penting, antara lain :
Senapati Kerajaan yang bergelar Senapati Kuturan.
Ketua majelis Pakira-kira Ijro Makabehan yang beranggotakan seluruh senapati, Pandita Dangacarya dan Dangupadhyaya (Pandita Siwa dan Budha) dimana majelis ini bertugas sebagai lembaga tinggi kerajaan yang berfungsi untuk memberikan nasehat dan pertimbangan kepada Raja, serta melakukan pembinaan di segala bidang, untuk menciptakan keamanan dan ketertiban di masyarakat.
Pada saat itu, atas persetujuan Raja Udayana Warmadewa dan Ratu Gunapriya Dharmapatni, Mpu Kuturan mengadakan penelitian untuk mencari akar permasalahan yang sedang melanda kerajaan. Dari sini Mpu Kuturan banyak mendapat informasi, data, dan fakta yang sangat bermanfaat untuk mengatasi kemelut yang terjadi di masyarakat. Mpu Kuturan menyampaikan akar permasalahan yang terjadi di kerajaan adalah masalah keyakinan yang berbeda satu sama lain dan saat itu beliau menemukan kiat untuk mengatasi kemelut di masyarakat dan memandang perlu untuk melakukan perubahan di masyarakat.
Atas restu dari raja dan ratu, Mpu Kuturan melakukan Pesamuan Agung (rapat akbar) dengan mengambil tempat di Bataanyar (kini Gianyar). Saat itu ada 1370 desa di seluruh Bali yang ikut dalam Pesamuan Agung ini. Pada saat pesamuan agung itu diundanglah tokoh-tokoh dari masing-masing keyakinan yang dibedakan menjadi 3 kelompok, yaitu:
Empu kuturan disamping selaku ketua majelis Pakira-kira Ijro Makabehan dan pemimpin Pesamuhan Agung tersebut juga sebagai wakil penganut Budha.
Tokoh-tokoh atau pimpinan orang-orang Bali Aga, dari masing-masing paksa/keyakinan yang terdiri dari berbagai sampradaya, dijadikan 1 kelompok yang jumlahnya paling banyak.
Tokoh-tokoh dan pimpinan Agama Siwa didatangkan dari Jawa, dimana mereka merupakan kelompok tersendiri.
Peserta Pesamuhan Agung tersebut telah siap dan telah membawa konsep dari masing-masing kelompok yang di ajukan dan dibicarakan dalam Pesamuan Agung tersebut. Kepada hadirin diberikan kebebasan dalam menyampaikan pendapat, pandangan, dan gagasan masing-masing. Semua pendapat dan pandangan ditampung oleh Mpu Kuturan selaku ketua Pesamuhan Agung. Mpu Kuturan juga menyampaikan pendapat dan pandangannya, bahwa perlu diadakan perubahan – perubahan serta mengatur kembali tatanan kehidupan masyarakat dengan suatu peraturan dengan berdasarkan situasi dan kondisi serta aspirasi dari masyarakat. Sidang menerima pandangan Mpu Kuturan dengan suara bulat. Akhirnya dalam Pesamuan Agung ini, diambil keputusan yang memuat beberapa jenis bidang yang menyangkut 5 pokok permasalahan yaitu;
Paham Tri Murti dijadikan dasar keagamaan yang telah mencakup paham dan aliran kepercayaan yang berkembangan di Bali pada saat itu.
Dijadikan perubahan terhadap organisasi kemasyarakatan, dengan wadah yang disebut Desa Pekraman, untuk itu didirikan tiga pura yang disebut pura Khayangan Tiga, yaitu:
(a) pura bale agung atau pura desa sebagai tempat suci untuk memuliakan Dewa Brahma, yang bertugas sebagai pencipta alam semesta.
(b) pura puseh sebagai tempat suci untuk memuliakan Sri Wisnu sebagai pemelihara alam semesta beserta isinya
(c) pura dalem atau pura hulu setra sebagai tempat suci untuk memuliakan dewa Siva dan saktinya Dewi Durga selaku pengembali unsur panca maha butha/ pralina.
Disamping itu, perlu didirikan tempat suci di sawah, yang disungsung oleh krama subak, kemudian dalam sejarah perkembangannya berubah nama jadi desa adat.
Pada setiap rumah tangga di wajibkan mendirikan sebuah pelinggih berbentuk Rong Tiga (Rong Telu), sebagai tempat memuliakan dan memuja roh suci para leluhur dan Sanghyang Widhi Wasa. Sebutan lain dari rong tiga adalah kemulan yang terdapat dalam setiap sanggah atau merajan.
Semua tanah pekarangan dan tanah yang terletak di desa pakraman dan pura khayangan tiga adalah milik desa pakraman yang juga berarti milik kayangan tiga, oleh sebab itu, tanah-tanah ini tidak boleh dijual – belikan.
Tentang nama agama yang dianut oleh masyarakat Bali disebut agama Siva – Budha.
Demikianlah keputusan penting yang telah dibahas dalam Pesamuan Agung tersebut. Selanjutnya hal ini menjadi warisan tak ternilai bagi umat Hindu dan masyarakat Bali, dimana hal ini berkaitan dengan tata tertib, tata kehidupan masyarakat, dan agama. Sebab keputusan tersebut sangat cocok dengan aspirasi dan kondisi masyrakat Bali saat itu, yang kemudian melahirkan masyarakat sosioreligius, dan masih dapat dilihat sampai saat ini. Tempat Pesamuan Agung yang terletak di desa Bedahulu, Gianyar kemudian dikenal dengan sebutan Samuan Tiga yang bermakna pertemuan segi tiga, ditempat ini saat ini telah berdiri sebuah pura yang disebut pura Samuan Tiga atau pura Samuan Telu. Dari nama itu telah memberikan kesan, bahwa disinilah paham trimurti mulai diperkenalkan dan ditegakkan, serta paham Siwa – Budha yang disatukan atas dalil yang berbunyi : “Ndatan len kira Siwa rupa Budha, maka pati urip ikang trimandala, Sang Sangkan Paraning Sarat ganal alit hita ala ayu kojaring aji, utpett, stithi, linaning dadi kita kocanani paramartha Sogatha”. (Prasasti Samuan Tiga) yang kurang lebih terjemahannya sebagai berikut: “Tiada lain Siwa yang berupa Budha, berkuasa menghidupkan sekalian makhluk penghuni tiga alam semesta, manciptakan besar dan kecil, kasar dan halus, suka dan duka, Engkau yang mengadakan ajaran agama (Dharma), yang berdasarkan nilai – nilai kelahiran, kehidupan, dan akhirnya kematian. Jadi Engkau adalah penyebab tertinggi wahai Budha”.
Sejak saat itu, kehidupan masyarakan di Bali menjadi lebih tertib, aman, rukun, dan damai. Mereka saling hormat – menghormati sesuai dengan semboyan “Bhineka tunggal ika tan hana dharma mangrwa”, yang artinya walaupun berbeda – beda tetapi tetap satu dalam pelaksanaan terhadap dharma atau kewajiban. Seperti keputusan di Pesamuan Agung yang diadakan di Bataanyar, dimana Mpu Kuturan yang menjadi pemrakarsanya. Peristiwa itu terjadi kurang lebih tahun 1002 M.
Pada tahun 1007 M, Mpu Kuturan atas persetujuan dari Raja/Ratu dan yang hadir pada saat Pesamuan Agung di Samuan Tiga, Bataanyar. Memberikan wewenang kepada para Bhujangga Waisnawa untuk memimpin pelaksanaan yajna baik besar maupun kecil yang diadakan di seluruh wilayah kerajaan, dan Mpu Kuturan berpesan kepada Bhujangga Waisnawa sebagai berikut : “Wahai Bhujangga Waisnawa sekalian, jangan lupa dengan junjungan dan tugas kewajiban kalian, yang disebut Tri Wisesa, sebagai pemeluhara kita, apabila kalian lalai dan lupa, kalian pun akan dilupakan oleh Sang Hyang Tri Wisesa, yang dapat membuat kita bingung karena Sang Hyang Tri Wisesa itulah sebagai sumber kita sekalian, agar kamu sekalian mengerti”.
Disamping hal tadi ada juga panjelasan Mpu Kuturan yang mengatakan pada bilamana terjadi kekeruhan di dunia, harus diadakan upacara yadna yang bernama tebasan. Upacara ini harus dipuja dan dipimpin oleh Sang Bhujangga Waisnawa. Hanya Sang Bhujangga Wausnawa yang berwenang memuja dan memimpin upacara, pangklukatan (penyucian) tersebut, bilamana terjadi kekeruhan di dunia dan alam semesta ini, termasuk yang behubungan dengan pekarangan rumah, tegalan (ladang), persawahan, dan lain – lain. Jika bukan Sang Bhujangga Waisnawa yang memimpin dan memuja upacara pangklukatan itu, maka upacara tersebut tidak akan berhasil, sebab hal tersebut merupakan tugas dari Sang Bhujangga Waisnawa. Apabila sudah dilaksanakan seperti itu, barulah Pulau Bali akan menjadi aman sentosa. Dikisahkan pula bahwa para Bhujangga Waisnawa yang berleluhur Maharsi Markandeya, ketika tiba di Bali membawa berbagai pustaka suci Weda, yang memuat ajaran suci seperti : Sruti, Smerti, Candrakarana, Kirthabhasa, Dasanama, Upanisad, Wedanta sutra, Itihasa (Ramayana dan Mahabrata), dan berbagai Purana.
Desa pakraman hasil ciptaan Mpu Kuturan, melahirkan tatanan kehidupan masyarakat, suatu wadah kesatuan dan persatuan masyarakat Bali, yang berisi tuntunan tata krama yakni suatu aturan hidup untuk menciptakan suasana kehidupan yang serasi, selaras, dan seimbang di dalam kehidupan masyarakat. Selain tatakrama juga terdapat nilai – nilai kebersamaan yaitu musyawarah untuk mufakat. Dalam desa pakraman juga diatur tentang tata ruang karena dalam kehidupan masyarakat manusia ini memerlukan kebutuhan hidup yang mencukupi, yang disebut “Panca Wa Sasaning Nithi Warga”. Yang dimaksud Panca Wa itu adalah kebutuhan pokok hidup, yang terdiri dari Wisma (perumahan), Wastra (sandang), Wareg (pangan), Waras (kesehatan), dan Waskita (pendidikan dan rekreasi). Di dalam hal ini wawasan lingkungan ditentukan, sehingga tata ruang jelas diketahui, dimana masing – masing wilayah ditetapkan tentang kegunaan dan manfaatnya, seperti misalnya : lokasi kahyangan, perumahan, bangunan umum untuk kepentingan bersama, lapangan, jalan, dan lain sebagainya. Dengan demikian, model atau corak desa di Bali, apabila mengikuti tataruang ini akan tampak ada persamaannya.
Manusia di dalam kehidupannya membutuhkan suatu tempat tinggal sekelompok manusia yang disebut hunian. Hunian ini bukanlah merupakan sesuatu hanya dipergunakan melainkan mempunyai fungsi sebagai perekat rasa atau batin untuk memperkat hubungan sosial. Di dalam pembangunan, bukan saja merupakan kegiatan yang bersifat fisik, namun melibatkan pula hal – hal yang bersifat non fisik, melalui ritual keagamaan. Jiwa dan rasa penghuninya dikaitkan dengan setiap bangunan yang didirikan. Tataruangan suatu hunian mengikuti dan berpedoman kepada tataruang. Hunian bukan saja menampung manusia semasa hidupnya, melainkan juga manmpung manusia yang telah meninggal dunia, termasuk yang sudah tidak terwujud yaitu arwah suci para leluhur, yang distanakan di tempat khusus yaitu Sanggah atau Pemrajan. Oleh sebab itu, antara sekala (alam nyata) dengan niskala (alam gaib) dapat dipadukan kelestariannya dalam kehidupan bermasyarakat, sehingga masalah aktual dan spiritual dapat diwujudkan, disenyawakan, dan diselaraskan seperti apa yang dikonsepkan dalam ajaran “Rwa Binedha”. Persenyawaan ini harus diaktifkan malaui ritual. Melalui ritual inilah, ruang memperoleh makna dan waktu serta peristiwa sehingga pedoman yang mengatur kegiatan ini adalah suatu lingkungan yang teratur dan utuh, sebab pedoman yang terjadi berdasarkan atas kesepakatan yang diyakini bersama. Kebutuhan lingkungan akan menjadi kuat apabila mulai dari tataruang, bangunan, alat, pakaian, kelakuan sampai ritual berdasarka suatu pedoman. Begitu pula pengendalian sumber daya harus dijadikan upaya untuk menjaga keseimbangan lingkungan, termasuk di dalamnya tentang ketahanan, ketertiban, dan keamanan yang mantap, ampuh, dan terkendali.
Pada konsep tataruang yang bebudaya dan berwawasan lingkungan positif, yang ditetapkan oleh Mpu Kuturan ke dalam masyarakat Bali, dapat memberikan warna dan corak kehidupan masyarakat di daerah ini. Seperti misalnya : Triangga, Trimandala, Hulu teban, Astabhumi, Asta Kosala – Kosali, Bamakerthi, Jananpaka, dan lain sebagainya. Semua ini kemudian menjadi landasan berpijak bagi masyarakat Hindu di Bali dan pedoman di dalam setiap gerak kehidupan bermasyarakat yang dapat memperkuat rasa kebersamaan diantara masing – masing kelompok dan perorangan. Semua konsep dan ajaran Mpu Kuturan akhirnya dijadikan warisan tak ternilai bagi masyarakat Hindu di Bali, walaupun tidak sedikit pemakai konsep dan ajaran ini tidak mengetahui siapa arsitek konsep dan ajaran tersebut.
Karya lain dari Mpu Kuturan adalah berhasil memperluas dan memperbesar Pura Besakih, serta menciptakan Pelinggih Meru dan Gedong. Mpu Kuturan juga yang mengajarkan pembuatan kahyangan secara spiritual, termasuk pembuatan jenis – jenis pedagingan. Selain itu, Mpu Kuturan juga yang telah menciptakan konsep Tri Hita Karana, yang berarti tiga penyebab kebahagiaan, yaitu : Parahyangan yang berarti hubungan manusia dengan Tuhan, yang termanifestasi dalam bentuk Kahyangan Tiga, Palemahan yaitu hubungan manusia dengan alam dan lingkungan di sekitarnya tercermin dari wilayah tertorial dari desa pakraman, dan Pawongan yaitu hubungan manusia dengan sesama manusia yang tercermin dalam kramaning warga.
Guna menjaga ketentraman masyarakat Bali, Mpu Kuturan mendirikan dan menyempurnakan Pura Kahyangan Jagat yang berjumlah delapan buah, yaitu : Pura Besakih, Lempuyang, Andakasa, Goa Lawah, Batukaru, Beratan, Batur, dan Uluwatu. Selain itu Mpu Kuturanlah yang memprakarsai upacara ngenteg linggih atau yang sering disebut ngelinggihang (menstanakan) Dewa Pitara (roh suci leluhur) di sanggah atau pemrajan pada rong tiga (kemulan). Pelinggih Rong Tiga juga berlaku untuk tempat suci memuliakn Tuhan yang Maha Esa dalam fungsinya sebagai Kahyangan Tiga keluarga dalam fungsi Beliau sebagai penguasa dari penciptaan, pemelihaaran, dan pengembali ke unsur Panca Maha Butha, yang tersimbolisasi dari Dewa Brahma, Sri Wisnu, dan Dewa Siwa.
Konsep bangunan Meru yang diperakarsai oleh Mpu Kuturan disebut perlambang dari gunung Mahameru, tempat kediaman para dewa. Namun ada yang berpendapat bahwa Meru adalah perkembangan candi dari Jawa. Candi Jawa sebenarnya melambangkan alam kosmos yang dapat di bagi menjadi 3 bagian, yaitu bhur loka, yang dilambangkan pada kaki candi, bwah loka yang dilambangkan sebagai badan candi, dan swah loka dilambangkan atap candi. Di dalam perkembangannya, di Bali meru tidak hanya bertumpang 3, melainkan dari tumpang 1 sampai tumpang 11. Perlu diketahui kalau tumpang meru selalu ganjil, kecuali tumpang 2. Jadi ada tumpang 1, 2, 3, 5, 7, 9 dan 11. Kenyataan membuktikan di Bali menurut fungsinya meru dapat dikategorikan menjadi 2 jenis, yaitu sebagai dewa prathista atau pelinggih dewa dan meru selaku atma pratistha atau sebagai pelinggih roh suci. Perbedaan dari kedua jenis Meru ini terletak pada sikutnya (ukurannya) seperti ditentukan pada lontar asta kosala – kosali.
Menurut lontar Andhabhuwana, Meru merupakan perpaduan dari Pradana tatwa dan Purusa tatwa, yang melahirkan Batur Kalawasa petak atau cikal bakal leluhur yang suci. Disebutkan pula bahwa Meru sebagai lambang Andhabhuwana atau alam semesta, sedang tumpang atapnya simbol lapisan alam. Begitu juga disebut bahwa Meru adalah simbol aksara suci Dasaktara yang menunggal menjadi Om dengan windu – windhu baik, diawali dari windhu satu sampai sebelas.
Dengan demikian Meru beratap sebelas adalah lambang dari sebelas aksara suci, simbol ekadasa dewata. Meru beratap sembilan aksara suci simbol Nawa Dewata (Sanga Dewata). Meru beratap tujuh lambang tujuh aksara suci, simbol Sapta Dewata, Meru beratap lima merupakan lambang lima aksara suci, simbol Panca Dewata. Meru beratap tiga lambang tiga aksara suci, simbol dari Tri Purusa. Meru beratap dua lambang dua aksara suci, simbol rwa bhineda atau purusa pradana. Sedangkan meru beratap satu merupakan lambang dari panunggalan seluruh aksara menjadi Om, simbol Sang Hyang Tunggal.
Mpu Kuturan, sebagaimana telah disinggung dalam beberapa sumber berupa lontar dan babad, tatkala masih di Jawa, Mpu Kuturan pernah bertahta sebagai raja yang berkedudukan di Gira dan mempunyai seorang istri serta seorang putri bernama Dyah Ratnamanggali. Namun Mpu Kuturan dan istrinya mengalami pertentangan sehingga keluarga ini menjadi retak. Konflik ini terjadi karena istrinya menerapkan ilmu hitam, yaitu menjalankan teluh teranjana, dimana ritual ini merupakan salah satu cara untuk memuja bhatari Durga demi mendapatkan kesaktian. Istrinya merupakan pengikut tantra kiri atau bhairawi. Sedangkan Mpu Kuturan menerapkan ajaran kebajikan. Oleh karena hal inilah Mpu Kuturan lalu meninggalkan istri dan anaknya untuk pergi ke Bali menerima undangan Raja Udayana Warmadewa dan Ratu Gunapriya Dharmapatni untuk membantu menyelesaikan masalah yang dihadapi oleh Raja suami istri ini. Walaupun pada akhirnya istrinya dikalahkan oleh adiknya sendiri yaitu Mpu Bharadah dengan siasat menikahkan Dyah Ratnamanggali dengan putranya yaitu Mpu Bahula, dimana akhirnya Rangda Girah (istri Mpu Kuturan) berhasil dikalahkan. Cerita ini sangat terkenal di Bali, dan hal tersebut tergambar dalam pementasan sendratari Calonarang, bahkan di pura pada saat pujawali, ditampilkan dalam bentuk tarian barong dan rangda sebagai perlambang kekuatan baik dan buruk, dharma dan adharma (rwa bhineda).
Untuk menghormati jasa – jasa Mpu Kuturan, maka dibuatlah pelinggih khusus untuk Beliau berbentuk Manjangan Salwang, karena kedatangan Mpu Kuturan ke Bali konon menunggangi seekor menjangan. Namun dibalik ungkapan tersebut, Menjangan Salwang dapat diartikan sebagai balai yang panjang dan luas, dimana “Manjangan” berarti panjang, “salu” berarti balai dan “wang” berarti luas. Sehingga kata Manjangan Salwang diartikan sebagai lambang dari balai yang panjang dan luas, dimana tempat itu digunakan sebagai tempat pertemuan para dewa. Selain itu Mpu Kuturan juga mendirikan tempat suci di Padang Bai, Karangasem yang bernama Pura Cilayukti, dimana “sila” berarti tingkah laku dan “yukti” berarti benar. Berarti jika diartikan yaitu tingkah laku yang benar, karena di pura inilah Mpu Kuturan mulai memimpin dan mengajarkan tingkah laku yang benar kepada masyarakat Bali. Demikianlah karya dari Mpu Kuturan di Bali, dimana hal ini masih dapat dilihat hingga sekarang sebagai salah satu warisan penting bagi masyarakat Hindu di Bali. Hal ini menjadi ciri khas dari kebudayaan Bali yang sosio – religius.
Sumber: Gede Praptam
Pada masa pemerintahan suami istri inilah terjadi perubahan besar-besaran di Bali. Perubahan ini hampir menyangkut seluruh aspek kehidupan di Bali. Singkat kata perubahan ini menyangkut politik, ekonomi, sosial, budaya, dan agama. Zaman itu dapat dikatakan sebagai zaman perubahan yang memberi corak dan warna bagi kehidupan masyarakat Bali, dari situasi perselisihan dan pertentangan kepada situasi persatuan dan kesatuan. Adanya konflik ini diakibatkan oleh adanya perbedaan keyakinan dan kepercayaan yang dianut oleh masyarakat Bali yang mayoritas terdiri dari orang-orang Bali Aga.
Pada saat itu penduduk di Bali menganut sembilan paksa/keyakinan yang berbeda, yaitu : Siwa, Khala, Brahma, Wisnu, Bayu, Iswara, Bhairawa, Ghanapatya, dan Sogotha (Budha) yang didalam pelaksanaannya sering menimbulkan keresahan di masyarakat. Rakyat tidak menentang Raja, dan tidak ada pemberontakan yang ingin menggulingkan raja, hal ini disebabkan karena masing-masing paksa/keyakinan pada masa itu menempuh jalannya sendiri-sendiri, sehingga raja sulit mengendalikan rakyatnya karena banyaknya visi dan misi pada tataran pemikiran rakyatnya. Akibat dari perbedaan dan keanekaragaman keyakinan itu, keamanan dan ketertiban menjadi terganggu. Peristiwa ini menjadi masalah sosial yang berlarut-larut dan jika dibiarkan akan sangat mengganggu stabilitas kerajaan, dan pulau Bali pada umumnya. Hal ini tidak dapat diatasi oleh Raja Udayana Warmadewa dan Ratu Gunapriya Dharmapatni. Untuk mengatasi kemelut tersebut, raja suami istri ini mengundang Sang Catur Sanak dari Panca Tirta (empat dari lima pandita/Mpu bersaudara putra Mpu Lampita) di Jawa timur yang telah terkenal keahliannya dalam berbagai bidang kehidupan. Mereka adalah para Mpu yang datang secara bertahap, kemudian mendampingi pemerintahan raja dan ratu ini di Bali. Para Mpu ini antara lain :
Mpu Semeru atau Mpu Mahameru, tiba di Bali thun 999 M, beliau pemeluk agama Siwa dan beliau menjalani Sukla Brahmacari (Tidak kawin seumur hidup).
Mpu Ghana tiba di Bali tahun 1000 M, beliau pemeluk paham Ghanapatya dan beliau menjalani Sukla Brahmacari.
Mpu Rajakretha atau Mpu Kuturan tiba di Bali tahun 1001 M, beliau pemeluk Agama Budha, aliran Mahayana. Beliau menjalani Sewala Brahmacari (kawin hanya sekali dalam seumur hidup dengan satu istri).
Mpu Genijaya tiba di Bali tahun 1006 M, beliau pemeluk paham Brahmaisme dan menjadi ayah dari 7 Mpu yang kemudian dikenal dengan nama Sang Sapta Rsi di Bali, beliau menjalani Swala Brahmacari.
Sedangkan yang paling bungsu bernama Mpu Bharada tidak ikut ke Bali. Beliau tetap tinggal di Lemah Tulis, Pajarakan, Jawa Timur dan kemudian menjadi purohito kerajaan Daha pada masa pemerintahan Raja Sri Airlangga.
Kedatangan empat Pandita/Mpu ini ke Bali membawa perubahan dan angin segar bagi pulau ini. Sebab empat Rohaniawan ini bukan saja ahli di bidang Agama, namun juga menguasai berbagai hal dan keahlian yang berkaitan dengan politik dan pemerintahan. Seorang yang menonjol dalam berbagai bidang keahlian diantara keempat pandita itu adalah Mpu Kuturan. Pada masa pemerintahan raja dan ratu ini, Mpu Kuturan selain diangkat menjadi Purohito di Kerajaan Bali, Mpu Tuturan juga memegang beberapa jabatan penting, antara lain :
Senapati Kerajaan yang bergelar Senapati Kuturan.
Ketua majelis Pakira-kira Ijro Makabehan yang beranggotakan seluruh senapati, Pandita Dangacarya dan Dangupadhyaya (Pandita Siwa dan Budha) dimana majelis ini bertugas sebagai lembaga tinggi kerajaan yang berfungsi untuk memberikan nasehat dan pertimbangan kepada Raja, serta melakukan pembinaan di segala bidang, untuk menciptakan keamanan dan ketertiban di masyarakat.
Pada saat itu, atas persetujuan Raja Udayana Warmadewa dan Ratu Gunapriya Dharmapatni, Mpu Kuturan mengadakan penelitian untuk mencari akar permasalahan yang sedang melanda kerajaan. Dari sini Mpu Kuturan banyak mendapat informasi, data, dan fakta yang sangat bermanfaat untuk mengatasi kemelut yang terjadi di masyarakat. Mpu Kuturan menyampaikan akar permasalahan yang terjadi di kerajaan adalah masalah keyakinan yang berbeda satu sama lain dan saat itu beliau menemukan kiat untuk mengatasi kemelut di masyarakat dan memandang perlu untuk melakukan perubahan di masyarakat.
Atas restu dari raja dan ratu, Mpu Kuturan melakukan Pesamuan Agung (rapat akbar) dengan mengambil tempat di Bataanyar (kini Gianyar). Saat itu ada 1370 desa di seluruh Bali yang ikut dalam Pesamuan Agung ini. Pada saat pesamuan agung itu diundanglah tokoh-tokoh dari masing-masing keyakinan yang dibedakan menjadi 3 kelompok, yaitu:
Empu kuturan disamping selaku ketua majelis Pakira-kira Ijro Makabehan dan pemimpin Pesamuhan Agung tersebut juga sebagai wakil penganut Budha.
Tokoh-tokoh atau pimpinan orang-orang Bali Aga, dari masing-masing paksa/keyakinan yang terdiri dari berbagai sampradaya, dijadikan 1 kelompok yang jumlahnya paling banyak.
Tokoh-tokoh dan pimpinan Agama Siwa didatangkan dari Jawa, dimana mereka merupakan kelompok tersendiri.
Peserta Pesamuhan Agung tersebut telah siap dan telah membawa konsep dari masing-masing kelompok yang di ajukan dan dibicarakan dalam Pesamuan Agung tersebut. Kepada hadirin diberikan kebebasan dalam menyampaikan pendapat, pandangan, dan gagasan masing-masing. Semua pendapat dan pandangan ditampung oleh Mpu Kuturan selaku ketua Pesamuhan Agung. Mpu Kuturan juga menyampaikan pendapat dan pandangannya, bahwa perlu diadakan perubahan – perubahan serta mengatur kembali tatanan kehidupan masyarakat dengan suatu peraturan dengan berdasarkan situasi dan kondisi serta aspirasi dari masyarakat. Sidang menerima pandangan Mpu Kuturan dengan suara bulat. Akhirnya dalam Pesamuan Agung ini, diambil keputusan yang memuat beberapa jenis bidang yang menyangkut 5 pokok permasalahan yaitu;
Paham Tri Murti dijadikan dasar keagamaan yang telah mencakup paham dan aliran kepercayaan yang berkembangan di Bali pada saat itu.
Dijadikan perubahan terhadap organisasi kemasyarakatan, dengan wadah yang disebut Desa Pekraman, untuk itu didirikan tiga pura yang disebut pura Khayangan Tiga, yaitu:
(a) pura bale agung atau pura desa sebagai tempat suci untuk memuliakan Dewa Brahma, yang bertugas sebagai pencipta alam semesta.
(b) pura puseh sebagai tempat suci untuk memuliakan Sri Wisnu sebagai pemelihara alam semesta beserta isinya
(c) pura dalem atau pura hulu setra sebagai tempat suci untuk memuliakan dewa Siva dan saktinya Dewi Durga selaku pengembali unsur panca maha butha/ pralina.
Disamping itu, perlu didirikan tempat suci di sawah, yang disungsung oleh krama subak, kemudian dalam sejarah perkembangannya berubah nama jadi desa adat.
Pada setiap rumah tangga di wajibkan mendirikan sebuah pelinggih berbentuk Rong Tiga (Rong Telu), sebagai tempat memuliakan dan memuja roh suci para leluhur dan Sanghyang Widhi Wasa. Sebutan lain dari rong tiga adalah kemulan yang terdapat dalam setiap sanggah atau merajan.
Semua tanah pekarangan dan tanah yang terletak di desa pakraman dan pura khayangan tiga adalah milik desa pakraman yang juga berarti milik kayangan tiga, oleh sebab itu, tanah-tanah ini tidak boleh dijual – belikan.
Tentang nama agama yang dianut oleh masyarakat Bali disebut agama Siva – Budha.
Demikianlah keputusan penting yang telah dibahas dalam Pesamuan Agung tersebut. Selanjutnya hal ini menjadi warisan tak ternilai bagi umat Hindu dan masyarakat Bali, dimana hal ini berkaitan dengan tata tertib, tata kehidupan masyarakat, dan agama. Sebab keputusan tersebut sangat cocok dengan aspirasi dan kondisi masyrakat Bali saat itu, yang kemudian melahirkan masyarakat sosioreligius, dan masih dapat dilihat sampai saat ini. Tempat Pesamuan Agung yang terletak di desa Bedahulu, Gianyar kemudian dikenal dengan sebutan Samuan Tiga yang bermakna pertemuan segi tiga, ditempat ini saat ini telah berdiri sebuah pura yang disebut pura Samuan Tiga atau pura Samuan Telu. Dari nama itu telah memberikan kesan, bahwa disinilah paham trimurti mulai diperkenalkan dan ditegakkan, serta paham Siwa – Budha yang disatukan atas dalil yang berbunyi : “Ndatan len kira Siwa rupa Budha, maka pati urip ikang trimandala, Sang Sangkan Paraning Sarat ganal alit hita ala ayu kojaring aji, utpett, stithi, linaning dadi kita kocanani paramartha Sogatha”. (Prasasti Samuan Tiga) yang kurang lebih terjemahannya sebagai berikut: “Tiada lain Siwa yang berupa Budha, berkuasa menghidupkan sekalian makhluk penghuni tiga alam semesta, manciptakan besar dan kecil, kasar dan halus, suka dan duka, Engkau yang mengadakan ajaran agama (Dharma), yang berdasarkan nilai – nilai kelahiran, kehidupan, dan akhirnya kematian. Jadi Engkau adalah penyebab tertinggi wahai Budha”.
Sejak saat itu, kehidupan masyarakan di Bali menjadi lebih tertib, aman, rukun, dan damai. Mereka saling hormat – menghormati sesuai dengan semboyan “Bhineka tunggal ika tan hana dharma mangrwa”, yang artinya walaupun berbeda – beda tetapi tetap satu dalam pelaksanaan terhadap dharma atau kewajiban. Seperti keputusan di Pesamuan Agung yang diadakan di Bataanyar, dimana Mpu Kuturan yang menjadi pemrakarsanya. Peristiwa itu terjadi kurang lebih tahun 1002 M.
Pada tahun 1007 M, Mpu Kuturan atas persetujuan dari Raja/Ratu dan yang hadir pada saat Pesamuan Agung di Samuan Tiga, Bataanyar. Memberikan wewenang kepada para Bhujangga Waisnawa untuk memimpin pelaksanaan yajna baik besar maupun kecil yang diadakan di seluruh wilayah kerajaan, dan Mpu Kuturan berpesan kepada Bhujangga Waisnawa sebagai berikut : “Wahai Bhujangga Waisnawa sekalian, jangan lupa dengan junjungan dan tugas kewajiban kalian, yang disebut Tri Wisesa, sebagai pemeluhara kita, apabila kalian lalai dan lupa, kalian pun akan dilupakan oleh Sang Hyang Tri Wisesa, yang dapat membuat kita bingung karena Sang Hyang Tri Wisesa itulah sebagai sumber kita sekalian, agar kamu sekalian mengerti”.
Disamping hal tadi ada juga panjelasan Mpu Kuturan yang mengatakan pada bilamana terjadi kekeruhan di dunia, harus diadakan upacara yadna yang bernama tebasan. Upacara ini harus dipuja dan dipimpin oleh Sang Bhujangga Waisnawa. Hanya Sang Bhujangga Wausnawa yang berwenang memuja dan memimpin upacara, pangklukatan (penyucian) tersebut, bilamana terjadi kekeruhan di dunia dan alam semesta ini, termasuk yang behubungan dengan pekarangan rumah, tegalan (ladang), persawahan, dan lain – lain. Jika bukan Sang Bhujangga Waisnawa yang memimpin dan memuja upacara pangklukatan itu, maka upacara tersebut tidak akan berhasil, sebab hal tersebut merupakan tugas dari Sang Bhujangga Waisnawa. Apabila sudah dilaksanakan seperti itu, barulah Pulau Bali akan menjadi aman sentosa. Dikisahkan pula bahwa para Bhujangga Waisnawa yang berleluhur Maharsi Markandeya, ketika tiba di Bali membawa berbagai pustaka suci Weda, yang memuat ajaran suci seperti : Sruti, Smerti, Candrakarana, Kirthabhasa, Dasanama, Upanisad, Wedanta sutra, Itihasa (Ramayana dan Mahabrata), dan berbagai Purana.
Desa pakraman hasil ciptaan Mpu Kuturan, melahirkan tatanan kehidupan masyarakat, suatu wadah kesatuan dan persatuan masyarakat Bali, yang berisi tuntunan tata krama yakni suatu aturan hidup untuk menciptakan suasana kehidupan yang serasi, selaras, dan seimbang di dalam kehidupan masyarakat. Selain tatakrama juga terdapat nilai – nilai kebersamaan yaitu musyawarah untuk mufakat. Dalam desa pakraman juga diatur tentang tata ruang karena dalam kehidupan masyarakat manusia ini memerlukan kebutuhan hidup yang mencukupi, yang disebut “Panca Wa Sasaning Nithi Warga”. Yang dimaksud Panca Wa itu adalah kebutuhan pokok hidup, yang terdiri dari Wisma (perumahan), Wastra (sandang), Wareg (pangan), Waras (kesehatan), dan Waskita (pendidikan dan rekreasi). Di dalam hal ini wawasan lingkungan ditentukan, sehingga tata ruang jelas diketahui, dimana masing – masing wilayah ditetapkan tentang kegunaan dan manfaatnya, seperti misalnya : lokasi kahyangan, perumahan, bangunan umum untuk kepentingan bersama, lapangan, jalan, dan lain sebagainya. Dengan demikian, model atau corak desa di Bali, apabila mengikuti tataruang ini akan tampak ada persamaannya.
Manusia di dalam kehidupannya membutuhkan suatu tempat tinggal sekelompok manusia yang disebut hunian. Hunian ini bukanlah merupakan sesuatu hanya dipergunakan melainkan mempunyai fungsi sebagai perekat rasa atau batin untuk memperkat hubungan sosial. Di dalam pembangunan, bukan saja merupakan kegiatan yang bersifat fisik, namun melibatkan pula hal – hal yang bersifat non fisik, melalui ritual keagamaan. Jiwa dan rasa penghuninya dikaitkan dengan setiap bangunan yang didirikan. Tataruangan suatu hunian mengikuti dan berpedoman kepada tataruang. Hunian bukan saja menampung manusia semasa hidupnya, melainkan juga manmpung manusia yang telah meninggal dunia, termasuk yang sudah tidak terwujud yaitu arwah suci para leluhur, yang distanakan di tempat khusus yaitu Sanggah atau Pemrajan. Oleh sebab itu, antara sekala (alam nyata) dengan niskala (alam gaib) dapat dipadukan kelestariannya dalam kehidupan bermasyarakat, sehingga masalah aktual dan spiritual dapat diwujudkan, disenyawakan, dan diselaraskan seperti apa yang dikonsepkan dalam ajaran “Rwa Binedha”. Persenyawaan ini harus diaktifkan malaui ritual. Melalui ritual inilah, ruang memperoleh makna dan waktu serta peristiwa sehingga pedoman yang mengatur kegiatan ini adalah suatu lingkungan yang teratur dan utuh, sebab pedoman yang terjadi berdasarkan atas kesepakatan yang diyakini bersama. Kebutuhan lingkungan akan menjadi kuat apabila mulai dari tataruang, bangunan, alat, pakaian, kelakuan sampai ritual berdasarka suatu pedoman. Begitu pula pengendalian sumber daya harus dijadikan upaya untuk menjaga keseimbangan lingkungan, termasuk di dalamnya tentang ketahanan, ketertiban, dan keamanan yang mantap, ampuh, dan terkendali.
Pada konsep tataruang yang bebudaya dan berwawasan lingkungan positif, yang ditetapkan oleh Mpu Kuturan ke dalam masyarakat Bali, dapat memberikan warna dan corak kehidupan masyarakat di daerah ini. Seperti misalnya : Triangga, Trimandala, Hulu teban, Astabhumi, Asta Kosala – Kosali, Bamakerthi, Jananpaka, dan lain sebagainya. Semua ini kemudian menjadi landasan berpijak bagi masyarakat Hindu di Bali dan pedoman di dalam setiap gerak kehidupan bermasyarakat yang dapat memperkuat rasa kebersamaan diantara masing – masing kelompok dan perorangan. Semua konsep dan ajaran Mpu Kuturan akhirnya dijadikan warisan tak ternilai bagi masyarakat Hindu di Bali, walaupun tidak sedikit pemakai konsep dan ajaran ini tidak mengetahui siapa arsitek konsep dan ajaran tersebut.
Karya lain dari Mpu Kuturan adalah berhasil memperluas dan memperbesar Pura Besakih, serta menciptakan Pelinggih Meru dan Gedong. Mpu Kuturan juga yang mengajarkan pembuatan kahyangan secara spiritual, termasuk pembuatan jenis – jenis pedagingan. Selain itu, Mpu Kuturan juga yang telah menciptakan konsep Tri Hita Karana, yang berarti tiga penyebab kebahagiaan, yaitu : Parahyangan yang berarti hubungan manusia dengan Tuhan, yang termanifestasi dalam bentuk Kahyangan Tiga, Palemahan yaitu hubungan manusia dengan alam dan lingkungan di sekitarnya tercermin dari wilayah tertorial dari desa pakraman, dan Pawongan yaitu hubungan manusia dengan sesama manusia yang tercermin dalam kramaning warga.
Guna menjaga ketentraman masyarakat Bali, Mpu Kuturan mendirikan dan menyempurnakan Pura Kahyangan Jagat yang berjumlah delapan buah, yaitu : Pura Besakih, Lempuyang, Andakasa, Goa Lawah, Batukaru, Beratan, Batur, dan Uluwatu. Selain itu Mpu Kuturanlah yang memprakarsai upacara ngenteg linggih atau yang sering disebut ngelinggihang (menstanakan) Dewa Pitara (roh suci leluhur) di sanggah atau pemrajan pada rong tiga (kemulan). Pelinggih Rong Tiga juga berlaku untuk tempat suci memuliakn Tuhan yang Maha Esa dalam fungsinya sebagai Kahyangan Tiga keluarga dalam fungsi Beliau sebagai penguasa dari penciptaan, pemelihaaran, dan pengembali ke unsur Panca Maha Butha, yang tersimbolisasi dari Dewa Brahma, Sri Wisnu, dan Dewa Siwa.
Konsep bangunan Meru yang diperakarsai oleh Mpu Kuturan disebut perlambang dari gunung Mahameru, tempat kediaman para dewa. Namun ada yang berpendapat bahwa Meru adalah perkembangan candi dari Jawa. Candi Jawa sebenarnya melambangkan alam kosmos yang dapat di bagi menjadi 3 bagian, yaitu bhur loka, yang dilambangkan pada kaki candi, bwah loka yang dilambangkan sebagai badan candi, dan swah loka dilambangkan atap candi. Di dalam perkembangannya, di Bali meru tidak hanya bertumpang 3, melainkan dari tumpang 1 sampai tumpang 11. Perlu diketahui kalau tumpang meru selalu ganjil, kecuali tumpang 2. Jadi ada tumpang 1, 2, 3, 5, 7, 9 dan 11. Kenyataan membuktikan di Bali menurut fungsinya meru dapat dikategorikan menjadi 2 jenis, yaitu sebagai dewa prathista atau pelinggih dewa dan meru selaku atma pratistha atau sebagai pelinggih roh suci. Perbedaan dari kedua jenis Meru ini terletak pada sikutnya (ukurannya) seperti ditentukan pada lontar asta kosala – kosali.
Menurut lontar Andhabhuwana, Meru merupakan perpaduan dari Pradana tatwa dan Purusa tatwa, yang melahirkan Batur Kalawasa petak atau cikal bakal leluhur yang suci. Disebutkan pula bahwa Meru sebagai lambang Andhabhuwana atau alam semesta, sedang tumpang atapnya simbol lapisan alam. Begitu juga disebut bahwa Meru adalah simbol aksara suci Dasaktara yang menunggal menjadi Om dengan windu – windhu baik, diawali dari windhu satu sampai sebelas.
Dengan demikian Meru beratap sebelas adalah lambang dari sebelas aksara suci, simbol ekadasa dewata. Meru beratap sembilan aksara suci simbol Nawa Dewata (Sanga Dewata). Meru beratap tujuh lambang tujuh aksara suci, simbol Sapta Dewata, Meru beratap lima merupakan lambang lima aksara suci, simbol Panca Dewata. Meru beratap tiga lambang tiga aksara suci, simbol dari Tri Purusa. Meru beratap dua lambang dua aksara suci, simbol rwa bhineda atau purusa pradana. Sedangkan meru beratap satu merupakan lambang dari panunggalan seluruh aksara menjadi Om, simbol Sang Hyang Tunggal.
Mpu Kuturan, sebagaimana telah disinggung dalam beberapa sumber berupa lontar dan babad, tatkala masih di Jawa, Mpu Kuturan pernah bertahta sebagai raja yang berkedudukan di Gira dan mempunyai seorang istri serta seorang putri bernama Dyah Ratnamanggali. Namun Mpu Kuturan dan istrinya mengalami pertentangan sehingga keluarga ini menjadi retak. Konflik ini terjadi karena istrinya menerapkan ilmu hitam, yaitu menjalankan teluh teranjana, dimana ritual ini merupakan salah satu cara untuk memuja bhatari Durga demi mendapatkan kesaktian. Istrinya merupakan pengikut tantra kiri atau bhairawi. Sedangkan Mpu Kuturan menerapkan ajaran kebajikan. Oleh karena hal inilah Mpu Kuturan lalu meninggalkan istri dan anaknya untuk pergi ke Bali menerima undangan Raja Udayana Warmadewa dan Ratu Gunapriya Dharmapatni untuk membantu menyelesaikan masalah yang dihadapi oleh Raja suami istri ini. Walaupun pada akhirnya istrinya dikalahkan oleh adiknya sendiri yaitu Mpu Bharadah dengan siasat menikahkan Dyah Ratnamanggali dengan putranya yaitu Mpu Bahula, dimana akhirnya Rangda Girah (istri Mpu Kuturan) berhasil dikalahkan. Cerita ini sangat terkenal di Bali, dan hal tersebut tergambar dalam pementasan sendratari Calonarang, bahkan di pura pada saat pujawali, ditampilkan dalam bentuk tarian barong dan rangda sebagai perlambang kekuatan baik dan buruk, dharma dan adharma (rwa bhineda).
Untuk menghormati jasa – jasa Mpu Kuturan, maka dibuatlah pelinggih khusus untuk Beliau berbentuk Manjangan Salwang, karena kedatangan Mpu Kuturan ke Bali konon menunggangi seekor menjangan. Namun dibalik ungkapan tersebut, Menjangan Salwang dapat diartikan sebagai balai yang panjang dan luas, dimana “Manjangan” berarti panjang, “salu” berarti balai dan “wang” berarti luas. Sehingga kata Manjangan Salwang diartikan sebagai lambang dari balai yang panjang dan luas, dimana tempat itu digunakan sebagai tempat pertemuan para dewa. Selain itu Mpu Kuturan juga mendirikan tempat suci di Padang Bai, Karangasem yang bernama Pura Cilayukti, dimana “sila” berarti tingkah laku dan “yukti” berarti benar. Berarti jika diartikan yaitu tingkah laku yang benar, karena di pura inilah Mpu Kuturan mulai memimpin dan mengajarkan tingkah laku yang benar kepada masyarakat Bali. Demikianlah karya dari Mpu Kuturan di Bali, dimana hal ini masih dapat dilihat hingga sekarang sebagai salah satu warisan penting bagi masyarakat Hindu di Bali. Hal ini menjadi ciri khas dari kebudayaan Bali yang sosio – religius.
Sumber: Gede Praptam
Jejak Markandeya di Bumi Parhyangan
Jejak Markandeya di Bumi Parhyangan
Pura Murwa (Purwa) Bhumi menjadi tonggak pertama kali Maharsi Markandeya menyebarkan ilmu keagamaan, menularkan ilmu teknologi pertanian pada orang Aga yang tinggal di Payangan.
Kecamatan Payangan yang berlokasi di belahan barat laut, Kabupaten Gianyar, selama ini lebih banyak dikenal sebagai daerah pertanian, terutama penghasil buah leci. Satu identitas yang sulit ditampik kenyataannya. Mengingat hanya di Payangan jenis tanaman yang menurut cerita masyarakat Payangan berasal dari ngeri Tirai Bambu, Cina, banyak bertumbuhan.
Di balik potensi pertanian yang dimiliki, kawasan yang berada sekitar 500 meter dari permukaan laut ini ternyata memiliki banyak tempat suci tergolong tua. Satu di antaranya Pura Murwa Bhumi.
Lokasi pura tua ini tak jauh dari pusat kota kecamatan. Kalau Anda berangkat dari Denpasar hendak menuju Kintamani dan mengambil jalur jalan raya Payangan, maka di satu tempat sebelah timur jalan, kurang lebih 500 meter sebelum Pasar Payangan, coba sempatkan melihat ke arah kanan jalan (arah timur). Di sana terpampang dengan jelas papan nama Pura Murwa Bhumi atau masyarakat sekitar ada menyebut Purwa Bhumi. Dalam penjelasan Kelian Dinas Pengaji sekaligus menjadi Kepala Desa Melinggih Kelod, I Made Suwardana, pura yang diempon warga Desa Pengaji ini memiliki pertalian dengan kisah perjalanan seorang tokoh suci Maharsi Markandeya, di tanah Bali Dwipa.
Seperti banyak tersurat dalam lontar atau Purana, di antaranya lontar Markandeya Purana, bahwa sang yogi Markandeya yang kawit hana saking Hindu (yogi Rsi Markandeya berasal dari India), melakukan perjalanan suci menuju tanah Jawadwipa. Beliau sempat beryoga semadi di Gunung Demulung, lalu berlanjut ke Gunung Di Hyang—kelak Gunung Di Hyang dikenal dengan nama Gunung Dieng, berlokasi di Jawa Tengah.
Dari Gunung Dieng Rsi Markandeya meneruskan perjalanan menuju arah timur ke Gunung Rawung yang terletak di wilayah Kabupaten Banyuwangi, Propinsi Jawa Timur. Di Gunung Rawung sempat membangun pasraman, sebelum akhirnya melanjutkan perjalanan ke Bali.
Di pulau mungil ini Maharsi bersama pengikutnya merabas hutan dan membangun banyak tempat suci. Di antaranya Pura Murwa Bhumi.
Mengenai Pura Murwa Bhumi, tradisi lisan di Payangan dan sekitarnya menyebutkan, tempat suci ini konon menjadi tempat pertama kali Maharsi Markandeya memberikan pembelajaran kepada para pengikutnya. Penegasan yang cukup masuk diakal, terutama bila dikaitkan dengan nama tempat di mana pura tersebut dibangun, yakni Desa Pengaji.
Besar kemungkinan nama Pengaji diambil dari satu tugas mulia Maharsi Markendya selama berada di Payangan, yakni memberi pengajian (pembelajaran) pada orang-orang. “Kehadiran Pura Murwa Bhumi ada tercatat di dalam prasasti,” sebut Cokorda Made Ranayadnya, tetua dari Puri Agung Payangan, sekaligus pangempon di Pura Murwa Bhumi. Satu di antaranya tertulis dalam prasasti Pura Besakih yang termuat di Buku Eka Dasa Ludra. Dalam buku itu disebutkan secara singkat bahwa ada pura di Payangan bernama Pura Murwa Bhumi. Dulu, warga sekitar sering menyebut Pura Dalem Murwa.
Tak beda jauh dengan penjelasan Cok Ranayadnya. Dalam buku Sejarah Bali Jilid I dan II, karangan Gora Sirikan dan diterbitkan Nyoman Djelada, juga ada menerangkan, kedatangan Rsi Markandeya yang kedua ke Bali dengan mengikutsertakan ribuan orang dari Desa Aga, Jawa. Orang Aga ini dikenal sebagai petani kuat hidup di hutan.
Maharsi Markandeya mengajak pengikut orang Aga guna diajak merabas hutan dan membuka lahan baru. Setelah berhasil menunaikan tugas, maka tanah lapang itu dibagi-bagikan kepada pengikutnya guna dijadikan sawah, ladang, serta sebagai pekarangan rumah. Tempat awal melakukan pembagian itu kelak menjadi satu desa bernama Puwakan. Kini lokasinya di Desa Puwakan, Taro Kaja, Kecamatan Tegallang, Kabupaten Gianyar.
Tentang pembagian tanah dan kehadiran maharsi di Bali, dalam Markandya Purana ada dijelaskan:
Saprapta ira sang Yoghi Markandya maka di watek pandita Adji, mwah wadwan ira sadya ring genahe katuju, dadya ta agelis sang Yoghi Markandya mwang watek Pandita prasama anangun bratha samadhi, anguncar aken wedha samadhi, mwah wedha pangaksamaning Bhatara kabeh, sang Pandita aji anguncar aken wedha panulaks arwa marana, tarmalupengpuja samadhi, Dewayajna mwang Bhhutayajna, Pratiwi stawa. Wus puput ngupacaraning pangaci aci, irika padha gelis wadwan ira kapakon angrabas ikangwana balantara, angrebah kunang taru-taru, ngawit saking Daksina ka Utara.
Reh sampun makweh olih ngrabas ikang wana balantara, mwah dinuluran swecaning Hyang tan hana manggih pasangkalan, Sang Yoghi Markandya anuduh akenwadwan ira araryanrumuhun angrabas wana ika, tur wadwan ira sadaya, angangge sawah mwang tegal karang paumahan.....,
Artinya:
Setibanya Sang Yoghi Markandya seperti juga para Pandita Aji, bersama rakyatnya semua di tempat yang di tuju, maka segera Sang Yoghi Markandya dan para pandita semuanya melakukan bratha samadi, dengan mengucapkan wedha samadi, serta weda memohon perkenan Ida Batara semua, Sang pandita Aji mengucapkan weda penolakan terhadap semua jenis hama dengan tak melupakan puja samadhi, menyelenggarakan upacara Dewayajnya dan Bhutayajnya, serta memuja Pertiwi. Setelah selesai melakukan pangaci-aci (melakukan upacara), maka seluruh rakyatnya diperintahkan merabas hutan belantara tersebut, menebang kayu-kayu, di mulai dari selatan setelah itu baru ke utara.
Atas perkenan Tuhan Hyang Maha Kuasa, proses perabasan hutan tak mendapat halangan. Karena sudah luas, maka Sang Yoghi Markandya memerintahkan rakyatnya untuk berhenti melakukan perabasan hutan. Yoghi Markandya kemudian membagi-bagikan lahan itu kepada pengikutnya untuk dijadikan sawah, tanah tegalan, serta pekarangan rumah,.....
Usai melakukan pembagian tanah, Maharsi Markandeya kembali melakukan pertapaan di satu tempat yang mula-mula diberi nama Sarwadha. Tempat dimaksud kini menjadi Desa Taro, sedang Sarwadha, kini merupakan lokasi satu tempat suci cukup besar. Sarwadha sendiri berasal dari kata sarwa (serba) dan ada, Jadilah serba ada, artinya di tempat inilah segala keinginan tercapai, lantaran semua serba ada.
Setelah keinginan terpenuhi di Taro, Maharsi kemudian melanjutkan perjalanan serta memindahkan tempat pertapaan ke arah barat. Pada satu lokasi yang masih asri. Di tempat baru itu Beliau mendapat inspirasi (kahyangan) dari Tuhan, makanya lamat-lamat tempatnya dinamakan kahyangan, kemudian berubah lagi menjadi parhyangan, dan kini disebut Payangan.
Tempat di mana rohaniwan mengelar pertapaan dibuat sebuah mandala srta didirikan sebuah sebagai tempat memuja para dewa. Pura dimaksud diberi nama Murwa yang artinya permulaan.
Belum benderang betul kenapa pura yang diberi nama Purwa atau Murwa (kini bernama Murwa Bhumi) disebut sebagai permulaan. Tiada tanda jelas yang bisa dijadikan bukti otentik.
Tapi, bila ditelaah lebih jelas, kata Purwa sama dengan timur atau yang pertama. Di timur pertama kali matahari mulai memancarkan sinarnya yang benderang. Di timur pula bulan kali pertama terbit.
Jika dikaitkan dengan perjalanan Maharsi di Payangan, boleh jadi di Pura Murwa Bhumi-lah dijadikan tempat pertama oleh Maharsi Markandeya bertapa sekaligus memberikan pembelajaran bagi para pengikut menyangkut agama dan cara-cara berteknologi guna memperoleh kemakmuran. Makmur yang dimaksud zaman dulu, jelas menyangkut cara bertani yang baik dan benar sehingga mampu mendapat hasil bagus.
Tempat suci yang diempon warga Desa Pakraman Pengaji, menurut Bandesa Pakraman Pengaji Dewa Ngakan Putu Adnyana, masih memiliki beberapa peninggalan. Di antaranya palinggih babaturan dan Gedong Bang yang menjadi stana Ida Rsi Markandeya. “Dulu ada peninggalan terbuat dari batu yang dinamakan Bedau. Bentuknya menyerupai perahu,” kata Ngakan Adnyana. Dari Bedau itu terus keluar air yang biasa dimohon oleh warga guna dijadikan sarana pengobatan, terutama bila ada ternak yang sakit. Sayang, tinggalan tua itu telah rusak dan sebagai pengingat saja, warga mengganti dengan perahu batu baru.
Selain tinggalan tua berupa palinggih, di Pengaji sampai saat ini masih berkembang struktur masyarakat Bali Aga terutama menyangkut keagamaan, yang dinamakan Ulu Apad (delapan tingkatan), mulai dari Kubayan, Kebau, Singgukan, Penyarikan, Pengalian, pemalungan, Pengebat Daun, dan Pengarah. Warga yang tercatat dalam struktur organisasi tradisional ini akan menunaikan tugas sesuai fungsi dan jabatan yang dipegang. I Wayan Sucipta
Tapak–tapak Suci Sang Maharsi
Jejak perjalanan Rsi Markandeya menelusuri tanah Balidwipa, banyak meninggalkan atau ditandai oleh pembangunan tempat suci. Pura itu banyak yang menjadi sungsungan jagat, tak sedikit pula yang di-emong warga desa pakraman.
Tempat-tempat suci yang berhubungan dengan Rsi Markandeya di Bali meliputi Pura Basukian di kaki Gunung Agung (Gunung Tolangkir), tepatnya di Desa Besakih, Kecamatan Rendang, Kabupaten Karangasem. Semula, lokasi pura merupakan tempat yajnya tempat Rsi Markandeya menanam kendi yang berisi Pancadatu, lima jenis logam mulia. Seperti perunggu, emas, perak, tembaga, dan besi. Tujuannya, supaya Maharsi beserta pengikutnya mendapat keselamatan. Lamat-lamat komplek pura Basukian dikenal dengan nama Besakih.
Berikutnya ada Pura Pucak Cabang Dahat. Tempat suci ini berlokasi di Desa Puwakan, Taro, Kecamatan Tegalalang, Kabupaten Gianyar. Pura ini dibangun sebagai tanda pertama kali Maharsi beserta pengikutnya melakukan perabasan hutan setelah menggelar yajnya di kaki Gunung Agung. Setelah sukses merabas hutan, Maharsi Markandeya kemudian membagi-bagikan lahan kepada pengikutnya guna dijadikan pemukiman dan areal pertanian.
Masih di wilayah Desa Taro, Rsi Markandeya juga membangun Pura Gunung Raung, sebagai tempat panyawangan (perwakilan) Gunung Raung yang terdapat di Desa Sugih Waras, Kecamatan Glanmore, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur. Sebab dari tempat itulah pertama kali sang Rohaniwan mendapat wangsit sebelum datang ke Bali.
Di kawasan Ubud ada dua tempat suci sebagai pertanda kedatangan Rsi Markandeya, yakni Pura Pucak Payogan di Desa Payogan dan Pura Gunung Lebah di Campuhan, Ubud, Kabupaten Gianyar.
Setelah berhasil merabas hutan di Besakih, Rsi Markandeya kemudian bersemadi. Dalam semadinya menemukan satu titik sinar terang. Selanjutnya Rohaniwan ini menelusuri sinar yang ditemukan dalam beryoga, hingga sampai pada satu tempat agak tinggi ditumbuhi hutan lebat. Pada lokasi dimaksud Rsi Markandeya melakukan yoga semadi. Nah, di tempat Maharsi beryoga itulah selanjutnya berdiri Pura Pucak Payogan.
Sekitar dua kilometer arah tenggara Pucak Payogan, tepatnya di Campuhan Ubud, Rsi Markandeya mendirikan tempat suci Gunung Lebah. Pura ini dibangun sebagai tempat sang yogi melakukan penyucian diri dari segala mala petaka atau tempat panglukatan dasa mala.
Dalam Bhuwana Tatwa Maharsi Markandeya ada ditegaskan:
Mwah ri pangiring banyu Oos ika hana Wihara pasraman sira rsi Markandya iniring para sisyan ira, makadi kula wanduan ira sira sang Bhujangga Waisnawa....”
Artinya : di pinggir sungai Oos itu terdapat sebuah Wihara sebagai pasraman Ida Maharsi Markandeya disertai oleh muridnya, seperti sanak keluarga sang Bhujangga Waisnawa.
Ketika melanjutkan perjalanan ke wilayah Parhyangan (Payangan), sesuai yang tersurat di buku Bhujangga Waisnawa dan Sang Trini, karangan Gde Sara Sastra, bahwa Maharsi Markandeya juga membangun tempat suci Murwa (Purwa) Bhumi. Pura dimaksud berlokasi di Desa Pakraman Pengaji, dan warga setempat meyakini di tempat itulah Maharsi dari India ini pertama kali (Purwa) memberikan proses pembelajaran kepada para pengikutnya. Pelajaran yang diberikan selain menyangkut agama juga tentang teknologi pertanian.
Setelah berhasil memberikan pengajian, termasuk menjadikan masyarakat Aga di Payangan sukses dalam mengelola pertanian, maka sang Maharsi kembali membangun tempat suci yang diberinama Sukamerih (mencapai kesukaan). Letaknya tepat di seberang jalan Pura Murwa Bhumi.
Sesuai penjelasan Bandesa Pakraman Pengaji, Dewa Ngakan Putu Adnyana, kedua pura tadi oleh warga Pengaji diyakini ada saling keterkaitan. Maka, upacara keagamaan juga dilaksanakan secara bersamaan. WS
Pura Murwa (Purwa) Bhumi menjadi tonggak pertama kali Maharsi Markandeya menyebarkan ilmu keagamaan, menularkan ilmu teknologi pertanian pada orang Aga yang tinggal di Payangan.
Kecamatan Payangan yang berlokasi di belahan barat laut, Kabupaten Gianyar, selama ini lebih banyak dikenal sebagai daerah pertanian, terutama penghasil buah leci. Satu identitas yang sulit ditampik kenyataannya. Mengingat hanya di Payangan jenis tanaman yang menurut cerita masyarakat Payangan berasal dari ngeri Tirai Bambu, Cina, banyak bertumbuhan.
Di balik potensi pertanian yang dimiliki, kawasan yang berada sekitar 500 meter dari permukaan laut ini ternyata memiliki banyak tempat suci tergolong tua. Satu di antaranya Pura Murwa Bhumi.
Lokasi pura tua ini tak jauh dari pusat kota kecamatan. Kalau Anda berangkat dari Denpasar hendak menuju Kintamani dan mengambil jalur jalan raya Payangan, maka di satu tempat sebelah timur jalan, kurang lebih 500 meter sebelum Pasar Payangan, coba sempatkan melihat ke arah kanan jalan (arah timur). Di sana terpampang dengan jelas papan nama Pura Murwa Bhumi atau masyarakat sekitar ada menyebut Purwa Bhumi. Dalam penjelasan Kelian Dinas Pengaji sekaligus menjadi Kepala Desa Melinggih Kelod, I Made Suwardana, pura yang diempon warga Desa Pengaji ini memiliki pertalian dengan kisah perjalanan seorang tokoh suci Maharsi Markandeya, di tanah Bali Dwipa.
Seperti banyak tersurat dalam lontar atau Purana, di antaranya lontar Markandeya Purana, bahwa sang yogi Markandeya yang kawit hana saking Hindu (yogi Rsi Markandeya berasal dari India), melakukan perjalanan suci menuju tanah Jawadwipa. Beliau sempat beryoga semadi di Gunung Demulung, lalu berlanjut ke Gunung Di Hyang—kelak Gunung Di Hyang dikenal dengan nama Gunung Dieng, berlokasi di Jawa Tengah.
Dari Gunung Dieng Rsi Markandeya meneruskan perjalanan menuju arah timur ke Gunung Rawung yang terletak di wilayah Kabupaten Banyuwangi, Propinsi Jawa Timur. Di Gunung Rawung sempat membangun pasraman, sebelum akhirnya melanjutkan perjalanan ke Bali.
Di pulau mungil ini Maharsi bersama pengikutnya merabas hutan dan membangun banyak tempat suci. Di antaranya Pura Murwa Bhumi.
Mengenai Pura Murwa Bhumi, tradisi lisan di Payangan dan sekitarnya menyebutkan, tempat suci ini konon menjadi tempat pertama kali Maharsi Markandeya memberikan pembelajaran kepada para pengikutnya. Penegasan yang cukup masuk diakal, terutama bila dikaitkan dengan nama tempat di mana pura tersebut dibangun, yakni Desa Pengaji.
Besar kemungkinan nama Pengaji diambil dari satu tugas mulia Maharsi Markendya selama berada di Payangan, yakni memberi pengajian (pembelajaran) pada orang-orang. “Kehadiran Pura Murwa Bhumi ada tercatat di dalam prasasti,” sebut Cokorda Made Ranayadnya, tetua dari Puri Agung Payangan, sekaligus pangempon di Pura Murwa Bhumi. Satu di antaranya tertulis dalam prasasti Pura Besakih yang termuat di Buku Eka Dasa Ludra. Dalam buku itu disebutkan secara singkat bahwa ada pura di Payangan bernama Pura Murwa Bhumi. Dulu, warga sekitar sering menyebut Pura Dalem Murwa.
Tak beda jauh dengan penjelasan Cok Ranayadnya. Dalam buku Sejarah Bali Jilid I dan II, karangan Gora Sirikan dan diterbitkan Nyoman Djelada, juga ada menerangkan, kedatangan Rsi Markandeya yang kedua ke Bali dengan mengikutsertakan ribuan orang dari Desa Aga, Jawa. Orang Aga ini dikenal sebagai petani kuat hidup di hutan.
Maharsi Markandeya mengajak pengikut orang Aga guna diajak merabas hutan dan membuka lahan baru. Setelah berhasil menunaikan tugas, maka tanah lapang itu dibagi-bagikan kepada pengikutnya guna dijadikan sawah, ladang, serta sebagai pekarangan rumah. Tempat awal melakukan pembagian itu kelak menjadi satu desa bernama Puwakan. Kini lokasinya di Desa Puwakan, Taro Kaja, Kecamatan Tegallang, Kabupaten Gianyar.
Tentang pembagian tanah dan kehadiran maharsi di Bali, dalam Markandya Purana ada dijelaskan:
Saprapta ira sang Yoghi Markandya maka di watek pandita Adji, mwah wadwan ira sadya ring genahe katuju, dadya ta agelis sang Yoghi Markandya mwang watek Pandita prasama anangun bratha samadhi, anguncar aken wedha samadhi, mwah wedha pangaksamaning Bhatara kabeh, sang Pandita aji anguncar aken wedha panulaks arwa marana, tarmalupengpuja samadhi, Dewayajna mwang Bhhutayajna, Pratiwi stawa. Wus puput ngupacaraning pangaci aci, irika padha gelis wadwan ira kapakon angrabas ikangwana balantara, angrebah kunang taru-taru, ngawit saking Daksina ka Utara.
Reh sampun makweh olih ngrabas ikang wana balantara, mwah dinuluran swecaning Hyang tan hana manggih pasangkalan, Sang Yoghi Markandya anuduh akenwadwan ira araryanrumuhun angrabas wana ika, tur wadwan ira sadaya, angangge sawah mwang tegal karang paumahan.....,
Artinya:
Setibanya Sang Yoghi Markandya seperti juga para Pandita Aji, bersama rakyatnya semua di tempat yang di tuju, maka segera Sang Yoghi Markandya dan para pandita semuanya melakukan bratha samadi, dengan mengucapkan wedha samadi, serta weda memohon perkenan Ida Batara semua, Sang pandita Aji mengucapkan weda penolakan terhadap semua jenis hama dengan tak melupakan puja samadhi, menyelenggarakan upacara Dewayajnya dan Bhutayajnya, serta memuja Pertiwi. Setelah selesai melakukan pangaci-aci (melakukan upacara), maka seluruh rakyatnya diperintahkan merabas hutan belantara tersebut, menebang kayu-kayu, di mulai dari selatan setelah itu baru ke utara.
Atas perkenan Tuhan Hyang Maha Kuasa, proses perabasan hutan tak mendapat halangan. Karena sudah luas, maka Sang Yoghi Markandya memerintahkan rakyatnya untuk berhenti melakukan perabasan hutan. Yoghi Markandya kemudian membagi-bagikan lahan itu kepada pengikutnya untuk dijadikan sawah, tanah tegalan, serta pekarangan rumah,.....
Usai melakukan pembagian tanah, Maharsi Markandeya kembali melakukan pertapaan di satu tempat yang mula-mula diberi nama Sarwadha. Tempat dimaksud kini menjadi Desa Taro, sedang Sarwadha, kini merupakan lokasi satu tempat suci cukup besar. Sarwadha sendiri berasal dari kata sarwa (serba) dan ada, Jadilah serba ada, artinya di tempat inilah segala keinginan tercapai, lantaran semua serba ada.
Setelah keinginan terpenuhi di Taro, Maharsi kemudian melanjutkan perjalanan serta memindahkan tempat pertapaan ke arah barat. Pada satu lokasi yang masih asri. Di tempat baru itu Beliau mendapat inspirasi (kahyangan) dari Tuhan, makanya lamat-lamat tempatnya dinamakan kahyangan, kemudian berubah lagi menjadi parhyangan, dan kini disebut Payangan.
Tempat di mana rohaniwan mengelar pertapaan dibuat sebuah mandala srta didirikan sebuah sebagai tempat memuja para dewa. Pura dimaksud diberi nama Murwa yang artinya permulaan.
Belum benderang betul kenapa pura yang diberi nama Purwa atau Murwa (kini bernama Murwa Bhumi) disebut sebagai permulaan. Tiada tanda jelas yang bisa dijadikan bukti otentik.
Tapi, bila ditelaah lebih jelas, kata Purwa sama dengan timur atau yang pertama. Di timur pertama kali matahari mulai memancarkan sinarnya yang benderang. Di timur pula bulan kali pertama terbit.
Jika dikaitkan dengan perjalanan Maharsi di Payangan, boleh jadi di Pura Murwa Bhumi-lah dijadikan tempat pertama oleh Maharsi Markandeya bertapa sekaligus memberikan pembelajaran bagi para pengikut menyangkut agama dan cara-cara berteknologi guna memperoleh kemakmuran. Makmur yang dimaksud zaman dulu, jelas menyangkut cara bertani yang baik dan benar sehingga mampu mendapat hasil bagus.
Tempat suci yang diempon warga Desa Pakraman Pengaji, menurut Bandesa Pakraman Pengaji Dewa Ngakan Putu Adnyana, masih memiliki beberapa peninggalan. Di antaranya palinggih babaturan dan Gedong Bang yang menjadi stana Ida Rsi Markandeya. “Dulu ada peninggalan terbuat dari batu yang dinamakan Bedau. Bentuknya menyerupai perahu,” kata Ngakan Adnyana. Dari Bedau itu terus keluar air yang biasa dimohon oleh warga guna dijadikan sarana pengobatan, terutama bila ada ternak yang sakit. Sayang, tinggalan tua itu telah rusak dan sebagai pengingat saja, warga mengganti dengan perahu batu baru.
Selain tinggalan tua berupa palinggih, di Pengaji sampai saat ini masih berkembang struktur masyarakat Bali Aga terutama menyangkut keagamaan, yang dinamakan Ulu Apad (delapan tingkatan), mulai dari Kubayan, Kebau, Singgukan, Penyarikan, Pengalian, pemalungan, Pengebat Daun, dan Pengarah. Warga yang tercatat dalam struktur organisasi tradisional ini akan menunaikan tugas sesuai fungsi dan jabatan yang dipegang. I Wayan Sucipta
Tapak–tapak Suci Sang Maharsi
Jejak perjalanan Rsi Markandeya menelusuri tanah Balidwipa, banyak meninggalkan atau ditandai oleh pembangunan tempat suci. Pura itu banyak yang menjadi sungsungan jagat, tak sedikit pula yang di-emong warga desa pakraman.
Tempat-tempat suci yang berhubungan dengan Rsi Markandeya di Bali meliputi Pura Basukian di kaki Gunung Agung (Gunung Tolangkir), tepatnya di Desa Besakih, Kecamatan Rendang, Kabupaten Karangasem. Semula, lokasi pura merupakan tempat yajnya tempat Rsi Markandeya menanam kendi yang berisi Pancadatu, lima jenis logam mulia. Seperti perunggu, emas, perak, tembaga, dan besi. Tujuannya, supaya Maharsi beserta pengikutnya mendapat keselamatan. Lamat-lamat komplek pura Basukian dikenal dengan nama Besakih.
Berikutnya ada Pura Pucak Cabang Dahat. Tempat suci ini berlokasi di Desa Puwakan, Taro, Kecamatan Tegalalang, Kabupaten Gianyar. Pura ini dibangun sebagai tanda pertama kali Maharsi beserta pengikutnya melakukan perabasan hutan setelah menggelar yajnya di kaki Gunung Agung. Setelah sukses merabas hutan, Maharsi Markandeya kemudian membagi-bagikan lahan kepada pengikutnya guna dijadikan pemukiman dan areal pertanian.
Masih di wilayah Desa Taro, Rsi Markandeya juga membangun Pura Gunung Raung, sebagai tempat panyawangan (perwakilan) Gunung Raung yang terdapat di Desa Sugih Waras, Kecamatan Glanmore, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur. Sebab dari tempat itulah pertama kali sang Rohaniwan mendapat wangsit sebelum datang ke Bali.
Di kawasan Ubud ada dua tempat suci sebagai pertanda kedatangan Rsi Markandeya, yakni Pura Pucak Payogan di Desa Payogan dan Pura Gunung Lebah di Campuhan, Ubud, Kabupaten Gianyar.
Setelah berhasil merabas hutan di Besakih, Rsi Markandeya kemudian bersemadi. Dalam semadinya menemukan satu titik sinar terang. Selanjutnya Rohaniwan ini menelusuri sinar yang ditemukan dalam beryoga, hingga sampai pada satu tempat agak tinggi ditumbuhi hutan lebat. Pada lokasi dimaksud Rsi Markandeya melakukan yoga semadi. Nah, di tempat Maharsi beryoga itulah selanjutnya berdiri Pura Pucak Payogan.
Sekitar dua kilometer arah tenggara Pucak Payogan, tepatnya di Campuhan Ubud, Rsi Markandeya mendirikan tempat suci Gunung Lebah. Pura ini dibangun sebagai tempat sang yogi melakukan penyucian diri dari segala mala petaka atau tempat panglukatan dasa mala.
Dalam Bhuwana Tatwa Maharsi Markandeya ada ditegaskan:
Mwah ri pangiring banyu Oos ika hana Wihara pasraman sira rsi Markandya iniring para sisyan ira, makadi kula wanduan ira sira sang Bhujangga Waisnawa....”
Artinya : di pinggir sungai Oos itu terdapat sebuah Wihara sebagai pasraman Ida Maharsi Markandeya disertai oleh muridnya, seperti sanak keluarga sang Bhujangga Waisnawa.
Ketika melanjutkan perjalanan ke wilayah Parhyangan (Payangan), sesuai yang tersurat di buku Bhujangga Waisnawa dan Sang Trini, karangan Gde Sara Sastra, bahwa Maharsi Markandeya juga membangun tempat suci Murwa (Purwa) Bhumi. Pura dimaksud berlokasi di Desa Pakraman Pengaji, dan warga setempat meyakini di tempat itulah Maharsi dari India ini pertama kali (Purwa) memberikan proses pembelajaran kepada para pengikutnya. Pelajaran yang diberikan selain menyangkut agama juga tentang teknologi pertanian.
Setelah berhasil memberikan pengajian, termasuk menjadikan masyarakat Aga di Payangan sukses dalam mengelola pertanian, maka sang Maharsi kembali membangun tempat suci yang diberinama Sukamerih (mencapai kesukaan). Letaknya tepat di seberang jalan Pura Murwa Bhumi.
Sesuai penjelasan Bandesa Pakraman Pengaji, Dewa Ngakan Putu Adnyana, kedua pura tadi oleh warga Pengaji diyakini ada saling keterkaitan. Maka, upacara keagamaan juga dilaksanakan secara bersamaan. WS
Senin, 04 Oktober 2010
Babad Pasek Kayu Selem
TERJEMAHAN
Babad Pasek Kayu Selem
Dan Babad ini berasal dari Desa Songan Kintamani,
yang kemudian ditulis dan disusun kedalam Hurup Lathin
Oleh Bapak Wayan Pasek dari Gianyar.
Selanjutnya diKomputerisasi Oleh Jro Mangku Djaman,ST
Ditranskrip kedalam Hurup Latin
Bulan September 2009. di Grya Agung Buana Murti.
Jl.Ngurah Rai, Gg XX, No. 9X Br.Pande Blahbatuh Gianyar,Bali
TERJEMAHAN
1a Pada bagian pertama lembaran ini kamisampaikan kehadapan Pembaca Transkrip Babad Pasek Kayu Selem yang salin dan kutip dari Gedong Kirtya Singaraja. Kami menyampaikan terjemahan ini sesuai dengan kemampuan yang ada pada kami, tentu banyak hal-hal yang kurang sempurna, karenanya dengan segala kerendahan hati yang terdalam kami penulis mohon maaf berharap agar Pembaca yang budiman dapat memakluminya. Semua yang kami lakukan ini hanya atas dasar dorongan keyakinan rasa hormat kami kehadapan Hyang Perama Kawi dengan mengenang dan melaksanakan apa yang telah ditetapkan didalam Babad Pasek Kayu Selem,yang merupakan Bhisama Ida Bhatara Kawitan ( Bisama Ida Bhatara ) Mpu Semeru kepada Ida Bhatara Mpu Kamareka) yang diteruskan kepada Putra – Putra Beliau ( Ida Mpu Ghnijaya Mahireng, Ida Mpu Kaywan, Ida Mpu Trunyan, Ida Mpu Badengan ).yang menurunkan warga ki Arrya Pasek Kayu Selem, atau Warga Pasek Kayu Selem, yang tersebar di selurh Dunia.
Agar lebih jelas kami persilakan pembaca yang budiman untuk membaca dan meneliti hubungan Antara kata dan kata, dan Antara kalimat kekalimat selanjutnya, agar dapat dijadikan bahan kajian terhadap keberdaan Ida Bhatara Kawitan sehingga dapat dijadikan pegangan didalam melaksanakan kewajiba-kewajiban yang mesti dilaksanakan oleh para pretisentananya, demi tercapainya Moksartham Jagadita, bahagia, Selamat seluruh sanak keluarga tanpa adanya rintangan-rintangan yang berarti.
1b. Semoga tidak terhalang//0// Permohonan ampun hamba kehadapan para Bhatara Bhatari, wahai Sang hyang Pacupati yang bersemayam di alam Sunyata, berkedudukan di Gunung Jambudwipa. Hamba mohon ampun kehadapan Bhatara Bhatari semua dengan puja dan doa tinggiberupa sari Ongkara, dari lubuk hati yang suci dan kehadapan para Yogi yang telah memproleh anugrah untuk menceritakan yang telah tiada. Semoga terhindar dari segala kutukan dri Bhatara Bhatari, semoga, 3x, sempurna sampai seluruh keluarga dan keturunan mendapat kesejahtraan selama berada di alam maya pada //0//
Tersebutlah pada Djaman dahulu seorang maya tidak terhingga kesaktiannya, berwujud buas, bertaring, amat tajam sebagai senjata,
2a. selalu membunuh dan tidak ubahnya seperti sifat raksasa, loba, tamak, sombong dan bodoh, menghina agama, durhaka pada kebajikan, dicelanya semua ajaran filsafat kebajikan yang tela ada, segala dapat kebiasaan dimasa lampau. Itulah sebabnya ia dibunuh, dikejar serta dianiaya oleh Bhatara Indra. Setelah musnah ia yang penuh dosa, ia kembali kea lam sorga, entah berapa lama telah berlalu kembali ia diperintahkan oleh hyang Bhatar menjelma di dunia dan diberi anugrah agar menjelma berwujud laki perempuan. Oleh karena itu penjelmaannya dibungkus ke dalam selundang kelapa, dibelah dengan sebilah pedang. Setelah diupacarai dan disucikan oleh para pertapa di Tolangkir, kemudian diperintahkan oleh hyang Pacupati agar memerintah kerajaan Bali, menjadi seorang Raja. Beliau tetap dihormati karena dirinya dinobatkan menjadi Raja di Bali. Dan diberi Gelar Cri Haji Masula Masuli, yang diperintahkan kawin dengan adiknya. Tidak terkatakan betapa sejahtra seluruh kerajaan di Bali semenjak kehadiran beliau disini. Entah berapa lama beliau dihormati silih berganti, setelah tiba saatnya beliau lalu Moksa, kembali kembali kealam Sunyata. Demikian ceritakan pada Usana //0//.
b.Diceritakan bahwa Bhatara hyang Pacupati di Gunung Mahameru merasa amat prihatin melihat bumi Bali dan Seleparang (pulau Lombok), pada Djaman kumalencong, yang tak ubahnya sebagai perahu senantiasa beradu pulau Bali dengan Seleparang //0// pada Djaman dahul sebabnya di Bali terdapatnya empat buah gunung yang disebut gunung catur loka phala, ( keempat arah mata angina), yaitu pada sebelah timur Gunung Lempuhyang, di sebel;ah selatan Gunung Andaksa, di sebelah barat Gunung watukaru, beserta gunung Bratan, disebelah utara Gunung Mangu yang berdekatan dengan Gunung Tulukbiyu. Itulah sebabnya Hyang Ari Bhawana (Bhatara Wisnu) membatasinya Pulau Bali tatkala Bali mengalami kegoncangan. Hal ini pula menyebabkan hyang Pacupati membongkar kaki Gunung mahameru untuk diturunkan di pulau Bali serta seleparang.
3a. Ki Badawang Nala diperintahkan sebagai dasr Gunung, Naga Bhasukih sebagai pengikat Gunung mahameru, sang Taksaka diperintahkan menerbangkan Gunung tersebut, Banyak kejadian yang etlah terjadi apabila kita hendak menuturkan pada waktu dilaksanakan pemindahan Gunung Mahameru, adapun pemindahan Gunung itu, dilaksanakan pada (kala) Weraspati( kamis) kaliwon. Tepatnya pada bulan gelap ( tilem) 1, tenggek, 1, caka 00, pada waktu itulah awal mula cerita pulau Bali, rah 0, tenggek 0, demikian ceritanya//00//.Lama kelamaan pada waktu tiba saatnya umur dunia yaitu pada hari ciwa kawya, 2, permulaan tolu,3, bulannya Purnama, hari 15, tenggek 7, 070, 70, umur, dunia kembali terjadi hujan lebat, angina rebut, disertai letusan, petir, halilintar, bergetar dan goyang seluruh dunia dua bulan lamanya hujan lebat.
Kemudian gunung Tolangkir (Gunung Agung)meletus, dan keluaralah welirang. Demikian ceritanya dahulu. //0//. Setelah beberapa lama pada hari ciwakuje, wuku prangbakat, bulan 6, purnama, hari 13, rah 3, 15 tengek 1, caka ghni bhudara(310), umur dunia waktu itu, kembali GunungTolangkir meletus. Keluarlah Bhatar Putarjaya, disertai Bhatari dewi Danu yang bersemayam di Ulun Danu di tampurhyang, ( Gunung Batur), Bhatar hyang Putrajaya bersemayam di Basukih merupakan pusat (hulu) kerajaan Gelgel. Pada waktu itu diikuti pula oleh Bhatara Brahma yang bergelar Hyang Ghnijaya, dan bersemayam di Gunung Lempuhyang. Demikian ceritanya dahulu, //0//.
4a Sekarang dengarkanlah ceritannya dahulu pada waktu hyang Bhatara bertiga datang di pulau bali atas perintah Bhatara Hyang Jagatkarana, bersabda Bhatara hyang jagatkarana, wahai anaku hyang bertiga, Mahadewa, ni Danuh, Ghnijaya, sekarang anaku agar turun ke pulau bali sebagai penegak dunia, sebabpulau Bali sunyi senyap, agar dijadikan sungsungan di dunia seterusnya. Demikian Sabda Bhatara kasuhun, Bhatara bertigpun menghormat dan berkata,’ daulat ayahnda, bukan maksud anaknda hendak menolak perintah Bhatara( Ayahnda). Adapun sebabnya anaknda masih kecil serta benar anaknda tidak mengetahui kemana jalanya. Sabda bhatara, wahai anaku bertiga janganlah ragu-ragu,aku akan menganugrahimu anakku, oleh karena kamu benar-benar anaku terimalah anugrhakuini tetapi jangan engkau melalalikan “. Bhatara bertiga pun menyembah serta menghjormat kehadpan ayahnda sebabtelah diresapkannya anugrah tersebut(tatwa ajnana).banyak ceritanyaapabila kita ingin menguraikan.
Setelah Bhatara bertiga berbakti, lalu digaibkanke dalam kelapa gading, oleh karena perjalanan dibawah laut, maka segera beliau sampai di Besakih. Itulah sebabnya beliau bersemayam di Besakih.demikian disebutkan asal mula kehadiran Bhatara dalam usana //0//. Tersebutlah Bhatari Danu bersemayam di ulun danu yang dahulun disebut Tampurhyang, sedangkan Bhatara hyang ghnijaya bersemayam di Gunung Lempuhyang, demikian ceritanya//0// pada waktu itu disebutkan pula para Putra hyang pacupati lainnya diperintahkan turun ke bali, menyertai Bhatara Putrajaya agar disungsung penduduk Bali. Putra-putra beliau, Bhatara Tumuwuh bersemayam di gunung watu karu, Bhatara hyang Manik kumayang bersemayam di Gunung bratan,Hyang Manik Galang bersemayam di Pejeng, serta Bhatara hyang tugu bersemayam di Gunung Andakasa,
5a. semua beryoga semadi dan tidak terkatakan betapa tekun para Bhatara di tempat masing-masing, demikian cerita para Bhatara yang berkahyangan di Bali.
Jangan lalai sebab sudah dicatat oleh Dwijendra Wawu dateng pada waktu Beliau berada di Samprangan //0//.
Entah berapa lama tiba saatnya ciwakuje4, wuku julungwangi, bulan tatkala bulan menuju keutara, bulan kedua, hari purnama, 310. 181, pirpajadma 18, diseluruh dunia terjadi hujan lebat yang disebabkan oleh semadi Bhatara Ghnijaya bersama-sama Bhatara Mahadewa, dunia bergetar, GunungTolangkir meletus, mengeluarkan banjir lahar yang dasyat, itulah sebabnya ada sungai bernama suingai lwah ghni pada dewasa ini//0//.
Selanjutnya dari yoga semadi Bhatara Ghnijaya lainnya yang keluar dari pemujaan lima kekuatan (pancabayu) segera melahirkan 5 orang putra laki-laki yang tampan dan sempurna. Pada waktu kelahiran mereka semuanya beralaskan daun gedang kaikik, putra beliau tertua bernama Sang Brahmana Pandita, Putra yang kedua bernama Mpu mahameru, putra ketiga bernama Mpu gana, putra keempat bernama Mpu Kuturan, serta adiknya paling kecil Mpu Pradah, semuanya telah menjadi Wiku semenjak beliau masih kecil, semuanya melaksanakan serta mengukuhkan kebenaran utama, mereka kembalike Gunung Mahameru, dan melaksanakan yoga semadi dengan tekunnya, banyak ceritanya apabila kita ingin menceritakan, namun baiklah hentikan untuk sementaraseba mereka sudah amat teguh melaksanakan yoganya//0//.
6a. Marilah ceritakan kembali yoga semadi hyang Mahadewa dikaki Gunung Tolangkir, telah melahirkan 2 Orang putra yang berbeda, laki perempuan,Putra Beliau yang laki bernama Bhatar Ghana, adik perempuannya bernama Manik Ghni yang tidak terhingga betapa cantiknya. Beliau diperintahkan bhatar kembali ke Gunung semeru untuk beryga semadi memenuhi kehendak hyang Pramesti Guru, entah berapa tahun lamanya setelah selesai yoga beliau di gunung semeru kemudian bhatari hyang manik Ghni diperistrioleh sang Brahmana Pandita, ketika telah dilangsungkan perkawinan sang Brahman Pandita dengan Bhatari hyang manik Ghnni, nama beliau Sang Brahman Panditadiganti namanya menjadi Mpu Ghnijaya, hamper sama dengan nama Bhatara Kasuhun ( Bhatara Hyang Ghnijaya).demikian cerita yang dimuat dalam usana//0//.Bhatara Putrajaya bertukar pikiran dengan Bhatar hyang Ghnijaya dan Bhatara Catur Purusa di kaki gunung Tolangkir.adapun yang diperbincangkan tidak lain mengenai keadaan pulau Bali yang masih senyap.
tidak aada seorang manusia,tidak aada yang menyungsung kahyangan di pulau Bali, oleh karena ituPutrajaya bersama-sama Bhatara hyang Ghnijaya serta Bhatara Catur Purusa yang bersemayam di Bali berangkat ke Jambudwipa menghadap Bhatara hyang Pacupati. Perjalan beliau tidak diceritakan, akhirnya sampai di Gunung jambudwipa Beliau segera menghadap Bhatara, menunduk serta menghormat kepada Hyang Mahasuci. Setelah paduka hyang Mahasuci melihat lalu bertanya kepadanya apa sebab mereka dating menghadap, sabda Bhatara, anakku kamu Putrajaya, Ghnijaya serta anak-anaku semua, apakah sebabnya anaknda seolah tergesa-gesa, menghadap kehadapan ayahnda dengan wajah bersedih ? seandainya boleh katakanlah segera kepada ayahnda .
7a. Menjawab para bhatara yang bersemayam di Bali sambil mengucapkan mantra suci dan penghormatan, katanya, daulat Paduka Bhatara, adapaun sebab anaknda datangmenghadap duli paduka Bhatara tidak lain oleh karena amat sunyi senyap di pulau Bali, tidak ada seseorang manusiapun yng memuja anaknda, yah seandainya patut dan Paduka Bhatara berkenan segeralah anugrahkan kepada anaknda ciptakanlah manusia agar ada yang memuja kahyangan di Bali. Demikian lah maksud anaknda semua. Menjawab Paduka Bhatara Pacupati disertai mantra sucinya, wakyang cucyajnana tirtam, sanmata stute paranam dharmacce sidirastu namostutam. Wahai anaku semua andaikan demikian, janganlah khawatir ayahnda tidak akan membiarkannya.
Terimalah anugrahku ini semoga berhasil segala kehendakanaknda, begitu pula saudaramu Ludra, Brahma, Icwara, Wisnu, mahadewa, tetapi tunggulah dahulu ayanhnda di pulau Bali. Bhatara Putrajaya menghormat diikuti Bhatara hyang Ghnijaya, Bhatara Catur purusa, menghaturkan pujaan kedamaian serta pujian, bergema suara genta sebagai kumbang mengisap sari suaranya, lalu mereka mohon diri ke pulau Bali.tidak diceritakan dalam perjalanan sebab semuanya sudah suci, mereka segera tiba di pulau Bali dan turun di Besakih, tidsak terkatakan betapa suka cita hati mereka, sebab telah terkabulkan kehendaknya. Pergilah mereka ke kahyangan masing-masing. Baiklah hentikan situasi di Bali dahulu //0//.
8a. Paramecwaram wasite, umaram madya balyangan dharppe dewacca paranam Bhacwaram maha pawitram, diceritakan Bhatara Hyang Pramesti guru turun ke Bali dikuti oleh para dewata semua, pra rsi ghana, Dewa sanga serta seluruh yang ada di Sorga, semua mengantarkan Bhatara turun ke Bali, Bhatar Pramacwara mempergunakan Padma manik anglayang diapit payung, umbul-umbul bergema suara genta serta doa pujian yang dibarengihujan bunga dari angkasa, angkasa langit gelap waktu itu disertai dentuman. Sedangkan para Bhatara lainnya berbeda-beda kendaraannya sebabsemua gembira mengantarkan Bhatara Pramesti guru di angkasa.banyak kalau kendak menceritakan nya. Segera mereka tiba di Tolangkir, di jemput oleh Bhatar Putrajaya, Bhatara Ghnijaya lebih –lebih Bhatar Catur purusa disertai pujian dan penghormatan, jaya-jaya kretam
menjemput kedatangan Bhatara , semua para Bhatara lainnya yang telah berkumpul di kahyangan Tolangkir, sabda Bhatara hyang Pramesti Guru, wahai anakku para dewa semua sekarang marilah kita siap-siap beryoga agar segera terkabulkan menciptakan Manusia yang kita gaibkan bersama, para dewa menjawab serempak menuruti kehendak Bhatara. Semuanya digaibkan, menghilang dan menyusup ke ciwa garba, sabda Bhatar, Hai anakku Icwara, anaku berdiam pada kulit, hyang Brahma pada otot, hyang Wisnu di dalam daging, hyang Mahadewa berdiam pada sumsum, dan anak-anaku berdua Sangkara dan Ludra berdiam pada buah pinggang, akhirnya setelah semua beryoga dengan tekunnya dihadapan api pedupan tungkudan sebagainya dengan harapan agar segera terciptanya Manusia, Hyang Basundari ( tanah) dibentuk agar menjelma manjadi Manusia.
9a. Tiba-tiba datanglah BhataraYamadipati berwujud anjing hitam, tidak henti-hentinya mengganggu yoga semadi para Bhatar seraya tak putus-putusnya berkata,”Hai hyang Bhatara sekarang paduka Bhatar berkehendak menciptakan manusia dari tabah itu, aku menjadi sangsi, mustail akan menjadi Manusia, andaikan benar tanah tersebut menjadi Manusia, aku akan bersumpah dan sanggup makan kotoran manusia itu, Bhatar menjawab, apa katamu hai anjing( keturunan Bhregu)besar nian kesanggupanmuterhadapku, sekarang dengarkanlah baik-baik andaikan tidak tercipta menjadi manusia, aku ini bukanlah dewa dari segala dewa, patut aku ditenggelamkan je dalam kotoran , amat sengit perdebatan mereka apabiladiceritakan. Bhatara Pramesti Guru dengan tekun menyatukan kekuatan pikirannyaberkobar api dalam perasapan, menjulang asapnya.akhirnya sesudah tercipta muka manusia itu tiba-tiba patah manusia ciptaannya.
b.Disaat itu sang anjing pun menyalak suaranya kong-…kong…..kong.kembali Bhatar beryoga, patah pula Manusia ciptaannya, kembali sang anjing menylak suaranya kong…..kong……kong.Bhatara kembali beryoga, patah kembali manusia ciptaannya.tidak henti-hentinya sang anjing menyalak king..king melengking suaranya. Kiranya telah lima kali Bhatar Berusaha menciptakan Manusia, selalupatah ciptaannya, Paduka Bhatar amat malu(jengah)hatinya sebab dikalahkan oleh sang anjing, Paduka Bhatar kembali mengeluarkan keakhliannya, berbadan triloka (tiga dunia) berkobarlah api perasapan tersebut, seluruh dunia bergetar, sanghyang amerta air suci keluar serta terciptalah manusia itu. Pada saat itu tercengang hati sang anjing, takjub melihat manusia ciptaan Bhatara. Bhatara pramesti Guru bersabda, Hai anjing sekarang benar-benar kamu sudah kalah, siap-siap dan ingatlah kata-katamu dahulu semoga berhasil, ,
10a. Supaya mulai dari sekarang sampai seterusnya anjing harus memakan kotoran manusia. Amat Malu anjing tresebut menerima kutukan Bhatar, diam tanpa menjawab sepatah katapun. Itulah sebabnya ia kembali pulang dengan muka sedih, mnyesali perbuatannya, dan berubah wujud menjadi Bhatar Yamadipati, tidak diceritakan dalam perjalannya, sampailah Bhatar Yamadipati diYamalokadisna ia berkata kepada seluruh bala tentara terutama kepada I Bhuta kalika, Hai kamu kalika serta paraa kingkara bala(rakyat Yama) semua kamu aku perintahkan turun ke dunia menggantikan diriku memakan kotoran manusia turun temurun, samapi seterusnya. Apa sebab demikian, tidak lain oleh karena aku kalah bertaruh dengan Bhatara Acintya suci,
Itulah sebabnya kamu semua aku perintahkan di Dnuia. Ada petuahku kelah apabila telah sampai ajalnya manusia tersebut pada saat itu engkau boleh bersama dengan saudara-saudaramu menyiksa Roh Manusia yang berbbuat tidak patut.demikian sabda Hyang Yamadipati, menunduk seluruh Kingkara bala sambil berpikir dalam hatinya, andaikata menolak tidak urung akan dimusnahkan, disiksa dan dianiaya. Itulah sebabnya Ki bhuta Kalika serta para Kingkara Bala menuruti perintah Bhatara Yamadipati //0//. Demikian diceritakan apa sebabnya anjing memakan kotoran manusia sampai sekarang //0//
Diceritakan kembali Yoga semadi Bhatar hyang Pramesti guru dalam menciptakan manusia dari serabut kelapagadng, lahirlah 2 orang manusia laki dan perempuan.
11a. Yang laki diberi nama Ketokpita sedangkan yang peremuan diberi nama i Jnar dan mereka dikawinkannya, berbahagialah mereka bersuami istri, sebab sudah menjadi kehendak Hyang. Lama kelamaan merekapun menurunkan keturunan tidak putus-putusnya laki maupun perempuan //0//. Selanjutnya kembali Bhatara beryoga untuk menciptakan manusia. Tidak terkatakan betapa tekunnya beliau bersemadi dihadapan dupa perasapan dan oleh karena keahlian Beliau akhirnya tercipta 2 orang manusia laki dan perempuan. Ciptaan beliau yang laki diberi nama ki abang sedangkan yang perempuan I Barak. Kini sudah dewasa semuanya merekan diupakarai dan dipersudarakan oleh Bhatara. Tidak terkatakan entah berapa lamanya mereka berumah tangga. Merekapun menurunkan keturunan laki-laki maupun perempuan//0// banyaklah apabila hendaka menceritakan keadaan Paduka Bhatara beryoga semadi dalam menciptakan manusia di tampurhyang sehingga amat banyak amnusia di Bali anak beranak
Oleh karena itu. Paduka Bhatara Pramesti Guru memerinthakan para Dewata agar turun ke pulau bali untuk mengajarkan apa yang harus dilaksanakan manusia ,lebih-lebihdalam membuat perlengkapan hidupnya, agar mereka dapat melaksanakan pekerjaan agar mereka mengetahui rasa lapar ataupun dahaga. Itulah sebabnya mereka bercocok tanak. Tersebutlah di Tampurhyang sebuah hutan rimba dijadikan sawah ataupun ladangoleh orang baiaga, pohon-pohon yang besar ditebang , dibakar dengan api, berkobar sinarnya dan asapnya mengepul ke angkasa. Pada waktu itu diceritakan ada sebuah pohon asam masih tertinggal sedikit karena telah ditebang pohonnya, pohon Twed itu kelihat berbentuk sebgai patung yang tak ubahnya seperti seorang dukuh sedang bersemadi layaknya. Demikian ceritanya dahulu, baiklah hentikan .
12. a. Diceritakan kembali I bang dan ibarak setelah lama bersuami istri, mereka pindah dan bertempat tinggal diepi danau, itulah sebabnya disebut desa abang. Mereka sudah pula menurunkan lima orang keturunan, yaitu 4/empat orang laki-laki dan seorang perempuan. Anaknya yang tertua diberi nama Ni. Lewih//0/. Selanjutnya dari perkawinan ki Pita dengan Ni jnar telah pula melahirkan dua orang anak dan perempuan yaitu yang laki bernama nuh Gading, sedang anaknya yang perempuan diberi nama ni Kuning. Ni puning diperistri oleh I Pita disebut makedengan ngad. Lama kelamaan semuanya menurunkan anak. Anaknya i Pita 3/tiga orang, seorang perempuan dasn dua orang laki-laki. Anaknya yang laki-laki bernama nuh gading dan yangkecilan bernama ki tanah Barak.
b. Ki Tanahbarak melahirkan 3/tiga orang anak, yaitu seorang laki dan 2/dua orang perempuan.anaknya yang tertua laki-laki bernama ki wayan Tampalon. Sedangkan anaknya yang perempuan bernama ni Loka dan ni Saloka. Semuanya masih bersudara sepupu, saling ambil serta saling sembah satu dengan yang lainnya. I nuh Gading kembali memperistri sepupunya yang bernama ni Loka. Sedangkan Ni Saloka diperistri oleh Ki gadingan, beranak 5.lima orang yaitu 2/dua orang permpuan dan 3/tiga orang laki-laki. Ni nuh gading beranak 4/empat orang yaitu 2 orang laki-laki dan 2/dua orang perempuan. Ki wayan Tampalon juga sudah mempunyai 5/lima orang anak yaitu : 3 orang laki-laki dan 2 orang perempuan. Akhirnya semuanya telah menurunkan keturunan, tidak putus-putusnya saling ambil mengambil terhadap misannya ataupun mindonnya. Adapun mata manusia pada wakitu semuanya hitam, tidak ada putihnyanya serta dapat berbicara dengan dewa.
13. a. Itulah asal mulanya manusia dapat mengerjakan sawah atau ladang yang disebut
ambabakin tegal, bercocok menanam bermacam-macam umbi-umbian, kacang-kacangan , padi gunung, dan biji-bijian. Tidak terkatakan betapa suburnya tanam-tanaman mereka lebih libih perkampungannya, tidak kekurangan makanan ataupun minuman sebab para dewa amat cinta mengajarkan manusia di dunia, demikian secirtanya. Pada waktu senja tak kala Bhtara kasuhun sedang berjala-jalan melihat keindahan sawah, ladang kubu, hutan serta gunung karena sudah berhasil tanam-tanaman mereka, serba subur, amat rapi dan teratur didesa itu, kemudian bhatar dilihat oleh orang Baliaga, maka segera mereka menghormati. Katanya yah Paduka Dewata hendak pergi kemana paduka sekarang. Bhatara menjawab,
Aku akan berjalan-jalan menikmati senja hari, hendak melihat tanam-tanman. Orang itupun berkata, yah andaikata demikian, hamba mempersembahkan isi kebun hamba yang
paduka kehendaki. Bhatara berdiam diri, tidak tiba-tiab percakapan mereka didengar oleh ki Blwan, tidak terhingga betapa sakit hatinya ki Balwan sehingga timbul amarahnya melihat manusia berkata kepada Bhatara sambil buang airki Balwan lalu menatap dan mnunjuk /menuding dan berkatadengan penuhn afsu, ih kamu manusia memang bebar kamu penjelmaan manusia tak berguna, amat hina dan kotor, pantas penjelmaan mu tidak karu-karuan, sungguh kamu tidak mengenal aturan. Dimaan kamu menemukan aturan menyapa bhatara sambil buang air?. Pantas kamu penjelmaan yang berasal dari tanah dikepal-kepal.
14.a Manusia itupun menjawab, ih apa Balwan, terlalu benar kata – katamu, mengungkap asal uslku, kamu benar-benar amat hina dina, berpura –pura mengetahui segala adat sopan santun, tidakkah engkau menyadari bahwa asal-usulmu dari kumatap-kumitip, sejenis setan yang dibungkus kotoran, ? dasra iri hati berpu-ura saleh, sedagkan hyang Bhatara tidak merasa tersinggung kepadaku.
Menjawab ki balwan,melotot merah matanya sebagai dperciki cahaya api sambil berkata, Ih.. oleh engkau menusia dungu semogalah engkau hina rupa, hna pikiran, semoga engkau menjadi orang desa sampai seterusnya atas dosamu merendahkan dewa. Demikian kutuknya disebabkan tidak tertahan betapa panasnya hati ki Balwan seraya menghibur Bhatar seoalah-olah mohon persetujuan Bhatara. Segeralah menoreh mata manusia itu dengan kapur disertai kutukan.
b Semoga kamu hai manusia, oleh karena curang terhadapku engkau tidak boleh melihat pra hyang semua sampai seterusnya, atas dosamu menyapa ku sambil buang air. Demikan sapaku diterima keturunanmu sampai seterusnya. Tetapi ada pula anugrahku kepadamu semua, seandainya engkau berkehendak menemui aku engkau akan dapat menemuiku apabila ajalmu telah sampai, itulah yang disebut niskal jati melihatku. Begitulah sabda Bhatara hyang Parama Wisesa, para manusiapun menuruti sambil menyembah serta pulang dengan berlinang air mata, menyesali perbuatannya. Demikian asal mula manusia di dunia tidak dapat melihat para dewa
15a. Diceritakan pada waktu Mnausia dalam perjalanan mereka bertemu dengan ki Balwan, lalu manusia itu berseru, Hai kamu Balwan, berbahagia aku bertemu di sini, aku bersumpah kepadamu bahwa mulai sekarang sampai seterusnya manusia akanmenjadi musuhmu seterusnya, turun temurun, tidak urung keturunanku akan membunuh keturunanmu, emnjawab ki Balwan, hai manusia, aku tidak menolak segala permintaanmu, baiklan kalau demikian, tetapi ada pula sumpahku kepadamu, bahwa kelak apabila keturunanku bertemu dengan keturunanmu pada waktu Kajeng Keliwon, pada waktu itu keturunanku berubah akan menjilat hulu hati serta mata kakinya, setiap yang kenan ditipu pada waktu menemukan lebih dahulu, itulah sebagai jalan keturunanmu menuju kematian, dibunuh oleh keturunannya. Menjawab manusia itu, baiklah kalu demikian.
sekarang marilah beritahukan kepada keturuna kita semua agar mereka semua mengetahui sumpahku kepadamu. Begitulah cerita asal-usul apa sebab ki Balwan dapat berganti rupa sesuai dengan tempat mereka berada seperti umpanya pada kayu warnanya akan berubah menyerupai warna dau kayu. Demikian ceritera termuat dalam usana. Baiklah dengarkan kembali yoga semadi Bhatara Brahma di Tampurhyang ketika diperintahkan Bhatara Pramesti Guru menciptakan ketenang, menciptakan Manusia agar ada Bhujangga di Bali. Terlihatlah Bhatara sebuah Tuwed yang telah terbakar seperti seorang DUKUH rupanya, Bhatara Berkehendak menyucikan dan akan diwujudkan menjadi Bhujangga di Bali. Kemudian datanglah Bhagawan Wiswakarma
keTampurhyang atas Undangan Bhatara Brahama. Disana paduka Bhatara memerintahkan Bhagawan Wiswakrma agar membentuk Tuwed tersebut segera berbentuk Manusia.
16a. Bhagwan Wiswakarma tidak menolak perintah Bhatara Brahma serta segera berangkat ke tempat twed. Ditempat itu Bhagwan Wiswakarma menyamar menjadi orang tani, berbacu kotor, berpayung kukusan serta membawa peralatan selengkapnya. Agar tidak diketahui orang. Setelah Bhagwan Wsiwakarma tiba di tempat twed tersebut segera diperbaiki dan disucikan, diwujudkan dalam bentuk patung. Tetapi tanpa disadari telah banyak orang yang datang untuk mengetahui dan melihat beliau/Bhagawan Wiswakarma bagaimana cara mengerjakannya. Tidak lama kemudian Togog itupun selesai berwujud seperti Manusia, tidak terkatakan betapa takjub orang-orang yang melihatnya. Kini telah diberikan kepada Bhatara Brahma bahwa twed tersebut telah diperbaiki dan
dihaluskan.amat sukacita Beliau sebab telah terpenuhi kehendaknya. Disamping itu Bhagwan Wiswakrma diperintahkan pula mengajarkan Manusia membuat bangunan (Ngundaginin) agar para manusia bisa membuat bangunan dikemudian hari. Patuh Bhagawan Wiswakarma diperintahkan. Segera beliau memberitahukan manusia bagaimana cara mengerjakannya. Panjang ceritanya bagaimana cara beliau mengajarkan manusia ngundaginin .kini dijelaaskan bahwa para menusia telah mengetahui bagaimana melaksanakan pekerjaan tersebut, demikian ceriteranya. Baiklah dengarkan kembali, Bhatara Indra pada waktu diutus Hyang Pramesti Guru turun ke Bali, menuju Tampurhyang untuk mengajarkan orang Baliaga bekerja agar mereka mengetahui bagaimana caranya pahat memahat (Asasanggingan) dan memperbaiki Togog Celagi. Tidaklah menolak Bhatara Indra diperintahkan lalu beliau mohon ijin berangkat menuju Tampurhyang, menjelma menjadi Sangging Prabangkara serta membawa peralatan perlengkapan pahat memahat. Tidak diceriterakan dalam perjalanan, sebab beliau sakti.
17a. Segera beliau sampai di Tampurhyang ditempat twed aasam yang telah diperbaiki Bhagwan Wiswakarma dahulu. Ketika beliau sampai disana lalu TOGOG tersebut diperbaiki agar benar-benar berwujud seperti Manusia. Amat indahnya TOGOG tersebut tidak ubahnya seperti penjelmaan Hyang Kama, tetapi amat disayangkan sebab belum bisa berkata-kata. Itulah sebabnya orang Baliaga amat terharu melihat rupa togog yang amat menarik hatinya( naut Manah) dan mata mereka tidak berkedip melihatnya. Setelah itu lalu Bhatara Indra mengajarkan Manusia diduni melaksanakan pahat memaha. Amat sukacita hati mereka setelah diajarkan. Dijelaskan sekarang setelah orang Baliaga bisa ngukir-mengukir maka kembalilah Hyang Indra ke Indraloka diceriterakan para Widyadara dan Widyadari diutus oleh Bhatara Ghuru turun ke Baliaga, berpura-pura berjualan keris serta membawa kain yang bagus-bagus dengan maksud agar bisa ditiru oleh orang Baliaga.. tidak diceriterakan dalam perjalan mereka telah sampai di Tampurhyang di tempat Togog itu berada. Lalu togog itu dihiasi, diberi baju, yaitu kain, destar, ikat pinggang, disispi keris diberi wangi-wangian sesuai dengan hiasan, cemerlang melelancingan (Widara Gumulung) sehingga makin bertambah gemerlapan cahayanya dan apabila diperhatikan yang tak ubahnya sebagai mantri agung didalam kidung-kidung. Kedipan kerling matanya demikian manis dan tidak disadqari bahwa itu hanyalah sebuah togo kayu. Setelah itu para Widyadara dan Widyadari kembali ke Sorga sambil mengajarkan orang-orrnag Bakiaga berjualan. Tidak diceriterakan dalam perjalanan, sampailah di Sorga loka. Demikianlah pekertinya.
18a. Dijelaskan orang Baliaga, laki perempuan semuanya. Riang egmabbira, siang dan malam tak henti-hentinya datang mewngunjungi, sedu sedan berlinang air mata sebab hanuyt dibawa perasaan yang tidak ubahnya seperti dalam seritera tatkala Cri kresna raja Dwarwati dihadap oleh para Rakyatnya. Hal inilah menyebabkan orang-orang Baliaga pada membungkuk(hormat) tanpa berkata sepatahpun dihadapan togog kayu. Mereka amat genmbira dan berkehendak akan menjadikan sungusngan. Maka timbulah niatnya sambil berkata, Wahai paduka Hyang Mona mudah-mudahanpaduka turun menjelma dan berbadan manusiasejati. Seandainaya paduka benar-benar- sudah menjelma,hamab semua akan berkaul, bersedia menghamba kepada paduka Hyang Mona dan akan hambajadikan sungsungan sampai seterusnya. Demikianlah pengharapan orang-orang Baliaga tidak henti-hentnya siangg ataupun malam hari. Begitulah ceriteranya, namun baikalah hentikan sejenak.
Marilah alihkan ceriterannya untuk menceriterakan Danawa Raja pada waktu diperintahkan Hyang Widhi Waca menjelma di Bali sebagai Raja, berwujud raksasa sakti, tetapi tidak mempunyai kahyanag sehingga Raj aBali dahulu bersemayam di Balingkang. Beliau bernama Detya Karnapati dan berabiseka Cri Haji Jayapangus, Beliau dipuja oleh penduduk Bali., Selama pemerintahannya pulau Bali amat aman sebab beliau tak ubahnya seperti Hyang PramestiGuru menjelma memerintah Dunia,. Tidak ada mara bahaya. Segala yang dibeli murah harganya, segla tanaman tumbuh dengan subur, segala penyakit menjauh disebabkan penduduk Bali masih sedikit dan hanya bru dapat mengerjakan ladang di pedesaan saja. Entah berapa lam beliau Cri Haji Jayapangus mememrintah di Balingkang, dipuja oleh penduduk Baliaga, beliaupun moksa kembali ke Alam Sunyata.
19a. Sepeninggal Cri Haji Karnapati,, pulau Bali kembali manjadi sunyi lengang seperti semula sebab sasan (tatasusila) telah lenyap. demikian diceritakan pada jaman dahulu.
Sekarang marilah ceriterakan pada waktu Bhatara Brahma dan Bhatara Wisnu di perintahkan oleh Bhatara Pramesti Guru menciptakan manusia di P Bali dengan harapan agar dapat diikuti sesananya dimasa mendatang. Bhatara berdua yaitu Brahma, Wisnu tidak menolak diperintahkan, beliau enghormat, mohon diri kehadapan Bhatara yang disambut do’a Pujian serta hujan bunga. Bhatara berduapun berangkat meninggalkannya. Oleh karena cepat jalannya beliau segera tiba di Tampurhyang beliau beryoga, dengan tekun dihadapan dupa perasapan. Dari penyatuan pikiran Beliau ( sidyajnana) keluar lima orang laki-laki amat sempurna. yang pada waktu merninggalnya dianugrahkan gagaduhan sebagai berikut :
Penjelmaan yang tertua, pada waktu meninggalnya diperkenankan mebale bambu tidak diperkenankan mempergunakan kayu, Papiriingannya pupug, tidak diperkenankan beralaskan api (baha), manah Toya(mencari air Suci), medamar kurung, sebab mereka disebut Wong Pamesan. (Bade) kayu, matumpang salu, menek saput, mangle tetapi tidak diperkenankan beralaskan api (baha), lebih-lebih memanah Toya sebab mereka disebut Wong juru Ebat, anyanyagal ( tukang Potong), Mmanusa Juru Tegel (pikul) penjelmaan ketiga pada waktu meninggalnya diperkenankan mabya tanem ( menguburkan), tidak diperkenankan membakar serta memanah Toya, medamar kurung, sebab mereka disebut Wong Tani dusun.
20a. Selanjutnya yang keempat diperkenankan kipula wisuda (naik tingakt), memepergunakan Wadah( Bade) Warna, Mangle, kapas, memanah Toya. Beralaskan api(baha), sebab disebut pamekel singgih. Kemudian yang paling kecil diperkenankan menjadi satrya yang pada waktu meninggalnya diperkenankan meperpgunakan wadah (Bade) , lembu, beralaskan api (baha), memale salunglung, memanah Toya, damar kurung serta seluruh tata upacra kesatrya, Demikian konon ceriteranya. Mereka pun menurunkan keturunan anak beranak bercucu, berbuyut, mancngah, mawareng serta mahijengan. Diceriterakan Bhatara Brahma membuat berjenis perlengkapan alat kerperluan manusia. Bhatara Ciwa membuat bale papayon dengan maksud agar dapat ditiru mansuia,
dahulu pada waktu Beliau pergi ke gunung diringi oleh kelima orang manusia ciptaanya,ketika beliau berkehendak mencari bahan-bahan, tiba-tiba di tengah hutan dijumpainya Twed nangka, Bhatara kasihan melihat twed nangka itu lalu berhenti, diperbaikinya dan dibentuk manjadi manusia lengkap sebagai tata caranya. Twed Nangka itu kelihatan amat bagus dan sudah berwujud seperti werapsara. Selanjutnya setelah Togog Twed Nangka tersebut selesai, kembali Bhatara ke Sunyataya. Demikian seriteranya. Kemudian Bhatara Ciwa kembali bersemadi untuk menciptakan Manusia.dari tangan kana kirinya keluar manusia cakap sejumlah 199 orang yang disinari Bhatara Smara. Mereka dikawinkan semuanya. Namun diantara mereka itu masih tersisa seorang, tidak mempunyai suami, tidak mau dimadu, lalu pergi dari tempat itu,. Oleh karena tertekan perasaannya kecewa ia mengembara dan tidak henti-hentinya menagis sambil berkata(anulame) menyesali nasibnya.
21a. Ketika sampai ditengah hutan dijumpainya Tuwed Nangka yang telah berwujud sebagai manusia, amatlah senang hatinya perempuan itu melihat kebagusan Togog nangka yang tak ubahnya seperti apsara gana kelihatannya. Kerlingan matnya manis, benar-benar meanrik hatinya. Itulah sebabnya ia berkata dan bersumpah, wahai engkau togog yang berwujud sanghyang Mona, sungguh amat menarik hatiku dan telah menimbulkan cinta bhaktiku. Yah andaikata engkau menjelma menjadi manusia, aku bersedia menghamba padamu, akan aku jadikan suamisampai akhir hayatku, suka duka bersama-sama tidur, menikmati hidup bersuami istri, aku senantiasa melayanimu. Demikian katanya sambil dielus-elus togog Nangka itu. Serasa olehnya bahwa ia sudah bercumbu kasih dengannya dan tiba – tiba saja keluarlah spermanya pada waktu itu sebab sudah merupakan takdir Tuhan yang Maha Kuasa.
maka hamil namun ia tetap berkata dan berharap agar dikasihani hyang. Akhirnya datanglah Bhatara Brahma disertai Bhatara Smara, lalu Bhatar bersabda, hai kamu perempuan Baliaga dusun, bagaimana kehendak mu sekarang, hendak bersuami dengan togog, ?. menjawab perempuan dusu itu sambil menyembah,. Ya… Paduka Bhatara, hamba bersumpah, dihadapan paduka Bhatara sebab besar cinta hamba kepada togog ini. Seandainya paduka Bhatara berkenan, menyucikan togog ini menjelma menjadi Manusia hamba bersedia menjasi istrinya, menuruti kemana perginya sampai kelak. Bhatara mengabulkan sambil menjawab, hai kamu manusia andaikan demikian aku tidak akan melalaikanmu.
22a. Segera Bhatara beryoga, tidak lama kemudian benar-benar togog itu menjelma menjadi Manusiatampan. Tidak terkatakan betapa senang hati perempuan itu seolah-olah tidak didunia rasanya Segera diayunnya, dipangku dengan penuh nafsu gegritinan) dielus-elus sehingga hampir saja keluar spermanya sebab terasa seolah-olah telah dicekam luapan madu manis, lalu mencumbu dan merayunya. Tercengang Bhatara melihat tingkah laku perempuan itu lalu bersabda hao kamu manusia, amatlah tidak senonohmu sekarang terimalah kutukanku atas dosamu yang tidak tahu sopan santun, tergesa-gesa, gegritinan mengelus-elus dihadapanku,tidak tahu malu dan tidaak mengenal takut, semoga engkau selalu ribut dengan keluarha, tidak serasi dalam bersuami istri, karena engkau bersuami dengan Twed.
Selanjutnya apabila tiba saatnya lahir kandunganmu itu, semoga engkau melahirkan gumatap-gumitip(setan dan sejenisnya) sejumlah 275 dan menjadi musuh manusia di dunia. Selajutnya apabila engkau kembali melahirkan anak dengan Ki tawulan (togog) semoga engkau seterusnya bernama ki manggatewel seba berasal dari Twed Nangka . dimanapun keturnanmu berada agar tetap disebut ki Tewel . itulah sebabnya ada keturunan yang disebut ki Tewel. Panjanglah apabila hendak menceriterakan yoga semadi para Bhatara dalam menciptakan manusia yang telah menyebar di pulau Bali dan oleh karena berbeda penciptaan (asal-usulnya) maka pada waktu meninggal mempunyai tata cara dan upakara yang berbeda-beda. Demikian disebutkan disebutkan ceriteranya di masa lampau. Sekarang diceriterakan kembalai para putra Hyang Ghnijaya yang dahulu diperintahkan pergi ke jambudwipa untuk beryoga semadi.
23a. Oleh karena sudah masak yoganya, maka mereka di perintahkan oleh hyang Pacupati ke Bali untuk menghadap Bhatara Putrajaya di Tolangkir, serta Bhatara leluhur di Lempuhyang. Keberangkatan mereka berbeda-beda, mpu Ghnijaya yang dahulu bernama Brhamana Pandita diring oleh kedua adik Belaiau yaitu Mpu Ghana dan Mpu Kuturan, berangkat mempergunakan pedawu(jukung) dari kapu-kapu berlayarkan daun tehep. Tidak diceriterakan perjalanan Beliau karena cepatnya, maka tibalah beliau di Silayukti, sambil menghaturkan weda pujaan lalu menuju Besakih menghadap Bhatara Putrajaya. Sesampainya disana disana belaiau menghaturkan pujian dan menghormatan. Bergema suara gentanya tak ubahnya seperti kumbang mngeisap bunga, disertai hujan bunga oleh Bhatara.
banyak ceriteranya apabila menceriterakan semadi beliau. Sesudah itu beliau segera kew gunung Lempuhyang menghadapa Bhatara leluhur, dan tidak lupa menghaturkan weda pujaan serta penghormatan kesucian pikirannya. Bergema suara genta tak ubahnya sebagai kumbang sedang mengisap sari bunga angsana disertai hujan bunga. Wangi-wangian dan mantra pujaan oleh Bhatara Leluhur karena besar cinta bhatara kepada Putra-putara beliau yang tumben menghadap. Panjang ceriteranya. Tidak lama setelah belaiu di Bali belioaupun kembali ke jawadwipa, pulang pergi, ke jawa maupun ke Bali . sampai disini ceritera para Mpu bertiga , kini diceriterakan kembali saudara beliau yang bernama Mpu Mahameru segera turun ke Bali menghadapa Bhatara berdua Sanhyang diTolangkir serta Hyang leluhur fi gunung Lempuhyang. Tidak diceriterakan perjalanan beliau oleh karena cepatnya.
24a. Belaiau tiba di Bali dan segera menuju desa Kuntulgladi di Tammpurhyang, di Tampurhyang Beliau beristrahat sebentar hendak mengambil Air untuk berkumur sebab beliau melihat air yang amat besihdan suci, kemudian beliau membersihkan diri, menyampaikan Dewa Pujaan di Danau, ketika telah selesai berkumur, tatkala beliau segera akan berangkat terlihat olehnya togog Tweed kayu asem yang bagus rupanya. Tercengang Mpu Mahameru melihatnya sebab togog tersebut tak ubahnya seperti apsara Ghana dalam ceritera. Iba hati sang maharsi melihat kenyataan Togog itu, seraya berpikikir dalam hatinya, oleh karena sudah takdir yang maha kuasa, lalu beliau beryoga menyatukan pikirannya dan akhirnya togog tersebut menjelma menjadi Manusia.terperanjat manusia Ciptaan it, tidak tahu apa yang harus diperbuat, lalu menyerahkan diri kepada sang maha resi serta berkata.
Wahai sabg Maharsi siapakah yang telah menaruh belas kasiahan kepada diri hamba?. Sehingga hamba menjelma menjadi manusia?. Sang mahares menjawab, tidak lain akulah
yang menjelmakanmu sehinga menjadi engkau berubah menjadi Manusia. Manusia Ciptaan itu menelungkup menyembah, memeluk dan mengelus kaki sang Maha Rsi.seraya berkata, Mpungku siapakah sebenarnya paduka ini?. Menjawab sang MahaRsi, aku dari JambudwipaPutra Bhatara Hyang Ghnijaya yang bersemayam di Gunung Lempuhyang di Karangasem (Adrikarang), Aku bernama Mpu Mahameru . berkata Manusia citaan kayu itu, Daulat Mpu Junjungan Hamba yang tak ubahnya sebagai amerta sajiwani (air suci) apakah yang harus hamba pergunakan membayar hutang hamba yang tak ubahnya seperti Bumi dan akasa ini?. Sekarang tuluskanlah belas kasihan Sang Maha Pandita, hamba mohon dibersihkan segala kekotoran diri hamba sehingga menjadi suci jiwa hamba seterusnya.
25a. Tidak lain permohonan hamba semoga Paduka berkenan memberikan hamba anugrah sehingga hamba dapat mengikuti jejak paduka. Sang Maha Rsi bersabda, tidaklah pastas aku menganugrahkan memberikan berkah sebab kamu ini tidaklah berasal dari manusia, tidak patut sanghyang Aji aku berikan kepadamu. Menetes air matakayureka seraya mengusap debu kaki Sang MahaRsi. Wahai Paduka Hyang junjungan Hamba, tidak lain hamba mohonkan kehadapan Paduka, kami mohon dengan sangat berkenan dan tulus asih paduka Bhatara kepada Hamba, sebaliknya apabila tidak ada belas kasihan Paduka untuk menganugrhkan Sanghyang Aji kepada hamba, lebih baik kembalikan hamba sebagai semula. Kembali menjadi kayu lagi. Apakan gunanya hamba dijadikan Manusia , tidak tahu casana dan selalu diejek(dibuat malu) ? demikian kata Manusia ciptaan kayu itu, Sang MahaRsi berdiam diri merasa terharu hatinya..
Tiba-tiba sinar matahari menjadi suram dibarengisabda dari Angkasa, Hai ananku Sang Pangempuan, janganlah demikian, anaku boleh mengajarkan Sanghyang Aji kepada Manusia kayu ciptaan anaku itu oleh karena anaku yang menciptakannya sehingga dia menjelma manjadi Manusia. Janganlah ragu-ragu anaku, aku memperkenankannya hai anaku. Sesudah itu Bhatara gaiblah. Termenung Mpu Mahameru, akhirnya sabda Sang Maha Pandyan, Anaku Kayureka, benarlah kamu ini berasal dari seorang dewa yang sesat berganti rupa menjadi togog, pantaslah engkau menjadi wong lawu(orang biasa). Sekarang marilah mendekat padaku, aku akan menganugrahimu kayureka, menghormat dan menyembah kaki Sang Adhiguru.
26a. Sabda Sang Mahayati, hai anaku Kayureka sekarang dengarkan petuahku, buka telingamu lebar-lebar, tetapi janganlah ribut serta meremehkannya sebab, Hayng Ongkara Mantra amat pingit(suci), terimalah anugrahku ini.semoga engkau senantiasa berhasil, tajam pikiranmu hai anaku kayureka, bagaimana kayureka, sudahkah engkau resapkan sanhyang Ongakra mantra, aksara yang ada dalam badan ataupun diluar badanmu?. Menjawab kayureka, yah sudah meresap ke dalam hati hamba, kembali kepada niskalajati. Kata sang adhiguru, anaku kayureka, andaikata demikian kini ada juga anugrahku. Oleh karena di Bali belum ada Bhujangga, anaku diperkenankan menjadi penuntun orang Baliaga, demikian intisari Aji Purana, begitu pula melakukan dewastawa. Janganlah ribut serta meremahkan sebab ilmu ini amat utama, anaku diperkenankan menjadi Bhuajngga orang Baliaga beserta keturnanamu selama tiga turnanan. Selanjutnya ada pula petuahku kepadamu, ingatlah jangan lupa,
Beritahu keturunanmu semua agar mereka semua mengingat asal-usul (kawitan) sampai seterusnya.kelak apabila ada keturunanku yang lahir dari kakaku Mpu Ghnijaya, ketrunanmu harus berada dipihak kirinya dan pada waktu meninggalnya patut engkau menyembah kepadanya. Tetapi keturunanku tidak patut menyembah keturunanmu sebab engkau aguru putra kepadaku, lagi pula kelahiranmu berbeda dengan kelahiranku.
Ingatlah petuahku apabila engkau lalai tidak urung akan menemukan bencana. Begitu pula hai anakku Kayureka oleh karena anakku sudah apodgala (disucikan) sekarang anakku bernama Mpu Bandesa Dryakah.sebab anakku berasal dari Twed pada mulanya. Kini anakku diperkenankan melaksanakan weda pujaan (weda astupungku) serta melakukan upacara pralina (Pengentas) tetapi yang boleh anakku entas adalah seluruh orang-orang baliaga.
27a. Mpu Dryakah tidak membantah sebab telah demikian sabda sang Adhiguru dan tidak boleh dilanggar. Selanjutnya Mpu Mahameru bersabda. Anakku Mpu Dryakah ada pula petuahku kepadamu. Kelak apabila anakku meninggal lalu disucikan (diupacarai) oleh keturunanmu, penyelesaian upakaranya tidak diperkenankan dilaksanakan oleh Brahmana, anakku cukup mohon(nuhur) dikahyangan saja sebab, asal-usul anakku bukanlah berasal dari Manusia. Andaikata keturunanmu sudah selesai melaksnakan Upakara(ngaben), diperkenankan pula melaksanakan Upakara Pitrayadnya tapi hanya tiga turunan batasnya. Jikalau sudah tiga turunan barulah sang Rsi Siwa Budha diperkenankan menyelesaikan Upakara tersebut. Ingatlah petuahku. Sampaikan pula kepada anak cucumu sebab amat berbahaya apabila kena kutukan Bhatara Lempuhyang. Demikian petuah Mpu Mahameru kepada Sisyanya, lalu Mpu Dryakah menghormat menuruti kehendak Mpu mahameru. Amat girang hati Mpu Dryakah menerima anugrah yang telah diberikan, tak ubahnya seperti amerta (air suci) yang telah menyusup ke dalam hatinya.
Banyak ceriteranya apabila menceriterakan pelajaran yang telah dianugrahkan Mpu Mahameru kepadanya karena telah luluh dijaga Sanghyang dharma. Selanjutnya diceriterakan kembali Mpu Mahameru bersabda kepada orang Baliaga semua yang disebut pula wangsa Bali Krama. Sabda Beliau, Hai kamu Manusia, oleh karena engkau berasal dari kelapa gading dan tidak berasal dari manusia, sekarang aku berkata kepadamu, kelak apabila engkau telah meninggal diupakarai oleh keturunanmu, engkau diperkenankan membakar Jasad. Selanjutnya setelah dibakar diperkenankan pula ditanam kembali, itulah yang disebut wangsa krama tambus dan patut angentas, menyelesaikannya tidak lain Bhujangga Mpu Bendesa Dryakah. Setelah diupakarai engaku diperkenankan melaksanakan Upakara Matres serta Matuwun.. demikian tata cara yang patut engkau laksanakan, janganlah melanggar. Apabila melanggar engkau akan kena kutukan Bhatara Lempuhyang.
28a. Perjalanan Roh Leluhurmu akan tersendat-sendat dan tidakakan menemukanjalanyang terang (sebenarnya). Begitu pula kamu Ki Barakan, ingatlah asal-usulmu dahulu, oleh karena engkau berasal dari tanah, beritahu juga kepada keturunanmu bahwa kelak apabila engkau telah meninggal engkau tidak boleh membakar jasad, engkau hanya diperkenankan menguburkan saja. Setelah Jasad dikubur, keesokan harinya Ngirim, yaitu diatas lubang kuburan dibuatkan orang-orangan dandisebut Abya Tanem. Apabila engkau hendak mengupakarainya, diperkenankan. Upakara tersebut disebut Matres dan Matuwun. Demikian tata cara upakara orang Baliaga dan Bhujangga yang patut melaksanakan Upakara ngentasnya tidak lain Mpu Bendesa Dryakah. Ingalah menentang sebab apabila menentang Bhatar Lempuhyang akan amat Murka danmengakibatkan tersendat-sendatnya Roh Leluhurmu, begitu pula apabila engkau berkata dengan Bhujanggamu Mpu Bandesa Dryakah engaku harus Majro Gede.
ingatlah jangan lupa sampai seterusnya Beritahukanlah kepada keturunanmu masing-masing. Demikian sabda Mpu Mahameru kepada seluruh orang Baliaga, mereka tidak menolak perintah Dang Ghuru. Kembali Mpu Mahameru berkata kepada Mpu Dryakah,
anakku Mpu Dryakahsekarang engkau boleh menjadi Bhagwan. Kemarilah aku akan membaptismu(tapak) Mpu Dryakah mendekat kehadapan sang maharsi dan setelah dibaptis, beliau menjilat telapak kaki Sang Adhighuru. Kini ada pula anugrah PAWISIK pada telinga serta bibir diamlah, sebab sanghyang Ongkara Mantra harus dipingitka, sabda Sang Mpu Mahameru, anakku Mpu Dryakah sudahkah terdengar olehmu ?. Yah Paduka Bhatara, semua telah meresap di hati hamba.
29a. Anakku Mpu Dryakah, sekarang nama anakku akan kuganti. Kini anakku bernama Mpu Kamareka. Sebab para hyang dahulu telah mersti abinagawan. Ingatlah baik-baik, sekarang ayahnda akan meninggalkan anakku menghadap Paduka Bhatara di Tolangkir dan Gunung Lempuhyang. Mpu Kamareka mendekat menghaturkan bhakti sambil mengelus kaki Dang Ghuru sebab demikian tata cara bhakti seorang murid kepada Dangn Ghuru. Demikian asal mula timbulnya Bhujangga di Bali jaman dahulu. Diceriterakan kembali setelahMpu Mahameru meninggalkan Tampurhyang, menyusuri gunung Tulukbyu tanpa mendapat rintangan, maka tibalah beliau di Besakih. Sesampainya di sana segera Bliau menghaturkan weda pujaan. Bergema suara gentanya tak ubahnya sebagai kumbang sedang mengisap bunga. Segera pula beliau menghaturkan penghormatan, gelaplah diangkasa karena ditaburi hujan bunga serta do’a pujaan Bhatara.
keluarlah Bhatara Putarjaya dihadap Mpu Mahameru.tidak diceriterakan pembicaraan beliau sebab beliau brdua telah mahasuci, akhirnya Mpu Mahameru mohon diri dari Besakih akan menghadap Bhatara Leluhur di gunung Lempuhyang. Tidak diceriterakan dlam perjalan oleh karena cepatnya, sampailah Bliau di Lempuhyang. Setibanya disana segera menghaturkan weda pujaan serta menghormat. Bergema suara Genta dihadapan api perasapan, asap api pedupaan memumbung sampai ke angkasa dibarengi hujan bunga serta doa pujaan. Gelap sebentar dan keluarlah Bhtara Hyang Ghnijaya dari angksa dihadap sang muniwara. Tidak kuas kita menceriterakan percakapanbeliau berdua disebabkan besar cnta Bhatara Ghnijaya kepada putranya. Demikian ceriteranya. Entah berapa lama sang maharsi berada diBali menghadap Bhatara Tri Purusa. Tolangki, lempuhyang danUlun danu.
30a. Maka sang maharsi dengan dibantu orang-orang Baliaga, terutama Mpu Kamareka, membangun Khayangan di Bali. Tidak terkatakan betapa indahnya khayangan Bhatara tiga sehingga sampai sekarang kita mengenal sad Kahyangan di Besakih, Lempuhyang, Ulun Danu. Akhirnya Mpu Mahameru datang dan kembali ke jawa serta ke Bali untuk mengetahui keadaan kedua pulau di atas, lebih-lebih ingin mengetahui keindahan kahyangan Bhatara Tri purusa. Demikian ceritera dimuat dalamusana. Diceriterakan kembali Mpu Kamareka sedang beryoga di tampurhyang, amat tekun semadi bliau mamanuhi perintah Sang Abra sinuhun (mpu Mahameru) dan tidak berani melanggar petuah-petuah terdahulu.
Dijelaskan di Gunung Tampurhyang terdapat tumpukan tanah yang agak tinggi di desa Gwa Song. Disana Mpu Kamareka membangun pesanggrahan tempat beliau melaksanakan tapa semadi, tanpa makan tanpa minum,kecuali memusatkan pikiran menghadap kearah timur di depan pesanggrahan dengan amat tekunnya. Entah berapa lamanya beliau bersemadi kira-kira setahun tujuh hari memusatkan pikiran menegakkan sang hyang Ongkara Mantra agar bersemayam dalam hatinya maka tuturnlah paduka Bhatara Brahma dari alam sunya menganugrahi Mpu Kamareka . sabda Bhatara Brahma. wahai Mpu Kamareka sungguh amat teguh semadi anakku mengharap kedatanganku. Nah sekarang terima lah anugrahku kepadamu (tatwa dyatmika) ajaran gaib pelenyap (pralina), bentuk tak berbentuk tetapi baik-baiklah memegang sanghyang Ongkara, semoga meresap ke dalam ketajaman pikiran anakku.
31a. Kini ada lagi petuahku kepada anakku, kelak apabila ada wanita cantik datang kemari, itulah anugrahku sebagai jodoh anakku, kemudian apabila anakku melahirkan keturunan dengan gadis cantik itu berilah ia nama Mpu Ghnijaya Kayu Ireng. Demikian petuahku. Maka gaiblah Bhatara ke alam sunya. Segera Mpu Kamareka mengahturkan doa penghormatan, weda pujaan amat bergembira hati bliau seperti kena percikan (kesiratan) Air suci rasanya dan meresap ke dalam hatinya. Banyak apabila diceriterakan. Setelah beberapa lama Mpu Kamareka kembali beryoga semadi dihadapan dupa perasapan, asap menjulang tinggi dan wanginya tembus sampai ke sorga, para widyadara widyadari serta para dewata resi Hgana amat gelisah. Langit menjadi gelap.
keluarlah sanghyang Pramacintya dari angkas disertai hujan bunga diiringi sabda, Kamreka, benar anakku seorang Mpu dari keturunan sudra tetapi tidak ada yang menandingi teguh semadi anakku. Sekarang ada anugrahku anakku, pengetahuan mengenai tirta kamandalu yangdisebut Banu Pawitra. Ini terimalah aksaranya tetapi jangan anakku takabur dan melalalikannya. Simpan dalam hati. Setelah demikian Bhatara menghilang, Mpu Kamareka menghaturkan weda pujaan disertai doa penghormatan. Demikian ceriteranya. Makin bertambah –tambah sukacita Mpu Kamareka tak ubahnya sebagai keindahan dalam lautan, begitulah rasanya. Diceriterakan seorang apasri yang bernama Dadri Kuning diperintahkan Bhatara Indra ke Tampurhyang untuk menjadi jodoh Mpu Kamreka. Setibanya di Gwa Song Dadari kuning dilihat oleh Mpu Kamareka.
32a. Dadari kuning segera disapa ditanya asal serta apa maksud kedatangannya, aduhai tuanku yang seperti dewi lautan, dari manakah tuanku datang kemari ke tengah hutan? Siapakah nama tuanku, dari mana asal usul tuanku, siapa ayah bunda tuanku, serta mengapa tuanku kelihatan seolah-olah bersedih, seandainya boleh katakanlah segera kepada hamba. Dadari Kuning berkata, hamba ini adalah keturunan bidadari dari Indraloka. Mpu Kamareka berkata, apakah maksud tuankudatang kemari?. Dadari Kuning berkata, daulat tuanku tak lain hamba pergi membuang –buang langkah ke Bali, hendak mencari Tirta Pawitra tetapi olah karena hamba samar-samar melihat sebuah sinar bercampur asap membubung tinggi, kemungkinan disini ada sesuatu, itu sebabnya hamba ke tempat ini.
Menjawab Sang Mahamona wahai tuan putri yang takubahnya Dewi Gangga, apakah maksud tuan putri mencari Tirta pawitra? Yah Sang Mahampu dahulu pada waktu hamba masih di Sorga hamba selalu dicekam kekhawatiran, kekejaman para Gandharwapati. Pernah hamba didesak, dipaksa tetapi mereka tidak berhasil. Oleh karena sudah takdir itulah sebabnya hamba pergi dari Sorga membuang-buang langkah hendak menyucikan diri, tiba-tiba hamba bertemu dengan sang mahamuni disini. Menjawab Mpu Kamareka , baiklah kalau demikian, seandainya boleh marilah tuanku bersama-sama disini menanggung kesedihan. Menjawab Dadari Kuning, Mpungku teringat hamba akan perintah Bhatara Kepada hamba dahulu, memerintahkan hamba turun ke dunia. Kemungkinan inilah jodoh hamba. Yah senadainya boleh teruskanlah belas kasihan Mpungku beriathukan hamba segera. Mpu Kamareka terharu tidak bisa menjawab. Tidak terhingga betapa sukacitanya, pilu bagaikan disayat hatinya.
33a. Kemudian Beliau berkata dengan gegregetan, aduhai buah hatiku, tidak lain aku inilah jodohmu. Teringat aku akan sabda Bhatara dahulu bahwa bidadari engkau ini, payah sudah kakak menantikanmu. Menunduk Dadari Kuning, lalu dipangku dielus-elus sebab terdorong luaan madu yang manis rasanya. Aduhai buah hatiku teruskanlah cinta kasihmu bersuami dengan kakakmu, bersama-sama menanggung derita dalam hutan. Berkenanlah wahai idaman hatiku , kakakmu tidak akan menentang walaupun tujuh kali menjelma, kakamu akan tetap menuruti adinda. Tak henti-hentinya Mpu Kamreka merayu, dielus-elus. Menawab Dadari Kuning sambilberlinang air mata Yah …. Mpungku janganlah begitu tergesa-gesa, siapakah yang akan melalaikan kelak apabila kita telah bahagia, menuruti hamba sang mahamuni.
Tetapi ada permintaan hamba yaitu apabila Mpungku sudah bersuami istri dengan hamba, mpumgku tidak boleh menolak segala kehendak hamba, sebab demikianlah tatacara disorga. Menjawab Mpu Kamareka,. Adiku baiklah kalau demikian, aku akan memenuhi kata-katamu. Jangalah khawatir. Seraya digendongnya Dadri Kuning seperti anak kecil. Banyaklah apabila menceriterakan perilaku mereka melakukan kesempatan, menikamati bercumbu-cumbu di tempat tidur. Bhagia mereka bersuami istri, tidak terkatakan betrapa nikmatnya.oleh karena baru dipertemukan asmaranya. Demikian ceritera asal mula Mpu Kamreka kawin dengan Dadari Kuning. Baiklah hentikan mereka sejenak.
34a. Marilah kembali ceriterakan pada waktu Mpu Mahameru sampai di Jawadwipa setelah meninggalkan Besakih serta Tampurhyang menghadap dan bercakap-cakap dengan saudara- saudaranya yaitu, Mpu Ghnijaya, Mpu Ghana, Mpu Kuturan, Mpu Bradah. Mpu Ghnijaya berkata : Adik Danghyang Semeru mengapa adik amat terlambat datang kemari, payah sudah Bhatar Putrajaya menanti kedatangan adik, kaka beserta adik-adik semua lama sudah menantikan. Menjawab Mpu Mahameru, Yah maafkan Saya sebab dahulu sesampainya di tampurhyang pada waktu saya beraistirahat hendak membersihkan diri, saya menjumpai sebuah togog kayu celagi (asem) amat terharu hati saya melihatnya. Pada waktu itu saya mengeluarkan sidyajnana dan tidak lama kemudian togog tersebut menjelma menjadi Manusia. Tidak lama antaranya terdengar suara dari Langit, saya diperintahkan menganugrahkan segala tatwa agar ada Bhujangga di Bali kelak. Begitu pula manyusun tatcara adat sopan santun orang Bali
Yah ..itu sebabnya saya terlambat datang tercengang beliau berempat mendengarkannya. Mpu Kuturan berkata, terharu adik mendengarkan tetapi kedatangan kakak sekarang ini, apapkah sebelumnya kakak sudah dapat menghadap Bhatara di Tolangkir, begitu pula kepada Bhatara di Gunung Lempuhyang?. Mpu Mahameru menjawab, ya Kakak sempat juga menghaturkan sembah kehadapan Bhatara Tri Purusa, malahan sudah pula kakak mendirikan kahyangan di Bali serta memberitahukan kepada orang-orang Baliaga beberapa sesana dan adat sopan santun lainnya. Sekarang jikalau saran ini benar, marilah kita bersama-sama kembali ke Bali untuk manjaga Khayangan Bhatar Tiga. Tetapi tunggulah dahulu hari yang baik. Menjawab sang maharsi semua, Baikalah kalau demikia. Oleh karena mereka sudah sepakat, pembicaraan mereka diakhiri dan kembali pulang ke kahyangannya masing-masing, tak henti-hentinya mendoakan Bhatara di Bali.
35a. Baiklah hentikan ceritera sang Mpu sampai disini. Entah berapa lama perkawinan Mpu Kamareka dengan istrinya maka hamilah Dadari Kuning. Setlah bertambah lama umur kandungannya bergeraklah bayi dalam perutnya. Tidak terkatakan betapa tangis ibunanya, akhirnya lahirlah anak 2 orang laki dan perempuan, Cantik dan tampan amat sempurna. Tidak terhingga sukacita beiau . diupakarai sesuai dengan upakara manusia yang ada, putranya laki diberi nama Ki Kayu Ireng, sedangkan Putrinya diberi nama Ni Kayu ayu Cemeng. Demikian asal usul kelahiran mereka dahulu. Panjang ceriteranya.
Kini diceriterakan bahwa mereka sudah dewasa, Sang Kayu Ireng berkata kepada Ayahndanya, wahai ayahnda, oleh karena anaknda sudah dewasa, dimanakah jodoh hamba. Apabila boleh carikan anaknda jodoh sdebab anaknda kedinginan di gunug. Menjawab Sang Mahampu, anaknda kayu ireng, tidak lain yang patut menjadi istri
anakku ni kayu cemeng sebab dialah jodohmu sejak ananknda berada dalam kandungan. Hanya saja tunggulah dahulu hari yang baik. Berkata ibunya, ananku Kayu ireng benarlah apa yang diucapkan ayahnda hanya menuruti perintah agar dlam waktu dekat perkawinan dapat dilaksanakan. Entah berapa lama tiba saatnya hari yang baik Ki Kayu ireng dikawinkan dengan ni kayu cemeng. Tidak diceritakan perkawinan mereka oleh karena keduanya sudah tahu rasa bercinta. Demikian asal mula warga Pasek Kayu Selem yang tersebar di pulau Bali. Baiklah akhiri dahulu sampai disini.
36a. Diceriterakan Mpu Mahameru turun ke Bali mrnghadap Paduka Bhatara di Besakih dan Lempuhyang . perjalanan Beliau sangat cepat dan segera sampai di desa Kuntul Gading, melewati Tulubyu langsung menuju ke Besakih, pada hari kakwaciwa/hari purnama wuku julung pujt bulanpalgna. 1,0 tengek Icaka 121, setibanya di Besakih beliau masuk ke kahyangan yang berdekatan dengan Kahyangan Bhatara Putrajaya dan Bhatara Ghnijaya sambil menghaturkan Doa penghormatan , weda pujaan serta air pencuci kaki,
B Bergema suara Gentanya, keuarlah Bhatara disertai hujan bunga, sambil emnghaturkan doa penghormatan, puji-pujian dan wangi-wangian , tidak dikatakan pembicaraan beliau sebab amat pingitnya . setelah itu beliau segera bernagkat ke lempuhyang menghadap Bhatara leluhur, setibanya disana, beliau beryoga. Menghaturkan weda pujaan serta air pencuci kaki, membubung asap api pedupaannya bergema suara gentanya, keluarlah paduka Bhatara manburkan bunga-bungaan, tak terkatakan sabda beliau karena amat pingitnya. Entah berapa lama beliau berada di Besakih dan Lempuhyang beliau mohon diri Bhatara akan kembali ke Jmabudwipa, tidak diceriterakan dalam perjalanan sampailah beliau di Tampurhyang.
37a. Setiba beliau di Tampurhyang Mpu Kamareka beserta istrinya bergegas manyembah menghaturkan air pencuci kaki kehadapan sang adhiguruserta dipersilakan ke kahyangan. Tidak terkatakan pasuguh Mpu Kamareka kehadapan Dang Ghuru. Sebab demikian tatcara seorang murid ditekankan oleh para junjungan /sesuhunan dengan tulus ikhlas, dang ghuru berkata, anakku Mpu Kamareka sekarang aku akan meninggalkan anakku kembali ke jambudwipa, aku sudah yakin akan keakhlianmu. Tetapi anakku ingatlah petuah-petuahku dahulu, mengemban sanghyang Ongkara dyatmika, kelak apabila ada keturunanmu beritahu pula kepadanya gegaduhan anugrahku ini supaya mereka semua mengetahui pembabakan dabtatcra di Bali. Sekarang anakku telah menjadi Ksatrya Brahmana, tetapi hanya tiga turunan mulai dari sekarang. Setelah itu engkau turun lagi menjadi sudra.
B begtu pula kelak oleh karena telah banyak keturunanamu yang berbeda-beda tempat tinggalnya, menyebar di pulau Bali, beritahukan juga kepadanya bahwa apabila mereka tidak taa dengan gegaduhan ini, yangberasal dari Bhujangga Baliaga kutkanku semoga turun menjadi orang dusun sejati ( wong tani cingkrang) dan pada waktu meninggalnya tidak boleh disucikan oleh Brahmana, lagi pula tidak boleh dibakar, kuburkanlah mayat mereka, sebab mereka bukan keturunanku. Sebaliknya apabila mereka tata dengan titi gwgaduhan mereka bernama wangsa wong Tani, tetapi apabila sudah tiga turunan ada lago keturunanmu agar diberi nama ARRYA PASEK KAYU SELEM. Dan setiap yang akhli dan tahu diperkenankan menjadi Bhujangga tetapi hanya tiga turunan. Setelah bhujangga barulah menjadi orang biasa (dudukan) kelak apabila ada keturunanmu hendak mebakar jasad kawitannya diperkenankan,
38a. Tetapi apapbila belum ada Brahmana di Bali yang alhir dari saudaraku Mpu Ghnijaya yang akan melaksanakan weda Mantra, keturunanmu sendiri boleh melaksanakannya, sekarang anakku diperkenankan menyucikan Jasad orang-orang Baliaga, jangan lupa beritahukan juga kepada mereka, sebab amat berbahaya kena kutukanNya. Ini ada juga anugrahku, sastra dudu aksara, rupa tan pa rupa bentuk tanpa brntuk, bukalah telinga dan delikanlah matamu lebar-lebar. Mpu kamareka menyembah dan segera ditanyai sang Mahampu, Anankku Kamareka apakah kamu sudah jelas, ?. Ya paduka Bhatar semuanya sudah meresap dihati anaknda. Ini ada lagi aksara dyatmika, ilmu suci dalam badan ( sastra ring raga sarira) simpanlah baik-baik dalam hatimu, semoga amat sakti, bijaksana dan wujudnya sebagai angkasa..
ini, 50,9,1. selesai, semoga anakku, jangan lupa, jangan ribut serta meremehkan sebab ilmu ini (SangHynag Sastra) amat pingit. Sekarang aku akan meninggalkan anakku oleh karena anakku telah mememgang semua sanghyang aji dalam bathinmu. Mpu Kamareka bersujud dielus kaki Sang Adhiguru disertai Doa Pujaan. Tidak terkatakan senang hatinya sebab sudah dianugrahi sang maha Mpu. Diceriterakan Mpu Mahameru telah meninggalkan Tampurhyang kembali ke Jawadwipa.demikian ceriteranya. Entah berapa tahun kemudian orang-orang di pulau Bali semuanya menurunkan keturunan amat banyak, anak beranak memenuhi dunia diakibatkan banyaknya yogas semadi para Bhatara dalam menciptakan Manusia,, merekalah yang memehuni pulau Bali. Panjang ceriteranya apabila kita membicarakan kelahiran orang-orang Baliaga yang semuanya membawa adat serta upacara yang berlainan pada waktu meninggalnya,, disebabkan perbedaan asal-usulnya.
39a. Demikian tersebut dalam usana. Entah berapa lama kembali kembali pulau Bali menajadi sunyi karena tdak ada seorang Raja sebagai pelindung bumi Bali. Oleh karena itu hyang Putrajaya disertai Hyang Ghnijaya, diirngkan oleh Hyang Catur Purusa berangkat ke Gunung Jambudwipa menghadap Bhatar Hyang Pramestighuru mohon agar ada Raja yang mengayomi pulau Bali sebagai penegak dan penyungsung Kahyangan Besakih. Oleh karena itu para dewata bersidang dengan para resi semua untuk mengikuti Hyang Jagatnatha pergi ke Sorga.
Selesai sudah perundingan itu dan telah ditentukan harinya. Tersebutlah putra Bhagwan Kasyapa yang lahir dari Dyah Wyapara bernama sang Maya Danawa, sudah beristri dengan dewi Malini anak Bhatar Hyang ananta Bhoga yang beribukan dewi Danuka. Mayadanawa dipilih oleh para dewa agar menjadi raja di pulau Bali, disetujuinya keputusan perundingan di atas, pasti sudah si Mayadanawa akan menjadi Raja sebagai pelindung dunia. Seluruh persidangan itupun bubar, pulanglah Bhatara semua. Bhatara Putarjaya mohon diri kehadapan Bhatara Hyang Pramesti guru disertai hyang ghnijaya, Bhatara Catur purusa semuanya kembali ke kahyangan beliau di Besakih. Amat girang hati beliau sebab telah terkabulkan apa yang dicita-citakan.
40a. Tidak diceriterakan dalam perjalanan sudah tiba di Gunung Tolangkir. Demikian ceriteranya pada pada jaman dahulu. Entah berpa lama setelah Mayadanawa menjelma menjadi Raja di pulau Bali disertai oleh istrinya ni Dyah Malini untuk menggatikan Raja terdahulu yang bernama detya Karnapati dan berabiseka Cri Jayapangus yang dahulu bertahta di Balingkang. Mayadanawa konon yang menggatikannya menjadi Raja Bali di bedanegara yang berkeratoon di Batanyar. Selama pemerintahan Beliau tidak terkatakan girang hati orang-orang Bali sebab telah ada penegak dunia yang mempertiabngkan baik buruknya kejadian di dunia.
Dengan demikian penduduk bali beramai-ramai menghaturkan kembang tawon (bunga yang indah) disebabkan keakhalian patih Beliau yang bernama Kala wong dalam
mengemban wilayah negaranya. Tidak terkatakan sejahtarnya pulau Bali, segala yang ditanam tumbuh segalanya berhasil, segalanya dibeli murah harganya, penyakit bencana semuany atakut, tidak ada kekacauan karena kemasyuran Beliau didunia dalam mengemban negara yang diperintahnya, panjang apabila kita menceritakan keutamaan
Cri Mayadbawa sebab telah banyak disebutkan pada usana. Entah berapa lamanya Cri Mayadanawa memerintah, datanglah godaan hyang widhi. Pikiran Mayadanawa berubah mempunyai tabiat angkara, serba utamanyapa kadi aku iri lebih-lebih melarang penduduk menghaturkan bhakti kepada para dewata. Hal ini menimbulkan kesedihan para Bhatara di Tolangkir.
41a. Beliau bersama-sama dengan para Bhatara yang berkahyangan di Bali datang menggugah danmemohon kehadapan Bhatara hyang Pramesti guru agar berkenan membunuh Mayadanawa yang ditunjuk Bhatar Dahulu. Maka diutuslah para dewata, Resi ghana, Dewa nawasanga serta semua yang ada di Sorga, terutama sanghyang Indra agar segera bertindak di pulau Bali. Panjang ceriteranya apabila kita menuturkan sebab semua telah diuraikan pada usana. Sang mayadanawa dibajra Bhatara Indra sehingga mayadanawa ber sama-sama patihnya Kala Wong terbunuh di wilayah desa pangkung patas yaitu di Tonya Dapdap. Itulah sebabnya sekarang kita menemukan sungai yang bernama Tukad petanu. Demikian ceritera sang ratu di muat pada usaha. Kini dengarkan kembali bahwa setelah meninggalnya cri mayadanawa, beliau kembali ke sorga loka sebab semasa hidupnya beliau dianggap sebagai seorang pahlawan sehingga dengan demikian diperkenankan menatap di sorga.
B. ketika mayadanawa berada di sorga, Dewi Malani sangat iri melihal ketenangan, kebahagian suaminya ia menangis sejagi-jadinya serta tidak henti-henti menyesali nasibnya. Panjang ceritanya apabila menceritakan kesedihan Dyah Malini yang diliputi rasa malu (jengah). Kemudian iapun pergi ke bawah tanah (Sapta Patala) menghadap ibunya Dewi Dakuna. Setibanya Dewi Malini di Sapta Patala dilihal ibunya lalu berkata, ”Aduh anaku ,buah kesayangan ibu (mas atma jiwa) Dyah Malini, selamat datang serta apa sebabnya anaku kelihatan sepeti orang bersedih. Apabila boleh beritahukanlah pada ibu. Ni Malini menyembah dan dengan berlinangkan air mata ia menelungkup dipangkuan ibunya sambil
42a. Menceriterakan suaminya telah berada di sorga menikmati ketanangan dan kebahagiaannya. Tertegun ibunya sejenak serasa sesak napasnya. Kemudian ibunya menjawab,”aduhia buah kesayanganku Dyah Malini, andaikata demikian janganlah terlalu bersedih anakku sebab itu merupakan takdir Tuhan Yang Maha Kuasa yang tidak bisa kita hindari. Tenangkan hatimu, pulanglah anakku sekarang dan ceritakan kepada ibunda Ni Dewi Wyapara agar beliau bersama-sama dengan ibu berkenan menghadap Sang Hyang Suranatha di Indraloka. Dyah Malini amat gembira mendengarkan kata ibunya seraya menyembah mohon diri akan pulang. Tidak di ceritakan dalam perjalanan akhirnya sampailah ia dihadapan ibunya Dewi Wyapara untuk membicarakan nasibnya, kebahagian suaminyaserta akan menyampaikan perintah ibunya Dewi Danaku.
Panjang ceritanya apabila di ceritakan perundingan tersebut. Kemudian Dewi Wyapara dan Dewi Danaku berangkat ke indra loka menghadap Sang Hyang Surapati (indra) . setibanya di Indra loka mereka menyembah di hadapan Sang Curendra (indra) lalu ditanya Sabda Bhatara, ”Hai anakku berdua, kini anakku terdua datang, menurut perasaanku kelihatan seolah-olah bergegas menghadap kepadaku. Apabila anakku keberatan, ceritakan kepadaku”. Menyembah mareka yg ditanya lalu bersujud, ”Daulat
paduka Paramecwara. Adapun sebebnya anak nda berdua datang menggugah Bhatara tidak lain untuk mohon maaf atas kebahagiaan si mayadanawa. Kini seadainya diperkenankan paduka Bhatara agar
43a Mayadanawa kembali ke dunia menjadi raja di pulau Bali”. Paduka Bhatara Curapati tertegun, diam sebagai tersendat rasanya. Tidak lama kemudian beliau berkata, ”Hai anakku berdua, andaikata demikian aku tidak akak membiarkan tetepi aku akan memepintahkan Mayadanawa beryoga semadi dahulu untuk menebus dosa yang pernah diperbuatnya”. Kedua perampuan itu memyembah, ”Yah andaikata demikian hamba manuruti segala perintah Bhatara”. Dengan demikaian selesai sudah perundingan tersebut. Keduanya mohon diri kehadapan Bhatara dan tidak terhingga betapa suka cita mereka lebih-lebih Dyah Malini sebab sudah terkabul niatnya untuk meceritakan keadaan Sang Mayadanawa.
Demikian ceriteranya pada djaman dahulu, baiklah hentikan sejenak, diceritakan kembali Mahameru dipanggl Bhatara di Tolangkir, beliau brergegas turun ke Bali dan oleh karena dalam perjalanan Beliau tidak mendapatkan suatu halangan, beliau segera tiba di desa gading, perjalanan Bliau melewati Gunung Tulukbyu, setibanya di Besakih Bhatara segera menghaturkan weda pujaan dan penghormatan seperlunya. Bergema suara Gentanya yang kemudian disambut taburan bunga serta penjaya-jaya, Bhatarapun segera keluar, Banyaklah ceriterany apabila ingin membicarakan percakapan Bhatara, Selama Bliau menghadap Bhatara di Besakih, bersama-sama melaksanakan yoga semadi. Bhatara Putrajaya menceriterakan bahwa bliau inginsegera menciptakan Raja Bali sebab Bhatar merasa iba melihat tata susila manusia telah hilang dan tida ada yang mempertibangkan baik buruknya di dunia.
44a. Itulah sebabnya Bhatara Putarjaya disertai Bhatara Ghnijaya para Bhatara yang berkahyangan di Bali serta Mpu Semeru berangkat ke Sorga loka. Tidak diceriterakan dalam perjalanan sebaab semuanya berjalan amat cepat maka sampailah beliau di Sorga loka. Bhatara Putrajaya lalu menghadap Bhatara Hyang Pramesti guru memohon anugrah agar ada menggantikaN Raja Bali yang sudah Moksa, banyak ceriteranya apabila menuturkan percakapan para Bhatar di Sorga tetapi yang jelas telah pula diputuskan Bhatar siapa yang akan ditunjuk menjadi Raja di Bali. Dengan telah selesainya perundingan itu maka Bhatara berdua dengan diirikan oleh Mpu Mahameru dan bhtara Catur purusa,, mereka kembali menuju Besakih. Demikian ceriteranya. Marilah alihkan pembicaraan untuk menuturkan sang Mayadanawa yang diprintahkan Bhatara Hyang Widhi wasa menjelma kembali ke pulau Bali sebab segala dosanya (keletehan) telah dibersihkan oleh tapa Bratanya(tapa semadinay)oleh karena itu ia diutus menjelma kembali srta diperkenankan menjelma dalam bentuk laki dan perempuan,
b. sehingga digaibkan kedalam kelapa, disucikan diputar dengan sebilah pedang oleh Sang Kul Putih pertapa di Tolangkir yang bersemayam di sorga. Ketika telah genap yoganya Sang Mayadanawa menjelma di Bali dengan abiseka Dalem Cri Haji Masula Masuli serta dikawinkan dengan adiknya sebab pada waktu kelahirannya beliau lahir buncing. Pada waktu dahulu ada beberapa desa yang telah dibangun Hyang Indra yaitu desa Manukaya, Sekahan, Pludu, di tempat itulah Bhatara Masula Masuli membangun pasanggrahan sebagai tempat persinggahan apabila berjalan-jalan ke gunung. Tidak terkatakan ketemtraman negara oleh karena Sang raja selalu memperhatikan kebajikan di dunia, sujud, berbakti kehadapan para dewata dan memegang teguh keadilan dalam memecahkan segala perkara yang terjadi. Itulah sebabnya ada yang mencemohkan Dalem. Seluruh rakyat di wilayahnya baik yang berada di dusun maupun di pesisir semua memuja kesaktian Cri Haji.
45a. Demikan keadaan negara selama pemerintahan Cri Haji Masula Masuli. Ssekarang baiklah dengarkan kembali bahwa pada waktu kelahiran Cri Haji Masula Masuli di dunia Bhatara Indra bersabda kepada seluruh penduduk bali sebagai berikut, ”kelak apabila ada orang yang kawin dengan saudara tunggalnya, mengikuti perkawinan Cri Haji Masula Masuli perbuatan demikian dilarang, mencemarkan tata susila. Patut di singkirkan jauh-jauh, lemparkan kedalam samudra sebab perbuatan itu bukahlah tata susila manusia melainkan tabiat binatang, menodai dunia dan tidak urung mengganggu ketentraman penduduk di dunia. Begitu puli apabila ada dua orang anak lahir dari kandungan ibunya laki perempuan satu placenta (ari-ari) kelahiran tersebut buncing dan mencemarkan desa. Harus dijauhkan dan ditempatkan di pinggir desa atau di dekat kuburan selama 24 hari. Penduduk desa harus melaksanakan upacara penyucian pangosadi, amalik sumpah,
B anapuh serta orang yang mengalami hal tersebut harus pula disucikan”. Demikan Sabda Bhtara Indra. Dilarang menuruti tindakan Cri Haji Masula Masuli. Begitu ceriteranya pada jaman dahulu. Entah berapa lama beliau memegang tampuk pemerintahan di kerajaan bali menikmati kebahagiaan dunia terutama mengecap kenikmatan yang amat mengasikkan (menyenangkan) maka istrinyapun mengandung. Ketika umur kandungan istrinya telah sampai, bayi dalam kandungan itu bergerak-gerak. Tidak terkatakan betapa tangis ibunya, maka lahirlah bayi tanpan dan sempurna parasnya. Pada waktu lahir bayi itu amat suci dan sakti. Alangkah gembiranya mereka berputra. Putranya di upakarai, disucikan dan diberi nama topalung. Demikian ceritera sang bayi dimuat dalam usana. Selanjutnya diceriterakan kenbali keempat pendeta yaitu
46a. Mpu Ghnijaya, Mpu Sumeru, Mpu Ghana dan Mpu Kuturan tatkala menghadap Bhatara Putrajaya di Besakih. Bhatara Putrajaya bersabda, ”Wahai anakku Sang Brahmana semua dengerkanlah petuahku. Anakku semua hendaknya segera beryoga sesuai dengan dharma Sang Brahmana Resi agar kelak apabila engkau mempunyai keturunan mereka mengetahuiasal mula serta berbakti kepadaku. Anakku Mpu Ghnijaya lekaslah beryoga semadi di gunung lempuyang di sisi Bhatara leluhur. Anakku Mpu Sumeru anakku agar beryoga di kahyangan bersamaku di sini. Sebaliknya anakku Mpu Ghana anakku berkahyangan di Dasar Bhuwana sedangkan anakku Mpu Kuturan anakku berkahyangan di Cilayukti.
Adikmu Mpu Pradhah menetap di jawadwipa agar sewaktu-waktu dapat pergi ke jawa atau bali (anagajawa angabali)”. Demikian sabda Bhatara di Tolangkir maka para Mpu semuanya menuruti perintah paduka Bhatara Putrajaya. Begitulah Ceritera mengapa keempat pendeta di atas disungsung keturunanya di kahyangan masing-masing. Lama kelamaan pada waktu Mpu Ghnijaya di Jawadwipa beliau melahirkan putra yang selanjutnya dikenal denagn nama Warga Sanak sapta Resi(Warga Sanak Pitu). Adapun nama-nam Beliau yaitu : Mpu Kete, Mpu Kanada, Mpu Wirajnana, Mpu Wiradharma, Mpu Ragrunting, Mpu Preteka, Mpu Dangka. Itulah yang disebut Warga Sanak Pitu Selanjutnya Sisya Mpu Mahameru yang menpunyai asal-usul aagak berbeda, lahir dari yogasemadi beliau di Tampurhyang bernama Mpu kamareka, belakangan Lahirnya dibandingkan keturunan Sanak pitu,
47a. Lebih-lebih dibanding dengan anak beliau Mpu Ghana yang bernama Mpu Galuh. Mereka bersepupu (misan) dengan mpu Kamareka baru dua keturunan dari sejak lahirnya Bhatara Hyang Ghnijaya. Demikian ceritanya. Diceritakan kembali Mpu Kamareka tatkala menasehati putranya Ki Kayu Jayamahireng, ” Anakku Kayu Ireng, dengarkanlah kata ayahanda sekarang. Kelak apabila’ anakku telah mempunyai keturunan beritahukan juga kepadanya titi gagaduhan ini serta ingatlah anakku aghuru sisya dengan keturunan Bhatara Mpu Ghnijaya yang disebut Warga Sanak Pitu mindon anakku. Dahulu ada
Petuah Bhatara leluhur yang disampaikan kepada ayahanda bahwa anaknda tidak diperkenankan saling ambil mengambil serta saling sembah dengan keturunnan mereka. Tetapi anaknda besserta keturunan anaknda harus menyembah kepadanya apalagi diambil
(dipesristri) oleh keturunannya. Sebaliknya diantara keturunan anaknda sendiri diperkenankan saling sembah dan saling ambil mengambil. Demikian tata cara menjadi manusai. Begitu pula apabila nanti anaknda meninggal. Janganlah membakar jasad oleh karena ida Bhatara tidak ingin cemar, disebut pingit disebabkan berdekatan dengan paryangan pura di Panarajon, pura Tegeh, Ulun Danu dan Batur. Disebut pingit disebabkanberdekatan dengan dengan parhyangan pura di panarajon, pura Tegeh, ulun danu dan Batur, agar tdak ditutup (keungkulin)oleh asap jasad karena orang bali asli tidak boleh dibakar. Kuburkanlah anaknda diperkenankan melalsanakan upacara mabya tanem. Ingat anaku, jangan mengingkari. Andaikan ananda mengngikari petuah diatas tidak urung ananda ditimpa kutukan Bhatar leluhuhr. Diceriterakan kembali Raja Bali yang bernamana Cri Haji Masula Masuli telah terkenal kesaktianya dalam membela wilayah Negaranya bawahan Beliau semuanya tunduk, bencana dan kesulitan tidak pernah terjadi.
48a. Entah berapa lam akhirnya beliau moksa tanpa bekas kembali ke alam sunyata diirngi oleh istrinya kembali ke alam sorga. Selanjutnya untuk memegang tapuk pimpinan di Bali beliau diganti oleh putranya yang bernama Sri Haji Tapohulung dengan pusat pemerintahan di Batahanar, pejeng. Selama pemerintahan Cri Haji Tapohulung tidaklah usah diceriterakan lagi sebab sama seperti pada waktu kerajaan Bali diperintah Cri Haji Masula Masuli, bahkan bahkan melebihi kesaktian ayahnaya. Hal ini tidak lain disebabkan Cri Haji tapohulung telah dapat keluar masuk Sorga dengan mudahnya. Itulah sebabnya seluruh bwahannya beliau tunduk yang didampingi oleh Patih akhli yang bernama Pasung Grigis dan Kebo Iwa. Hentikan dahhulu ceriteranya sejenak.
Diceriterakan kembali Mpu Kamareka dengan putra bliau Sang Jaya Kayu Ireng yang telah lama kawin dengan Ni Kayu Ireng yang disebut baru satu keturunan, Sang Jaya Kayu Ireng oleh karena Beliau memang keturunan Bhujanga Bali maka sesuai dengan petuah Bhatara, beliau segera diapodgala ayahnda dan diganti namanya menjadi Mpu Ghnijaya Mahireng. Demikian Ceriteranya.
Selanjutnya Mpu Kamareka berputra Lagi 3 orang laki-laki yang amat tampan, di beri nama : Sang Made Celagi, Sang Noman Tarunyan,Sang Ketut Kayu Selem menjadi Bhujangga diapodgala oleh ayahnya. setelah diApodgala, Sang Made Celagi diganti namanya menjadi Mpu Kayuan, Putra Beliau yang ketiga( Nyoman Tarunyan) diberi Nama Mpu Tanrunyan. Sedangkan Yang Paling Kecil ( Ketut Kayu Selem) diganti namanya menjadi Mpu Badengan tidak diceriterakan semuanya telah mencari dan melaksanakan tugasnya amsing-masing. Mpu Kayuan berpindah dari Gwa Song di Panarajon bersemayam di Balikang. Mpu Tarunyan mencari tempat dan beryoga di Gunung Tulukbyu di Desa Belong. Sejak itu disebut Desa tarunyan. Itu pula sebabnya Beliau disebut Mpu Tarunyan. Sedangkan Mpu Ghnijaya Mahireng beresama-sama dengan adiknya terkecil( Mpu Badengan) tetap beryoga di Gwasong mengikuti jejak ayahndanya yang selanjutnya disebut didesa Songan. Demikian ceriteranya dituturkan Oleh Sang Dwijendra Sakti Wawu Dateng kepada Cri Haji Gegel pada waktu beliau bersemayam di Samplangan di Tugu.
Diceriterakan kembali para putra (Sang Catur Bhujangga). Sang Mpu Ghnijaya Mahireng berputra 3(tiga) orang laki-laki, yang tertua bernama sang Taru hulu, adiknya sang kayu selem, Sang Wreksa Ireng serta seorang putri bernama Ni Kayu Selem.
Mpu Kaywan/Mpu Panarajon berputra seorang laki-laki 4(empat) orang Perempuan bernama Sang Panorajon( Tertua) yang hampir sama dengan Nama Ayahanya. Sedangkan putri-putrinya bernama, Ni Ayu Nguli, NiKayu Ireng, Ni Ayu Kinti, dan Ni Ayu Kaywan. Mpu Tarunyan berputra 1orang laki dan 3 orang Perempuan, Putranya bernama Sang Tarunyan , hampir sama dengan nama ayahnya, sedangkan putrinya bernama Ni Ayu Dani, Ni Ayu Tarunyan, Ni Ayu Taruni. Itulah putra putri Mpu Tarunya. Mpu badengan berputra 2 orang laki-laki yaitu Ki kayu Celagi, ki Kayu Tarunya,. Demikian putra putri keempat Bedrsaudara di atas, baru dua keturunan dan disebut masih bersepuu(misan).
50.a Entah berapa lama semuanya telah dewasa lalu mereka saling ambil mengambil diantara sepupunya. Sang Taruhulu memperistri NiAyu Kayu ireng, anak Mpu Panarajon. Sang Kayu Selem memperistri ni Ayu Taruni anak Mpu Tarunyan, sang Wreksa Ireng beristri 2 orang yaitu Ni Ayu Nguli dan Ni Ayu Kinti anaksang Mpu Panarajon. Sang Panarajon anak Mpu Kaywan/Mpu Panarajon beresmayam di Panorajon memperistri NiAyu Taunyan anak Mpu Tarunya. Sang tarunyan yaitu anak Mpu Tarunyan Memperistri anak Mpu Ghnijya mahireng yang bernama ni Ayu Kayu Nlem.
Ki kayu Clagi Putra dari Mpu Badengan memperistri ni Ayu Dani anak dari Mpu Tarunyan. Sang Tarunan memperistri ni Ayu Kaywan anak Mpu Panarajon/Mpu Kaywan. Demikian mereka itu saling ambil mengambil diantara saudara sepupunya. Tidak diceriterakan kebahagiaan mereka berkeluarga karena hal itu sudah merupakan takdir maka setelah beberapa lama berkeluarga mereka melahirkan keturunan masing-masing. Demikian ceriteranya. Dijelaskan Mpu Kamareka setelah melahirkan banyak keturunan. Telah makin lanjut usianya dan telah terpikirkan dalam hatinya bahwa pada hari yang baik akan mengumpulkan anak cucunya hendak memebritahukan bahwa beliau akan kembali ke alam sunyata.
51a. Katanya: wahai anak serta para cucuku semua, kini dengarkanlah petuahku kepadamu. Tidak lama lagi ayah akan meninggalkan kamu semuanya kembali ke Sorga. Sebab sudah saatnya ayah harus meninggalkan Madya loka. Kelak apabila purnamaning Kartika (12) tiba dan aku telah kembali ke Sorga, hendaknya kamu semua segera mendirikan Kahyangan untuk melinggihkan Sanghyang Tri Purusa, terutama melinggihan Sanghyang Suci Nirman, sedangkan untuk Ayah buatkanlah sebuah Bebaturan. Selanjutnya apabila engkau sudah selesai mendirikqan Kahyangan segera anaku melaksanakan Puja Wali melaspas, anapuh, serta ngenteg linggih. Untuk Ayah buatkan juga Odalan di Bebaturan karena ini merupakan tatacara Sanghyang Dwipala serta Bhatara Hyang Suci yang berasbiseka Sanhyang Tayi.
Adpun Yang dimaksud dengan Sanghyang Tri purusa yaitu, Brahma, Wisnu, Icwara. Sedang pelinggih untuk Bhatara Sanghyang Ibu Pretiwi yang bertemu dengan Bhatara Sanhyang Akasa disebut Paibon. Tetpi ayah terlebih dahulu dibuatkan sebab ini merupakan salah satu penghormatan Leluhur. Ingatlah. Begitu pula apabila anaku telah selesai memperbaiki kahyangan, jangan lupa melaksanakan upacara yadnya, piodalan agar ada disungsung keturunanmu kelak dan seterusnya. Semoga kamu berbahagia. Beritahukan pua kepada seluruh ketrunanmu dimanapun mereka berada baik jauh maupun yang dekat agar mereka datang mengahaturkan piodalan. Adapun upacara dipodalannya adalah pada Tileming Kedasa(13). Janganlah menghindari hari diatas.
52a. Jikalau ada keturunanmu yang tidak mentaati titi gagduhan ini, mereka bukanlah keturunanku sebab mereka telah mengingkari sasana. Mudah-mudahan merkea susut dan kena kutukanku. Banyak kerja tapi tanpa ada hasilnya,. Segala yang dilaksanakan tidak akan menemukan keselamatan. Setiap akan muncul diakhiri kegagalan, Ingatlah petuah-petuahku, hai seluruh keturunanku, Begitu pula apabila nanti tumbuh pohon kayu berwarna Hitam di Kahyanganmu, hal itu suatu pertanda bahwa ayah telah berbadan sekal – niskala, ayah telah berada disamping Sanghyang Jagat Karana. Sebaliknya apabila apabila pohon kayu itu sudah tumbuh, sejak saat itu Berilah Nama Pura Itu ” Pura Kayu Selem” ingatlah anak-anaku.demikian juga apabila disini di Gwasong telah tumbuh pohon ”Beringin” hal itu suatu pertanda bahwa ayah di alam Sunya taya telah melaksanakan ”Tirta Gemana”, dari sana ayah akan mendoakan semoga kamu sekalian berhasil dan selalu berada dalam keselamatan, tidak akan kekurangan mata pencaharian, serta senantiasa berada dalam kelanggengan.
semoga sempurna semuanya/selanjutnya inilah saji-sajian apabila anaku akan menghaturkan upacara yaitu Suci Asoroh,. Serba Hitam, itik jambul berbulu hitam, disertai Guru Piduka yang dipersembahkan kahadapan Bhatara Wisnu lengkap dengan Mantranya. Jangan lupa ingatlah petuahku ini ayah segera akan kembali ke Alam Sunya. Apbila tiba saatnya ayah akan memberitahukan pula kepada mu kembali, huruf keramat dalam pemujaan yang dipergunakan untuk ,melepaskan diri serta ilmu kemoksaannya. Siapapun diantara keturunanmu yang telah menghayati, mereka diperkenankan mejadi Panditha/Pendetha. Setiap warga yang dipandang telah benar akhli. Patut anaknda jadikan pemimpinmu( penghulunta).patut dihormati sebab ia yang akan membimbing kearah ketentraman keturunanmu. Ingatlah baik-baik. Setelah hati yang dinantikan tiba, yaitu pada bulan Kartika, bertepatan dengan purnama pada saat itu Mpu Kamarekaberkehendak kembali ke Sorga Loka, untuk maksud ini beliau telah juga mengundangseluruh orang Baliaga.
53a. Segala perlengkapan saji-sajian yang berkenaan dengan Upacara di atas telah pula disiapkan. Tidak terkatakan betapa banyakpara Tamu yang datang hendak menyaksikan Mpu Kamreka. Terutama para murid Beliau serta Mpu keturunan Mpu Ghnijaya yang disebut Warga Sanak Pitu yaitu Mu ktek,Mpu Ragarunting, Mpu Pretka, Mpu Dangka, semua diundang menghadirinya. Banyaklah ceriteranya kwmantapan Upacara diatas yang tidak keurangan tegur sapa sad Rasa serta hal-hal lainnya, Para Tamu yang diundang tidak terkatakan jumlahnya ikut menyaksikanUpacara diatas dan dmeriahkan dengan tetabuhan gamelan selonding yang semuanya dipimpin Mpu Ghnijaya mahireng, Mpu Panarajon, Mpu Tarunyan dan Mpu Badengan. Mereka tidak lupa menyapa para tamu sserta menghaturkan hidangan-hidangan sekedarnya.
b. Ayahndanya Mpu kamareka tidak ketinggalan pula menyapa para Tamu. Benar-benar upacara itu tidak mengecewakan. Kini tiba sudah saatnya dawuh 5 nyaitu dawuh sunyi, hari rebo madhura byantara dadi mahulu wurukung, guru mandala, menga, mpu Kamreka mengenakan pakaian putih. Beliau segera pergi ke pacramannya di GwaSong dimana para tamu terutama ketujuh panditha Warga Sanak Pitu telah bersiap menunggunya. Mpu Kamareka dituntun oleh para putranya, segala persiapan upacara yaitu dupa, kemenyan, astangi, minyak bijan serta wangi-wangian, alat pemujaan, genta patarana dan lain-lainnya telah disiapkan. Kemudian Mpu Kamareka berkata kepada para Mpu semua, ”Daulat Sang Maharesi relakanlah hati sang Maharesi melihat saya. Tuluskanlah cinta kasih Sang Maharesi kepada saya.
54a. Sekarang saya mohon diri akan mendahului Sang Maharesi semua kembali ke alam sunya. Tetapi ada pula permintaan saya, sudilah kiranya Sang Maharesi memberikan bekal pengantar saya menuju alam sorga sebagai tanda cinta kasih Sang Maharesi kepada saya. Antarkanlah saya dengan weda Sang Maharesi yang keluar dari perasaan tulus suci nirmala agar hati saya merasa lapang terhadap Sng Maharesi semua”. Maka para Mpu semua serta para sisyanya menjawab, ”Wahai adikku Sang Mpu, andai kata demikian kehendak adik Mpu” kami semua tidak akan menolak memenuhi kehendak adik Mpu”. Setelah itu Mpu Kamareka berkata kembali kepada sisyanya. ”Aum, aum anak-anakku semua. Dengarkanlah petuahku ini. Apabila engkau semua telah menurunkan keturunan masing-masing, beritaukanlah juga kepada mereka jika hendak melaksanakan upacara jasad para keturunanmu kelak, apabila belum ada diantara keturunanmu yang menjadi Bhujangga (amu janggain)
b. tetapi sudah ada Bhujangga yang lahir dari keturunan Sanak Pitu, Bhujangga ini diperkenankan melaksanakan upakara jasad keturunanmu. Mereka harus dihormati keturunan sebab dahulu ayah telah diperingatkanBhatara leluhur, Bhatara Mpu Mahameru. Ingatlah petuahku sebab siapapun diantara keturunanku yang tidak menaati petuahku ini akan kena kutukanku. Semoga jatuh, bodoh, banyak kerja tetapi tidak ada hasilnya. Begitu pula apabila pada waktu engkau melaksanakan upacara jasad keluargamu, namun belum ada Bhujangga di bali engkau boleh memohon tirta pengentas di pura setelah mohon ijin kehadapan Bhatara Jagatnatha, terutama kehadapan Sang Hyang Tri Purusa. Tetapi sebelum berdoa beritahukanlah kepada ayah dari paryangan tempal ayah beryoga. Dari alam sunya akan segara datang dan mohon tirtha pangentas, pabresihan kehadapan Bhatara Tri Purusa.
55a Setelah engkau diberikan tirtha, dari sana pula ayah bersama dengan Bhatara akan datang memberi tirtha panglambus. Adapun dalam memohon tirtha kehadapan Bhatara, pergunakanlah tiga tempat yaitu sangku tembaga, bahem skala dan batil besi sebab itulah yang patut sebagai tempat tirtha. Sedangkan untuk tirtha pabresihan pergunakanlah 3 buah periuk baru (anar). Rerajahan (gambar) sangku tembaga ang,( ), sangku besi ung ( ) dan sangku perak mang ( ).
Mentera rerajahan sangku tembaga
ONG NANG MANG BRAHNA YA NAMA CWAHA
Mentera rerajahan sangku perak
ONG NANG ICWARA YA NAMAH.
Mentera rerajahan sangku besi
UNG NANG WISNU YA NAMA CWAHA.
Inilah pujaan pertama tata cara kamoksan, pujaan pemusnahan (prelina). Selesailah sudah pembicaraan yang berkenaan dengan weda pragga. Demikianlah kata Mpu Kamareka kepada anak sisyanya semua.
b. Sesudah meresap ke dalam hati mereka semua kemudian anak cucu beliau bersujud dihadapan leluhurnya. Mpu Kamareka bersiap akan beryoga, menyatukan SngHyang kemoksan dan menjalankan seluruh huruf keramat (dasaksara) pada badannya (Bhuwana alit) pada kepala
Pada bulu Ong yang bertemu dengan Ong Sungsang
Iti Ong ngadeg
Ini Pnaca Brahma
ONG BANG diatara – dadi
ONG TANG pada bru madya
AH pada Kuping
ONG ING Pada Limpa
ONG BANG MULUT
ONG MANG Pada Jantung
ONG MANG Pada Pusar
ONG WUNG Kemaluan
ONG YANG Pada Dubur
56a. Lalu membersihkan Badan membakar Sanghyang DASAK SARA diakhiri oleh Sanghyang Ghuru Indra, pada nabhi. Mantranya :
Ong Rah Phatsra Kalaghni Rudra Ya Namah
Geseng SASTRA MALA TRAY, ANG UNG MANG.
Satus Phataka, AH Salwiring LARA Wighna, Geseng dadi Awu, ANG AH NAMA CWAHA.
Setelah itu dihidupkan oleh Sanghyang amertha Mantranya:
Ong Ung Rah Patasraya, Padama Ya Namah
Manurunkan Sanghyang Byoma Siwa . SAMUDRA YA NAMAH
Pada Hati yang Suci bertemu ONG dengan Ongkara Sumungsang ngadeg, manjadi satu dan berubah menjadi Amertha Sanjiwani. Mantranya ”O”
Ong Ci Ta Twa, Ya Ah, Sa, Ba, Ta, I, Ang, Nang, Pa Ma Ci Wa, YA.
Lalu Pralina A, Awa, Kembali pada Ba, Na, Kembali pada Sa, kemudian mersap Panca Brahma, SA, BA, TA, A, I, SA, kembali pada GA suaranya menjadi ANG, TA kembali pada A , UNG dimusnahkan. Setelah bersih,
mata, telinga diprelina, Telinga di prelina pada Hidung, Hidung diprelina pada Mulut, Mulut di Prelina pada Jejaringan, Jejaringan diprelina pada limpa, Limpa Prelina pada Ungsilan, Ungsilan Prelina pada Empedu/Nyali, Empedu prelina pada Hati, Hati Prelina pada Puser, Suarnya pada ubun-ubun, dan setelah pada pusar, merdupkan napasnya lalu Mpu Kamareka Moksa tanpa bekas kembali ke Sorga. Demikian ceriteranya pada Djaman Dahulu, Para keturunan/Warih Mpu Kamareka segera mengahaturkan Sembah Kehadapan Mpu Kamareka yang sudah Moksa. Tertegun mereka yang ditingalkan, terkenang kepada sang sudah Moksa, sebab rasa-rasanya Beliau masih berada dalam Hatinya. Panjang apabila hendak menuturkan. Akhirnya para Tamu pun kembali ke tempatnya masing-masing.
57a. Dijelaskan kembali sang taruhulu yang kawin dengan Ni Cemeng melahirkan dua orang anak perempuan bernama Ni Ayu Kaywan dan Ni Ayu Poh Gading. Sang Tarunyan sesudah mujanggain bernama Mpu Kayu Ireng dan kawin dengan Ni Ayu Selem mempunyai 5 orang anak, seorang perempuan dan 4 orang laki-laki. Putranya yang tertua bernama Ki Trunyan, yangkedua bernama Sang Badengan, ketiga bernama Sang Nelem, dan yang terkecil bernama sang ketut Celagi ireng. Setelah menjadi Bujangga bernama Mpu Kayureka, hampir sama dengan nama leluhurnya. Dan setelah kawindengan NI Kinti orang laki-laki. 2 orang laki-laki dan 3 orang permpuan. Anaknya tertua bernama sang Madriakah, yang kedua bernama sang Sadrakah, yang ketiga bernama Ni Sadrya yang keempat bernama Ni Ayu Nelem.
adapun Anak Sang Kayu Ireng adalah 3 Orang perempuan dan seorang laki. Putranya bernama Ki Togog Ireng dan anaknya yang permpuan bernama Ni Cemeng. Ni Ireng. Ki Togog Ireng memperistri Ni Tarunidan setelah di apodgala bernama Mpu Kayu Sweta. Selanjutnya Ni Taruni yang lahir dari Ibunya ni Nelem mempunyai 4 orang anak yang tertua bernama sang Twed Ireng. Dan adiknya Perempuan bernama Sorga. Ni Tarunyan, Ni Blong, Ki Twed ireng sesudah mejanggain bernama Mpu Kayureka sama dengan nama leluhurnya yang telah moksa. Adapun anak sang tarunya 5 orang , seorang laki dan 4 orang perempuan, anaknya yang laki bernama Sang Tarunyan, sedangkan yang perempuan bernama Ni Ayu Tarunyan, Ni Runti, NI Rinon, Sang Tarunyan tidak mernjadi Bhujangga sebab ia seorang Pejudi.
58a. Mpu Panarajon Dimade, yang beristri dengan Ni Taruna mempunyai 7 orang anak, 3 orang laki-laki dan 4 orang perempuan. Putranya ynag tertua bernama Sang Gwa Song, yang Kedua bernama Sang made Songan, yang ketiga bernama Sang Nyoam Song. Sedangkan anak-anaknya yang perempuan bernama Ni Sadrya, Ni Rojani, Ni Tarujar, Ni Sadya diperistri oleh Mpu Ketek, Kompyang Mpu Ghnijaya, yang paling kecil, demikian Ceriteranya dahulu, setelah bebrapa lama diceriterakan kemabli Mpu Jaya Mahireng yang bersemayam di Songan sedang berunding dengan saudra, para cucu serta Kompyang semuanya. Adapun yang diperbincangkan tidak lain membicarakan Petuah-petuahyang disampaikan Leluhur kepada Beliau yaitu agar segera melaksanakann Pitra Yadnya. Panjang ceriteranya apabila membicarakan Percakapan Mereka. Akhirnya diputuskan akan melaksanakan maksud diatas.
Ketika tiba saatnya hendak melaksanakan Upakra Pitrayadnya( Pitra Tarpana) leluhurnya, tepatnya pada hari Rabu mahadewa bulan gelap(tilem) sasih kedasa, beliau mengundang seluruh Maharesi keturunan Mpu Ghnijaya yang disebut Warga Sanak Pitu yaitu Mpu Ktek, Mpu Kananda, Mpu Wirajnana, Mpu Withadarma, Mpu ragarunting, Mpu Preteka, dan Mpu Dangka. Agar berkenan datang ke Songan menyaksikan upakara diatas. Tidak terkatakan banyaknya para tamu datang yang walaupun tidak beiberikan suguhan, memreka tidak kekurangan makanan maupun minuman. Panjang ceriteranya bila menuturkan kemeriahan Upacara tersebut, sebab telah diramaikan dengan gambelan Selonding, Mpu Ketek bersama-sama Mpu Withadarma dipersilakan memimpin Upacara, Mpu Ragarunting dipersilakan memutru. Mu Ketek melaksanakan Yoga Tasik Wedana, Mpu Withadarma Mengutarakan Yajurweda, Mpu Jayamahireng megutarakan Reg Weda, Mpu Panarajonn malaksanakan Astawa Wedana sedangkan Mpu Kaywan, ikut juga memutru bersama –sama dengan Mpu Ragrunting. Tidak ada yang menandingi kemegahann dan kelengkapan saji-sajian Widhi wedana dann tidak ada kekurangannya. Bergema suara Genta tidak ubahnya seperti suara kumbang sedang mengisap bunga. Disamping itu para pendeta yang tidak ikut melaksanakan Upacara, semuanya angresi Bojana menghaturkan Punya yang dibalas dengan Do’a Pujaan. Panjang apabila menceriterakan pelaksanaan Upacra itu yang tidak terkatakan jumlah para tamunay. Tidak ada yang kekurangan suguhan, amat lengkap dan tidak ada halangan atau rintangan yang terjadi. Ketika upacra diatas selesai dilaksanakan. Maka pulanglah para tamu ke tempatnya masing-masing.
b., Selajutnya oleh karena sudah selesai upacara pitrayadnya sang leluhur, Mpu Jayamahireng disertai para saudara, anak cucunya membangun Kahyangan sesuai dengan petuah leluhurnya yaitu sanggar aghung, tempat pemujaan Bhatara Hyang Suci yang bernama Sang Hyang Taya. Gedong Tri Purusa tumpang #, tempat penujaa Bhatara Ciwa, Sadhasiwa, dan Peramaciwa yang juga bernama sanghyang Tigayadnya. Gedong tumpang 3, tempat pemujaan Bhatara Hyang Brhama Wisnu. Kemualan dengan 3 Rong. Tempat pemujaan sanghyang Tri purusa, Brahma, Wisnu Iswara. Pada waktu ketiganya sedang enunggal. Bebaturan Rong 2. tempat pemujaan sanghyang Akasa pada waktu bertemu dewngan sanghyang ibu Pretiwi yang juga disebut Ibu Bapa. Waktu mengeluarkan air Suci dan Air restu yang juga disebut Dwipala.
60a. Di Madya (jaba tengan) dibangun pesamuan Agung tempat berkoumpulnya Para Bhatara semua. Disamping itu pada halaman luar (jaba) dibangun pula bebaturan 2 Rong perlambang laki perempuan yang dipergunakan tempat menghadap para Hyang sesuai dengan petuah leluhur. Bebaturan 3 Roang tempat pemujaan Sanghyang Tiga Sakti lengkap dengan sedahan Taksu pengapi Lawang (17). Setelah pura selesai akhirnya tumbuh pohon kayu hitam yang merupakan pertanda seperti apa yang telah diutarakan leluhurnya dahulu. Itulah sebabnya pura itu disebut ( bernama) Pura Kayu Selem, yang ditemukan sekarang. Kayu dimaksud tersebut tidak lain adalah Pohon Asem yang kelihatan Hitam warnanya, pada waktu pura itu sudah selesai dibangun, mereka segera melaksanakan Upacara Piodalan yaitu menapuh, melaspa, serta ngenteg Linggih, demikian ceriteranya dahulu.
selanjutnya setelah upacara diatas dilaksanakan Mpu Jayamahireng bersama-sama pra putra serta keluarganya membangun Kahyangan yang disebut Pura JATI sebagai pertanda Sahnya Kahyangan Beliau agar dijadikan sungsungan Peduduk Bali, sebagai hakekat bahwa kelak apabila ada orang melaksanakan Upacara berkenaan dengan Upacara para Bhatara (mehayu Bhatar) dan hendak memohon Tirta Kamandalu, Keturunanku yang telah menghayati AJI PURANA, diperkenankan melaksanakan Widhi Wedananya untuk memuja dan memohon kehadapan Bhatari Gangga. Itulah sebabnya pura tersebut disebut/bernama PURA JATI. Sebagai bukti bahwa mereka benar-benar telah menghaturkan PEJATI (18). Adapun saji-saji yang berkeanan dengan Upacara di Pura Jati antara lain Suci Asoroh, Itik hitam Jambul, Telur sebagai perlengkapan Sucinya, Ketipat Kelanan, Ajuman, Canang Segehan, Pekelemnya (19) Itik Hitam Jambul, Hewan Hitam Daksina, sesuai dengan Upacara yang sedrhana( Nista) menengah ( madya) dan Utama.
61.a Apabila Upacara Utama, Uangnya berjumlah 700, madya 500, nista 425, lengkap, tidak boleh mengurangi sebab apabila mengurangi tidak akan menemukan hasil, demikian Upacara di PURA JATI. Mpu Jayamahireng bersrta Saudara-saudaranya dan anak-cucu serta Kompyang selesai sudah menghaturkan Upacara sesuai dengan petuah leluhur yang telah mencapai alam Sorga. Marilah tijau kembali Upacara yang disebut dengan Butha Yadnya dan Manca Walikrama, setelah selesai melaksanakan Manca Walikrama lalu menurunkan para Bhatara semua dan melaksanakan upacra ngenteg linggih, adapun hari pelaksanaantersebut pada hari Saniscar(sabtu)_, pon, Phang hari tanggal ping 13, sasih 10 rah 2 tenggek 1. tahun caka 112, yang bersamaan dengan Upacara di Besakih, Sejak itu penduduk agar menghormati para Sedaka.
Lebh-lebih pemegang Pemerintahan Cri Haji Dalem Tapohulung amat mengagumkan Wibawa Belaiu yang tak Ubahnya sebagai Penjelmaan Hyang Lahasija pada waktu masih Jejaka dan belum beristri. Para Bjangga Sanak Pitu yaitu Mpu Ketek, Mpu Kananda, Mpu Wirajnana, Mpu Withadarma, Mpu Ragarunting, Mpu Preteka, Mpu Dangka serta para Sisya semua diharapkan agar menghaturkan sembah dan Upacara Bhuta Yadnya berkenaan dengan Upacara di atas yang dimulai sejak sasih ke &, untuk kelengkapan Upacara Catur Muka Itik Putih Jambum, diolah winangun urip(20) selengkapnya disertai sebuah Suci, Itik Putih Jambul dandanan, Ketipat Kelanan tulung Urip ditempatakan di sanggah cucuk dilengkapi dengan berjenis-jenis binatang.
62a. Disebelah selatan dihaturkan anjing berwarna merah bermulut hitam. Dilengkapi sajen asoroh serta dandanan, ketupat kelanan, tuung urip ditempatkan pada sanggah cucuk lengkap dengan berjenis-jenis binatang arak, tuwak, sewakul beras, uang 250 atau gulung benang, sebutir telur sebuah Daksiana, Uang sejumlah 700, klabang meikuh, Sujang(21), Nasi merah lengkapa dengan sajiannya. Disebelah Barat Angsa diolah winangun Urip yang dikerjakan sesuai dengan mengolahan dahulu. Disebelah Utara anak Babi Jantan yang belum dikebiri diolah Wianngun Urip, Suci Asoroh yang juga dikerjakan sesuai dengan pengolahan terdahulu. Dibagian Tengan Binantang Lima warna diolah Winangun Urip, Suci Asoroh, lengkap dengan Binatang – Binatang lainnya seperti yang telah disebutkan terdahulu dan meguling pebangkit(22).
Sajian di Panggungan antara lain, Suci asoroh, Tumpeng Agung, Ghuru Piduka, sesayut Prayscita, sesayut sudamala, sesayut Pengamabian, sesayut Pebersihan, sesayut Byakawon, sesayut penapuh lara, sesayut Dirgayusa, sesayut Panca Bumi. Sajian di Sanggar Tawang sebuah Suci Pingit, Daksina Agung diletakan dihadapan orang yang akan melakukan Upacara, untuk upacara untuk Upacara Nista Uangnya berjumlah 4500, madya 8500sedangkan utnuk Utama 16000. pada sasih 8, dilaksanakan Upacara manca Walikrama. Saji-sajiannya yang disajikan pada Upacara ini antara lain,Kambing anjing berbulu merah multunya Hitam, anak babi jantan yang belum dikebiri, Angsa, itik Belang kalung, hewan lima ekor, (manca warna) yang masing-masing diolah Winangun Urip, dan masing-masing disertai pula dengan Suci asoroh lengkap dengan saji-sajiannya. Pada SANGGAR Tawang dihaturkan suci asoroh dan daging itik putih jambul, pada Panggungan Suci pawitra disertai tumpeng Agung, guru Piduka, Paneneng, Sesayut dirgayusa, sesayut pabersihan, Sesayut Sudamala, sesayut Byakala, Sesayut Sapuh Lara.
63a. Di bawahnya seekor guling pebangkit, utuh, Gayah, daging babi serta saji- sajian lainnya serta daging Babi anatar lain kakuwung, Gunting, lelet, asem, sate besar, pusut daun beringin, ambulu, surya, candra, nagasari, sudamala, gedong simpen, gedong sari, kacu, jejaringan, bangsula, dilengkapi dengan sajian serta Daksina. Demikian tatacaranya dahulu dan apabila hal ini belum jelas dapat ditanyakan kehadapan sang Brahmana tidak melebihi mengurangi, pada waktu tiba saatnya sasih ke sangga(9), dilaksanakan Upacara Ahya Brahma, dilengkapi dengan jenis-jennis binatang daging Kerbau, yang diolah Winangun Urip, Sapi, Kambing, Anjing hitam, anaknya babi jantan ( kucit butuhan) Harimau, Angsa, Itik Blangbungkam, hewan 5 ekor yang warnanya berbeda-beda, disertai sajiannya masing-masing yaitu suci asoroh, binantang, Gayah agung,
mapring, sanggah Tutuan, Pring tersebut dilengkapi Suci asoroh, dagingnya daging Itik Hitam lengkap dengan sajian pada Gayah, sajian pada Panggungan agung sajian Catur dilengkapi sajian Catur selengkapnya, Pada sanggar Tawang Suci Putih, meladha putih, lengkap dengan segala mentah, Rah, eng(23) serta daksina Nista madya utama. selanjutnya pada waktu menurunkan Bhatara semua Upacara sajiannya serba suci yaitu masing-masing suci asoroh, dengan sajiannya lengkap dan tidak boleh menguranginya, adapun pengaturan saji wedana, dibagian bawah dilaksanakan sesuai dengan tatacara melaksanakan pengenteg Linggih. Dipanggungan menghaturkan sajian catur sesuai dengan yang telah dijelaskan didepan dan disucikan oleh Brahmana. Ketika tiba saatnya tilem kedasa, mereka mengadakan upacara piodalann setiap tahun.
64a. Demikia ceriteranya dahulu. Kini selsailah sudah upacra karya tersebut. Tidak terkatakan hidangan yang disuguhkan kehadapan para tamu sebab semuanya tidak ada kekurangan makanan atuapun minuman. Panjang apablia hendak menceriterakannya. Kemudian pulanglah para tamu kerumahnya masing-maasing. Upacara diatas sasih 7 samapi sasih kedasa(10). Demikian ceriteranya setelah beberapa lamanya Bhujangga Bali itupun makin bertamabah lanjut usianya.Mpu Jayamahireng, Mpu Panorajon, Mpu Tarunan, serta para Mpu anak Sisyanya yang sudah genap tiga turunan bertambah Tua. Semuanya telah mengecap kebahagiaan yang tak usah dibicarakan lagi. Kini diceriterakan mereka yang sedang ditinggalkan yaitu Sang Tarunan dan Sang Badengan, Sang Wreksa Ireng memperistri Ni Ayu Reka anak Sang Kayu Ireng yang bernama Sang Togog Ireng memperistri anak sang Panorajon yang putranya bernama Ni Rojani. Sang Panorajon yang putranya bernama pula sang Panarajon mengambil (anak) sang Tarunan yang bernama Ni nelem /sanak sang Tarunan yang kedua, bernama Twed Ireng memperistri anak sang kayu Panarajon, yang bernama ni Nelem dan dimadu Ni Cemeng sang kayu ireng, sang Dryakah anak sang kayu Ireng berumah tangga dengan ni Ayu Ireng. Anak sang Tarunan yang bernama sang badengan diambil oleh sang Ireng, mereka semuanya telah melahirkan keturunan anak beranak bercucu, berbuyut, mancangah, mewareng serta maijengan.
65a. Diceriterakan mereka itu semuanya amat bakti terhadap ataupun terhadap Kahyangan mereka selalu taat melkasnakan upacara piodalan Bhatara maupun leluhur tiap tahun. Ada pula petuah mereka kepada seluruh keturunannya sesuai dengan petuah leluhur dahulu agar tidak memlalaikan Titi Gegaduhan, memperbaiki Kahyangan Bersujud kehadapan leluhur, kelak apabila mereka bertempat tinggal berjauhan mereka harus selalu ingat dan mewarisi sampai seterusnya. Apabila mereka lupa dan tidak mengetahui leluhurnya mereka akan kena kutukan Sang Hyang tri purusa lebih-lebih kutukan leluhur. Demikmian Ceriteranya.
Babad Pasek Kayu Selem
Dan Babad ini berasal dari Desa Songan Kintamani,
yang kemudian ditulis dan disusun kedalam Hurup Lathin
Oleh Bapak Wayan Pasek dari Gianyar.
Selanjutnya diKomputerisasi Oleh Jro Mangku Djaman,ST
Ditranskrip kedalam Hurup Latin
Bulan September 2009. di Grya Agung Buana Murti.
Jl.Ngurah Rai, Gg XX, No. 9X Br.Pande Blahbatuh Gianyar,Bali
TERJEMAHAN
1a Pada bagian pertama lembaran ini kamisampaikan kehadapan Pembaca Transkrip Babad Pasek Kayu Selem yang salin dan kutip dari Gedong Kirtya Singaraja. Kami menyampaikan terjemahan ini sesuai dengan kemampuan yang ada pada kami, tentu banyak hal-hal yang kurang sempurna, karenanya dengan segala kerendahan hati yang terdalam kami penulis mohon maaf berharap agar Pembaca yang budiman dapat memakluminya. Semua yang kami lakukan ini hanya atas dasar dorongan keyakinan rasa hormat kami kehadapan Hyang Perama Kawi dengan mengenang dan melaksanakan apa yang telah ditetapkan didalam Babad Pasek Kayu Selem,yang merupakan Bhisama Ida Bhatara Kawitan ( Bisama Ida Bhatara ) Mpu Semeru kepada Ida Bhatara Mpu Kamareka) yang diteruskan kepada Putra – Putra Beliau ( Ida Mpu Ghnijaya Mahireng, Ida Mpu Kaywan, Ida Mpu Trunyan, Ida Mpu Badengan ).yang menurunkan warga ki Arrya Pasek Kayu Selem, atau Warga Pasek Kayu Selem, yang tersebar di selurh Dunia.
Agar lebih jelas kami persilakan pembaca yang budiman untuk membaca dan meneliti hubungan Antara kata dan kata, dan Antara kalimat kekalimat selanjutnya, agar dapat dijadikan bahan kajian terhadap keberdaan Ida Bhatara Kawitan sehingga dapat dijadikan pegangan didalam melaksanakan kewajiba-kewajiban yang mesti dilaksanakan oleh para pretisentananya, demi tercapainya Moksartham Jagadita, bahagia, Selamat seluruh sanak keluarga tanpa adanya rintangan-rintangan yang berarti.
1b. Semoga tidak terhalang//0// Permohonan ampun hamba kehadapan para Bhatara Bhatari, wahai Sang hyang Pacupati yang bersemayam di alam Sunyata, berkedudukan di Gunung Jambudwipa. Hamba mohon ampun kehadapan Bhatara Bhatari semua dengan puja dan doa tinggiberupa sari Ongkara, dari lubuk hati yang suci dan kehadapan para Yogi yang telah memproleh anugrah untuk menceritakan yang telah tiada. Semoga terhindar dari segala kutukan dri Bhatara Bhatari, semoga, 3x, sempurna sampai seluruh keluarga dan keturunan mendapat kesejahtraan selama berada di alam maya pada //0//
Tersebutlah pada Djaman dahulu seorang maya tidak terhingga kesaktiannya, berwujud buas, bertaring, amat tajam sebagai senjata,
2a. selalu membunuh dan tidak ubahnya seperti sifat raksasa, loba, tamak, sombong dan bodoh, menghina agama, durhaka pada kebajikan, dicelanya semua ajaran filsafat kebajikan yang tela ada, segala dapat kebiasaan dimasa lampau. Itulah sebabnya ia dibunuh, dikejar serta dianiaya oleh Bhatara Indra. Setelah musnah ia yang penuh dosa, ia kembali kea lam sorga, entah berapa lama telah berlalu kembali ia diperintahkan oleh hyang Bhatar menjelma di dunia dan diberi anugrah agar menjelma berwujud laki perempuan. Oleh karena itu penjelmaannya dibungkus ke dalam selundang kelapa, dibelah dengan sebilah pedang. Setelah diupacarai dan disucikan oleh para pertapa di Tolangkir, kemudian diperintahkan oleh hyang Pacupati agar memerintah kerajaan Bali, menjadi seorang Raja. Beliau tetap dihormati karena dirinya dinobatkan menjadi Raja di Bali. Dan diberi Gelar Cri Haji Masula Masuli, yang diperintahkan kawin dengan adiknya. Tidak terkatakan betapa sejahtra seluruh kerajaan di Bali semenjak kehadiran beliau disini. Entah berapa lama beliau dihormati silih berganti, setelah tiba saatnya beliau lalu Moksa, kembali kembali kealam Sunyata. Demikian ceritakan pada Usana //0//.
b.Diceritakan bahwa Bhatara hyang Pacupati di Gunung Mahameru merasa amat prihatin melihat bumi Bali dan Seleparang (pulau Lombok), pada Djaman kumalencong, yang tak ubahnya sebagai perahu senantiasa beradu pulau Bali dengan Seleparang //0// pada Djaman dahul sebabnya di Bali terdapatnya empat buah gunung yang disebut gunung catur loka phala, ( keempat arah mata angina), yaitu pada sebelah timur Gunung Lempuhyang, di sebel;ah selatan Gunung Andaksa, di sebelah barat Gunung watukaru, beserta gunung Bratan, disebelah utara Gunung Mangu yang berdekatan dengan Gunung Tulukbiyu. Itulah sebabnya Hyang Ari Bhawana (Bhatara Wisnu) membatasinya Pulau Bali tatkala Bali mengalami kegoncangan. Hal ini pula menyebabkan hyang Pacupati membongkar kaki Gunung mahameru untuk diturunkan di pulau Bali serta seleparang.
3a. Ki Badawang Nala diperintahkan sebagai dasr Gunung, Naga Bhasukih sebagai pengikat Gunung mahameru, sang Taksaka diperintahkan menerbangkan Gunung tersebut, Banyak kejadian yang etlah terjadi apabila kita hendak menuturkan pada waktu dilaksanakan pemindahan Gunung Mahameru, adapun pemindahan Gunung itu, dilaksanakan pada (kala) Weraspati( kamis) kaliwon. Tepatnya pada bulan gelap ( tilem) 1, tenggek, 1, caka 00, pada waktu itulah awal mula cerita pulau Bali, rah 0, tenggek 0, demikian ceritanya//00//.Lama kelamaan pada waktu tiba saatnya umur dunia yaitu pada hari ciwa kawya, 2, permulaan tolu,3, bulannya Purnama, hari 15, tenggek 7, 070, 70, umur, dunia kembali terjadi hujan lebat, angina rebut, disertai letusan, petir, halilintar, bergetar dan goyang seluruh dunia dua bulan lamanya hujan lebat.
Kemudian gunung Tolangkir (Gunung Agung)meletus, dan keluaralah welirang. Demikian ceritanya dahulu. //0//. Setelah beberapa lama pada hari ciwakuje, wuku prangbakat, bulan 6, purnama, hari 13, rah 3, 15 tengek 1, caka ghni bhudara(310), umur dunia waktu itu, kembali GunungTolangkir meletus. Keluarlah Bhatar Putarjaya, disertai Bhatari dewi Danu yang bersemayam di Ulun Danu di tampurhyang, ( Gunung Batur), Bhatar hyang Putrajaya bersemayam di Basukih merupakan pusat (hulu) kerajaan Gelgel. Pada waktu itu diikuti pula oleh Bhatara Brahma yang bergelar Hyang Ghnijaya, dan bersemayam di Gunung Lempuhyang. Demikian ceritanya dahulu, //0//.
4a Sekarang dengarkanlah ceritannya dahulu pada waktu hyang Bhatara bertiga datang di pulau bali atas perintah Bhatara Hyang Jagatkarana, bersabda Bhatara hyang jagatkarana, wahai anaku hyang bertiga, Mahadewa, ni Danuh, Ghnijaya, sekarang anaku agar turun ke pulau bali sebagai penegak dunia, sebabpulau Bali sunyi senyap, agar dijadikan sungsungan di dunia seterusnya. Demikian Sabda Bhatara kasuhun, Bhatara bertigpun menghormat dan berkata,’ daulat ayahnda, bukan maksud anaknda hendak menolak perintah Bhatara( Ayahnda). Adapun sebabnya anaknda masih kecil serta benar anaknda tidak mengetahui kemana jalanya. Sabda bhatara, wahai anaku bertiga janganlah ragu-ragu,aku akan menganugrahimu anakku, oleh karena kamu benar-benar anaku terimalah anugrhakuini tetapi jangan engkau melalalikan “. Bhatara bertiga pun menyembah serta menghjormat kehadpan ayahnda sebabtelah diresapkannya anugrah tersebut(tatwa ajnana).banyak ceritanyaapabila kita ingin menguraikan.
Setelah Bhatara bertiga berbakti, lalu digaibkanke dalam kelapa gading, oleh karena perjalanan dibawah laut, maka segera beliau sampai di Besakih. Itulah sebabnya beliau bersemayam di Besakih.demikian disebutkan asal mula kehadiran Bhatara dalam usana //0//. Tersebutlah Bhatari Danu bersemayam di ulun danu yang dahulun disebut Tampurhyang, sedangkan Bhatara hyang ghnijaya bersemayam di Gunung Lempuhyang, demikian ceritanya//0// pada waktu itu disebutkan pula para Putra hyang pacupati lainnya diperintahkan turun ke bali, menyertai Bhatara Putrajaya agar disungsung penduduk Bali. Putra-putra beliau, Bhatara Tumuwuh bersemayam di gunung watu karu, Bhatara hyang Manik kumayang bersemayam di Gunung bratan,Hyang Manik Galang bersemayam di Pejeng, serta Bhatara hyang tugu bersemayam di Gunung Andakasa,
5a. semua beryoga semadi dan tidak terkatakan betapa tekun para Bhatara di tempat masing-masing, demikian cerita para Bhatara yang berkahyangan di Bali.
Jangan lalai sebab sudah dicatat oleh Dwijendra Wawu dateng pada waktu Beliau berada di Samprangan //0//.
Entah berapa lama tiba saatnya ciwakuje4, wuku julungwangi, bulan tatkala bulan menuju keutara, bulan kedua, hari purnama, 310. 181, pirpajadma 18, diseluruh dunia terjadi hujan lebat yang disebabkan oleh semadi Bhatara Ghnijaya bersama-sama Bhatara Mahadewa, dunia bergetar, GunungTolangkir meletus, mengeluarkan banjir lahar yang dasyat, itulah sebabnya ada sungai bernama suingai lwah ghni pada dewasa ini//0//.
Selanjutnya dari yoga semadi Bhatara Ghnijaya lainnya yang keluar dari pemujaan lima kekuatan (pancabayu) segera melahirkan 5 orang putra laki-laki yang tampan dan sempurna. Pada waktu kelahiran mereka semuanya beralaskan daun gedang kaikik, putra beliau tertua bernama Sang Brahmana Pandita, Putra yang kedua bernama Mpu mahameru, putra ketiga bernama Mpu gana, putra keempat bernama Mpu Kuturan, serta adiknya paling kecil Mpu Pradah, semuanya telah menjadi Wiku semenjak beliau masih kecil, semuanya melaksanakan serta mengukuhkan kebenaran utama, mereka kembalike Gunung Mahameru, dan melaksanakan yoga semadi dengan tekunnya, banyak ceritanya apabila kita ingin menceritakan, namun baiklah hentikan untuk sementaraseba mereka sudah amat teguh melaksanakan yoganya//0//.
6a. Marilah ceritakan kembali yoga semadi hyang Mahadewa dikaki Gunung Tolangkir, telah melahirkan 2 Orang putra yang berbeda, laki perempuan,Putra Beliau yang laki bernama Bhatar Ghana, adik perempuannya bernama Manik Ghni yang tidak terhingga betapa cantiknya. Beliau diperintahkan bhatar kembali ke Gunung semeru untuk beryga semadi memenuhi kehendak hyang Pramesti Guru, entah berapa tahun lamanya setelah selesai yoga beliau di gunung semeru kemudian bhatari hyang manik Ghni diperistrioleh sang Brahmana Pandita, ketika telah dilangsungkan perkawinan sang Brahman Pandita dengan Bhatari hyang manik Ghnni, nama beliau Sang Brahman Panditadiganti namanya menjadi Mpu Ghnijaya, hamper sama dengan nama Bhatara Kasuhun ( Bhatara Hyang Ghnijaya).demikian cerita yang dimuat dalam usana//0//.Bhatara Putrajaya bertukar pikiran dengan Bhatar hyang Ghnijaya dan Bhatara Catur Purusa di kaki gunung Tolangkir.adapun yang diperbincangkan tidak lain mengenai keadaan pulau Bali yang masih senyap.
tidak aada seorang manusia,tidak aada yang menyungsung kahyangan di pulau Bali, oleh karena ituPutrajaya bersama-sama Bhatara hyang Ghnijaya serta Bhatara Catur Purusa yang bersemayam di Bali berangkat ke Jambudwipa menghadap Bhatara hyang Pacupati. Perjalan beliau tidak diceritakan, akhirnya sampai di Gunung jambudwipa Beliau segera menghadap Bhatara, menunduk serta menghormat kepada Hyang Mahasuci. Setelah paduka hyang Mahasuci melihat lalu bertanya kepadanya apa sebab mereka dating menghadap, sabda Bhatara, anakku kamu Putrajaya, Ghnijaya serta anak-anaku semua, apakah sebabnya anaknda seolah tergesa-gesa, menghadap kehadapan ayahnda dengan wajah bersedih ? seandainya boleh katakanlah segera kepada ayahnda .
7a. Menjawab para bhatara yang bersemayam di Bali sambil mengucapkan mantra suci dan penghormatan, katanya, daulat Paduka Bhatara, adapaun sebab anaknda datangmenghadap duli paduka Bhatara tidak lain oleh karena amat sunyi senyap di pulau Bali, tidak ada seseorang manusiapun yng memuja anaknda, yah seandainya patut dan Paduka Bhatara berkenan segeralah anugrahkan kepada anaknda ciptakanlah manusia agar ada yang memuja kahyangan di Bali. Demikian lah maksud anaknda semua. Menjawab Paduka Bhatara Pacupati disertai mantra sucinya, wakyang cucyajnana tirtam, sanmata stute paranam dharmacce sidirastu namostutam. Wahai anaku semua andaikan demikian, janganlah khawatir ayahnda tidak akan membiarkannya.
Terimalah anugrahku ini semoga berhasil segala kehendakanaknda, begitu pula saudaramu Ludra, Brahma, Icwara, Wisnu, mahadewa, tetapi tunggulah dahulu ayanhnda di pulau Bali. Bhatara Putrajaya menghormat diikuti Bhatara hyang Ghnijaya, Bhatara Catur purusa, menghaturkan pujaan kedamaian serta pujian, bergema suara genta sebagai kumbang mengisap sari suaranya, lalu mereka mohon diri ke pulau Bali.tidak diceritakan dalam perjalanan sebab semuanya sudah suci, mereka segera tiba di pulau Bali dan turun di Besakih, tidsak terkatakan betapa suka cita hati mereka, sebab telah terkabulkan kehendaknya. Pergilah mereka ke kahyangan masing-masing. Baiklah hentikan situasi di Bali dahulu //0//.
8a. Paramecwaram wasite, umaram madya balyangan dharppe dewacca paranam Bhacwaram maha pawitram, diceritakan Bhatara Hyang Pramesti guru turun ke Bali dikuti oleh para dewata semua, pra rsi ghana, Dewa sanga serta seluruh yang ada di Sorga, semua mengantarkan Bhatara turun ke Bali, Bhatar Pramacwara mempergunakan Padma manik anglayang diapit payung, umbul-umbul bergema suara genta serta doa pujian yang dibarengihujan bunga dari angkasa, angkasa langit gelap waktu itu disertai dentuman. Sedangkan para Bhatara lainnya berbeda-beda kendaraannya sebabsemua gembira mengantarkan Bhatara Pramesti guru di angkasa.banyak kalau kendak menceritakan nya. Segera mereka tiba di Tolangkir, di jemput oleh Bhatar Putrajaya, Bhatara Ghnijaya lebih –lebih Bhatar Catur purusa disertai pujian dan penghormatan, jaya-jaya kretam
menjemput kedatangan Bhatara , semua para Bhatara lainnya yang telah berkumpul di kahyangan Tolangkir, sabda Bhatara hyang Pramesti Guru, wahai anakku para dewa semua sekarang marilah kita siap-siap beryoga agar segera terkabulkan menciptakan Manusia yang kita gaibkan bersama, para dewa menjawab serempak menuruti kehendak Bhatara. Semuanya digaibkan, menghilang dan menyusup ke ciwa garba, sabda Bhatar, Hai anakku Icwara, anaku berdiam pada kulit, hyang Brahma pada otot, hyang Wisnu di dalam daging, hyang Mahadewa berdiam pada sumsum, dan anak-anaku berdua Sangkara dan Ludra berdiam pada buah pinggang, akhirnya setelah semua beryoga dengan tekunnya dihadapan api pedupan tungkudan sebagainya dengan harapan agar segera terciptanya Manusia, Hyang Basundari ( tanah) dibentuk agar menjelma manjadi Manusia.
9a. Tiba-tiba datanglah BhataraYamadipati berwujud anjing hitam, tidak henti-hentinya mengganggu yoga semadi para Bhatar seraya tak putus-putusnya berkata,”Hai hyang Bhatara sekarang paduka Bhatar berkehendak menciptakan manusia dari tabah itu, aku menjadi sangsi, mustail akan menjadi Manusia, andaikan benar tanah tersebut menjadi Manusia, aku akan bersumpah dan sanggup makan kotoran manusia itu, Bhatar menjawab, apa katamu hai anjing( keturunan Bhregu)besar nian kesanggupanmuterhadapku, sekarang dengarkanlah baik-baik andaikan tidak tercipta menjadi manusia, aku ini bukanlah dewa dari segala dewa, patut aku ditenggelamkan je dalam kotoran , amat sengit perdebatan mereka apabiladiceritakan. Bhatara Pramesti Guru dengan tekun menyatukan kekuatan pikirannyaberkobar api dalam perasapan, menjulang asapnya.akhirnya sesudah tercipta muka manusia itu tiba-tiba patah manusia ciptaannya.
b.Disaat itu sang anjing pun menyalak suaranya kong-…kong…..kong.kembali Bhatar beryoga, patah pula Manusia ciptaannya, kembali sang anjing menylak suaranya kong…..kong……kong.Bhatara kembali beryoga, patah kembali manusia ciptaannya.tidak henti-hentinya sang anjing menyalak king..king melengking suaranya. Kiranya telah lima kali Bhatar Berusaha menciptakan Manusia, selalupatah ciptaannya, Paduka Bhatar amat malu(jengah)hatinya sebab dikalahkan oleh sang anjing, Paduka Bhatar kembali mengeluarkan keakhliannya, berbadan triloka (tiga dunia) berkobarlah api perasapan tersebut, seluruh dunia bergetar, sanghyang amerta air suci keluar serta terciptalah manusia itu. Pada saat itu tercengang hati sang anjing, takjub melihat manusia ciptaan Bhatara. Bhatara pramesti Guru bersabda, Hai anjing sekarang benar-benar kamu sudah kalah, siap-siap dan ingatlah kata-katamu dahulu semoga berhasil, ,
10a. Supaya mulai dari sekarang sampai seterusnya anjing harus memakan kotoran manusia. Amat Malu anjing tresebut menerima kutukan Bhatar, diam tanpa menjawab sepatah katapun. Itulah sebabnya ia kembali pulang dengan muka sedih, mnyesali perbuatannya, dan berubah wujud menjadi Bhatar Yamadipati, tidak diceritakan dalam perjalannya, sampailah Bhatar Yamadipati diYamalokadisna ia berkata kepada seluruh bala tentara terutama kepada I Bhuta kalika, Hai kamu kalika serta paraa kingkara bala(rakyat Yama) semua kamu aku perintahkan turun ke dunia menggantikan diriku memakan kotoran manusia turun temurun, samapi seterusnya. Apa sebab demikian, tidak lain oleh karena aku kalah bertaruh dengan Bhatara Acintya suci,
Itulah sebabnya kamu semua aku perintahkan di Dnuia. Ada petuahku kelah apabila telah sampai ajalnya manusia tersebut pada saat itu engkau boleh bersama dengan saudara-saudaramu menyiksa Roh Manusia yang berbbuat tidak patut.demikian sabda Hyang Yamadipati, menunduk seluruh Kingkara bala sambil berpikir dalam hatinya, andaikata menolak tidak urung akan dimusnahkan, disiksa dan dianiaya. Itulah sebabnya Ki bhuta Kalika serta para Kingkara Bala menuruti perintah Bhatara Yamadipati //0//. Demikian diceritakan apa sebabnya anjing memakan kotoran manusia sampai sekarang //0//
Diceritakan kembali Yoga semadi Bhatar hyang Pramesti guru dalam menciptakan manusia dari serabut kelapagadng, lahirlah 2 orang manusia laki dan perempuan.
11a. Yang laki diberi nama Ketokpita sedangkan yang peremuan diberi nama i Jnar dan mereka dikawinkannya, berbahagialah mereka bersuami istri, sebab sudah menjadi kehendak Hyang. Lama kelamaan merekapun menurunkan keturunan tidak putus-putusnya laki maupun perempuan //0//. Selanjutnya kembali Bhatara beryoga untuk menciptakan manusia. Tidak terkatakan betapa tekunnya beliau bersemadi dihadapan dupa perasapan dan oleh karena keahlian Beliau akhirnya tercipta 2 orang manusia laki dan perempuan. Ciptaan beliau yang laki diberi nama ki abang sedangkan yang perempuan I Barak. Kini sudah dewasa semuanya merekan diupakarai dan dipersudarakan oleh Bhatara. Tidak terkatakan entah berapa lamanya mereka berumah tangga. Merekapun menurunkan keturunan laki-laki maupun perempuan//0// banyaklah apabila hendaka menceritakan keadaan Paduka Bhatara beryoga semadi dalam menciptakan manusia di tampurhyang sehingga amat banyak amnusia di Bali anak beranak
Oleh karena itu. Paduka Bhatara Pramesti Guru memerinthakan para Dewata agar turun ke pulau bali untuk mengajarkan apa yang harus dilaksanakan manusia ,lebih-lebihdalam membuat perlengkapan hidupnya, agar mereka dapat melaksanakan pekerjaan agar mereka mengetahui rasa lapar ataupun dahaga. Itulah sebabnya mereka bercocok tanak. Tersebutlah di Tampurhyang sebuah hutan rimba dijadikan sawah ataupun ladangoleh orang baiaga, pohon-pohon yang besar ditebang , dibakar dengan api, berkobar sinarnya dan asapnya mengepul ke angkasa. Pada waktu itu diceritakan ada sebuah pohon asam masih tertinggal sedikit karena telah ditebang pohonnya, pohon Twed itu kelihat berbentuk sebgai patung yang tak ubahnya seperti seorang dukuh sedang bersemadi layaknya. Demikian ceritanya dahulu, baiklah hentikan .
12. a. Diceritakan kembali I bang dan ibarak setelah lama bersuami istri, mereka pindah dan bertempat tinggal diepi danau, itulah sebabnya disebut desa abang. Mereka sudah pula menurunkan lima orang keturunan, yaitu 4/empat orang laki-laki dan seorang perempuan. Anaknya yang tertua diberi nama Ni. Lewih//0/. Selanjutnya dari perkawinan ki Pita dengan Ni jnar telah pula melahirkan dua orang anak dan perempuan yaitu yang laki bernama nuh Gading, sedang anaknya yang perempuan diberi nama ni Kuning. Ni puning diperistri oleh I Pita disebut makedengan ngad. Lama kelamaan semuanya menurunkan anak. Anaknya i Pita 3/tiga orang, seorang perempuan dasn dua orang laki-laki. Anaknya yang laki-laki bernama nuh gading dan yangkecilan bernama ki tanah Barak.
b. Ki Tanahbarak melahirkan 3/tiga orang anak, yaitu seorang laki dan 2/dua orang perempuan.anaknya yang tertua laki-laki bernama ki wayan Tampalon. Sedangkan anaknya yang perempuan bernama ni Loka dan ni Saloka. Semuanya masih bersudara sepupu, saling ambil serta saling sembah satu dengan yang lainnya. I nuh Gading kembali memperistri sepupunya yang bernama ni Loka. Sedangkan Ni Saloka diperistri oleh Ki gadingan, beranak 5.lima orang yaitu 2/dua orang permpuan dan 3/tiga orang laki-laki. Ni nuh gading beranak 4/empat orang yaitu 2 orang laki-laki dan 2/dua orang perempuan. Ki wayan Tampalon juga sudah mempunyai 5/lima orang anak yaitu : 3 orang laki-laki dan 2 orang perempuan. Akhirnya semuanya telah menurunkan keturunan, tidak putus-putusnya saling ambil mengambil terhadap misannya ataupun mindonnya. Adapun mata manusia pada wakitu semuanya hitam, tidak ada putihnyanya serta dapat berbicara dengan dewa.
13. a. Itulah asal mulanya manusia dapat mengerjakan sawah atau ladang yang disebut
ambabakin tegal, bercocok menanam bermacam-macam umbi-umbian, kacang-kacangan , padi gunung, dan biji-bijian. Tidak terkatakan betapa suburnya tanam-tanaman mereka lebih libih perkampungannya, tidak kekurangan makanan ataupun minuman sebab para dewa amat cinta mengajarkan manusia di dunia, demikian secirtanya. Pada waktu senja tak kala Bhtara kasuhun sedang berjala-jalan melihat keindahan sawah, ladang kubu, hutan serta gunung karena sudah berhasil tanam-tanaman mereka, serba subur, amat rapi dan teratur didesa itu, kemudian bhatar dilihat oleh orang Baliaga, maka segera mereka menghormati. Katanya yah Paduka Dewata hendak pergi kemana paduka sekarang. Bhatara menjawab,
Aku akan berjalan-jalan menikmati senja hari, hendak melihat tanam-tanman. Orang itupun berkata, yah andaikata demikian, hamba mempersembahkan isi kebun hamba yang
paduka kehendaki. Bhatara berdiam diri, tidak tiba-tiab percakapan mereka didengar oleh ki Blwan, tidak terhingga betapa sakit hatinya ki Balwan sehingga timbul amarahnya melihat manusia berkata kepada Bhatara sambil buang airki Balwan lalu menatap dan mnunjuk /menuding dan berkatadengan penuhn afsu, ih kamu manusia memang bebar kamu penjelmaan manusia tak berguna, amat hina dan kotor, pantas penjelmaan mu tidak karu-karuan, sungguh kamu tidak mengenal aturan. Dimaan kamu menemukan aturan menyapa bhatara sambil buang air?. Pantas kamu penjelmaan yang berasal dari tanah dikepal-kepal.
14.a Manusia itupun menjawab, ih apa Balwan, terlalu benar kata – katamu, mengungkap asal uslku, kamu benar-benar amat hina dina, berpura –pura mengetahui segala adat sopan santun, tidakkah engkau menyadari bahwa asal-usulmu dari kumatap-kumitip, sejenis setan yang dibungkus kotoran, ? dasra iri hati berpu-ura saleh, sedagkan hyang Bhatara tidak merasa tersinggung kepadaku.
Menjawab ki balwan,melotot merah matanya sebagai dperciki cahaya api sambil berkata, Ih.. oleh engkau menusia dungu semogalah engkau hina rupa, hna pikiran, semoga engkau menjadi orang desa sampai seterusnya atas dosamu merendahkan dewa. Demikian kutuknya disebabkan tidak tertahan betapa panasnya hati ki Balwan seraya menghibur Bhatar seoalah-olah mohon persetujuan Bhatara. Segeralah menoreh mata manusia itu dengan kapur disertai kutukan.
b Semoga kamu hai manusia, oleh karena curang terhadapku engkau tidak boleh melihat pra hyang semua sampai seterusnya, atas dosamu menyapa ku sambil buang air. Demikan sapaku diterima keturunanmu sampai seterusnya. Tetapi ada pula anugrahku kepadamu semua, seandainya engkau berkehendak menemui aku engkau akan dapat menemuiku apabila ajalmu telah sampai, itulah yang disebut niskal jati melihatku. Begitulah sabda Bhatara hyang Parama Wisesa, para manusiapun menuruti sambil menyembah serta pulang dengan berlinang air mata, menyesali perbuatannya. Demikian asal mula manusia di dunia tidak dapat melihat para dewa
15a. Diceritakan pada waktu Mnausia dalam perjalanan mereka bertemu dengan ki Balwan, lalu manusia itu berseru, Hai kamu Balwan, berbahagia aku bertemu di sini, aku bersumpah kepadamu bahwa mulai sekarang sampai seterusnya manusia akanmenjadi musuhmu seterusnya, turun temurun, tidak urung keturunanku akan membunuh keturunanmu, emnjawab ki Balwan, hai manusia, aku tidak menolak segala permintaanmu, baiklan kalau demikian, tetapi ada pula sumpahku kepadamu, bahwa kelak apabila keturunanku bertemu dengan keturunanmu pada waktu Kajeng Keliwon, pada waktu itu keturunanku berubah akan menjilat hulu hati serta mata kakinya, setiap yang kenan ditipu pada waktu menemukan lebih dahulu, itulah sebagai jalan keturunanmu menuju kematian, dibunuh oleh keturunannya. Menjawab manusia itu, baiklah kalu demikian.
sekarang marilah beritahukan kepada keturuna kita semua agar mereka semua mengetahui sumpahku kepadamu. Begitulah cerita asal-usul apa sebab ki Balwan dapat berganti rupa sesuai dengan tempat mereka berada seperti umpanya pada kayu warnanya akan berubah menyerupai warna dau kayu. Demikian ceritera termuat dalam usana. Baiklah dengarkan kembali yoga semadi Bhatara Brahma di Tampurhyang ketika diperintahkan Bhatara Pramesti Guru menciptakan ketenang, menciptakan Manusia agar ada Bhujangga di Bali. Terlihatlah Bhatara sebuah Tuwed yang telah terbakar seperti seorang DUKUH rupanya, Bhatara Berkehendak menyucikan dan akan diwujudkan menjadi Bhujangga di Bali. Kemudian datanglah Bhagawan Wiswakarma
keTampurhyang atas Undangan Bhatara Brahama. Disana paduka Bhatara memerintahkan Bhagawan Wiswakrma agar membentuk Tuwed tersebut segera berbentuk Manusia.
16a. Bhagwan Wiswakarma tidak menolak perintah Bhatara Brahma serta segera berangkat ke tempat twed. Ditempat itu Bhagwan Wiswakarma menyamar menjadi orang tani, berbacu kotor, berpayung kukusan serta membawa peralatan selengkapnya. Agar tidak diketahui orang. Setelah Bhagwan Wsiwakarma tiba di tempat twed tersebut segera diperbaiki dan disucikan, diwujudkan dalam bentuk patung. Tetapi tanpa disadari telah banyak orang yang datang untuk mengetahui dan melihat beliau/Bhagawan Wiswakarma bagaimana cara mengerjakannya. Tidak lama kemudian Togog itupun selesai berwujud seperti Manusia, tidak terkatakan betapa takjub orang-orang yang melihatnya. Kini telah diberikan kepada Bhatara Brahma bahwa twed tersebut telah diperbaiki dan
dihaluskan.amat sukacita Beliau sebab telah terpenuhi kehendaknya. Disamping itu Bhagwan Wiswakrma diperintahkan pula mengajarkan Manusia membuat bangunan (Ngundaginin) agar para manusia bisa membuat bangunan dikemudian hari. Patuh Bhagawan Wiswakarma diperintahkan. Segera beliau memberitahukan manusia bagaimana cara mengerjakannya. Panjang ceritanya bagaimana cara beliau mengajarkan manusia ngundaginin .kini dijelaaskan bahwa para menusia telah mengetahui bagaimana melaksanakan pekerjaan tersebut, demikian ceriteranya. Baiklah dengarkan kembali, Bhatara Indra pada waktu diutus Hyang Pramesti Guru turun ke Bali, menuju Tampurhyang untuk mengajarkan orang Baliaga bekerja agar mereka mengetahui bagaimana caranya pahat memahat (Asasanggingan) dan memperbaiki Togog Celagi. Tidaklah menolak Bhatara Indra diperintahkan lalu beliau mohon ijin berangkat menuju Tampurhyang, menjelma menjadi Sangging Prabangkara serta membawa peralatan perlengkapan pahat memahat. Tidak diceriterakan dalam perjalanan, sebab beliau sakti.
17a. Segera beliau sampai di Tampurhyang ditempat twed aasam yang telah diperbaiki Bhagwan Wiswakarma dahulu. Ketika beliau sampai disana lalu TOGOG tersebut diperbaiki agar benar-benar berwujud seperti Manusia. Amat indahnya TOGOG tersebut tidak ubahnya seperti penjelmaan Hyang Kama, tetapi amat disayangkan sebab belum bisa berkata-kata. Itulah sebabnya orang Baliaga amat terharu melihat rupa togog yang amat menarik hatinya( naut Manah) dan mata mereka tidak berkedip melihatnya. Setelah itu lalu Bhatara Indra mengajarkan Manusia diduni melaksanakan pahat memaha. Amat sukacita hati mereka setelah diajarkan. Dijelaskan sekarang setelah orang Baliaga bisa ngukir-mengukir maka kembalilah Hyang Indra ke Indraloka diceriterakan para Widyadara dan Widyadari diutus oleh Bhatara Ghuru turun ke Baliaga, berpura-pura berjualan keris serta membawa kain yang bagus-bagus dengan maksud agar bisa ditiru oleh orang Baliaga.. tidak diceriterakan dalam perjalan mereka telah sampai di Tampurhyang di tempat Togog itu berada. Lalu togog itu dihiasi, diberi baju, yaitu kain, destar, ikat pinggang, disispi keris diberi wangi-wangian sesuai dengan hiasan, cemerlang melelancingan (Widara Gumulung) sehingga makin bertambah gemerlapan cahayanya dan apabila diperhatikan yang tak ubahnya sebagai mantri agung didalam kidung-kidung. Kedipan kerling matanya demikian manis dan tidak disadqari bahwa itu hanyalah sebuah togo kayu. Setelah itu para Widyadara dan Widyadari kembali ke Sorga sambil mengajarkan orang-orrnag Bakiaga berjualan. Tidak diceriterakan dalam perjalanan, sampailah di Sorga loka. Demikianlah pekertinya.
18a. Dijelaskan orang Baliaga, laki perempuan semuanya. Riang egmabbira, siang dan malam tak henti-hentinya datang mewngunjungi, sedu sedan berlinang air mata sebab hanuyt dibawa perasaan yang tidak ubahnya seperti dalam seritera tatkala Cri kresna raja Dwarwati dihadap oleh para Rakyatnya. Hal inilah menyebabkan orang-orang Baliaga pada membungkuk(hormat) tanpa berkata sepatahpun dihadapan togog kayu. Mereka amat genmbira dan berkehendak akan menjadikan sungusngan. Maka timbulah niatnya sambil berkata, Wahai paduka Hyang Mona mudah-mudahanpaduka turun menjelma dan berbadan manusiasejati. Seandainaya paduka benar-benar- sudah menjelma,hamab semua akan berkaul, bersedia menghamba kepada paduka Hyang Mona dan akan hambajadikan sungsungan sampai seterusnya. Demikianlah pengharapan orang-orang Baliaga tidak henti-hentnya siangg ataupun malam hari. Begitulah ceriteranya, namun baikalah hentikan sejenak.
Marilah alihkan ceriterannya untuk menceriterakan Danawa Raja pada waktu diperintahkan Hyang Widhi Waca menjelma di Bali sebagai Raja, berwujud raksasa sakti, tetapi tidak mempunyai kahyanag sehingga Raj aBali dahulu bersemayam di Balingkang. Beliau bernama Detya Karnapati dan berabiseka Cri Haji Jayapangus, Beliau dipuja oleh penduduk Bali., Selama pemerintahannya pulau Bali amat aman sebab beliau tak ubahnya seperti Hyang PramestiGuru menjelma memerintah Dunia,. Tidak ada mara bahaya. Segala yang dibeli murah harganya, segla tanaman tumbuh dengan subur, segala penyakit menjauh disebabkan penduduk Bali masih sedikit dan hanya bru dapat mengerjakan ladang di pedesaan saja. Entah berapa lam beliau Cri Haji Jayapangus mememrintah di Balingkang, dipuja oleh penduduk Baliaga, beliaupun moksa kembali ke Alam Sunyata.
19a. Sepeninggal Cri Haji Karnapati,, pulau Bali kembali manjadi sunyi lengang seperti semula sebab sasan (tatasusila) telah lenyap. demikian diceritakan pada jaman dahulu.
Sekarang marilah ceriterakan pada waktu Bhatara Brahma dan Bhatara Wisnu di perintahkan oleh Bhatara Pramesti Guru menciptakan manusia di P Bali dengan harapan agar dapat diikuti sesananya dimasa mendatang. Bhatara berdua yaitu Brahma, Wisnu tidak menolak diperintahkan, beliau enghormat, mohon diri kehadapan Bhatara yang disambut do’a Pujian serta hujan bunga. Bhatara berduapun berangkat meninggalkannya. Oleh karena cepat jalannya beliau segera tiba di Tampurhyang beliau beryoga, dengan tekun dihadapan dupa perasapan. Dari penyatuan pikiran Beliau ( sidyajnana) keluar lima orang laki-laki amat sempurna. yang pada waktu merninggalnya dianugrahkan gagaduhan sebagai berikut :
Penjelmaan yang tertua, pada waktu meninggalnya diperkenankan mebale bambu tidak diperkenankan mempergunakan kayu, Papiriingannya pupug, tidak diperkenankan beralaskan api (baha), manah Toya(mencari air Suci), medamar kurung, sebab mereka disebut Wong Pamesan. (Bade) kayu, matumpang salu, menek saput, mangle tetapi tidak diperkenankan beralaskan api (baha), lebih-lebih memanah Toya sebab mereka disebut Wong juru Ebat, anyanyagal ( tukang Potong), Mmanusa Juru Tegel (pikul) penjelmaan ketiga pada waktu meninggalnya diperkenankan mabya tanem ( menguburkan), tidak diperkenankan membakar serta memanah Toya, medamar kurung, sebab mereka disebut Wong Tani dusun.
20a. Selanjutnya yang keempat diperkenankan kipula wisuda (naik tingakt), memepergunakan Wadah( Bade) Warna, Mangle, kapas, memanah Toya. Beralaskan api(baha), sebab disebut pamekel singgih. Kemudian yang paling kecil diperkenankan menjadi satrya yang pada waktu meninggalnya diperkenankan meperpgunakan wadah (Bade) , lembu, beralaskan api (baha), memale salunglung, memanah Toya, damar kurung serta seluruh tata upacra kesatrya, Demikian konon ceriteranya. Mereka pun menurunkan keturunan anak beranak bercucu, berbuyut, mancngah, mawareng serta mahijengan. Diceriterakan Bhatara Brahma membuat berjenis perlengkapan alat kerperluan manusia. Bhatara Ciwa membuat bale papayon dengan maksud agar dapat ditiru mansuia,
dahulu pada waktu Beliau pergi ke gunung diringi oleh kelima orang manusia ciptaanya,ketika beliau berkehendak mencari bahan-bahan, tiba-tiba di tengah hutan dijumpainya Twed nangka, Bhatara kasihan melihat twed nangka itu lalu berhenti, diperbaikinya dan dibentuk manjadi manusia lengkap sebagai tata caranya. Twed Nangka itu kelihatan amat bagus dan sudah berwujud seperti werapsara. Selanjutnya setelah Togog Twed Nangka tersebut selesai, kembali Bhatara ke Sunyataya. Demikian seriteranya. Kemudian Bhatara Ciwa kembali bersemadi untuk menciptakan Manusia.dari tangan kana kirinya keluar manusia cakap sejumlah 199 orang yang disinari Bhatara Smara. Mereka dikawinkan semuanya. Namun diantara mereka itu masih tersisa seorang, tidak mempunyai suami, tidak mau dimadu, lalu pergi dari tempat itu,. Oleh karena tertekan perasaannya kecewa ia mengembara dan tidak henti-hentinya menagis sambil berkata(anulame) menyesali nasibnya.
21a. Ketika sampai ditengah hutan dijumpainya Tuwed Nangka yang telah berwujud sebagai manusia, amatlah senang hatinya perempuan itu melihat kebagusan Togog nangka yang tak ubahnya seperti apsara gana kelihatannya. Kerlingan matnya manis, benar-benar meanrik hatinya. Itulah sebabnya ia berkata dan bersumpah, wahai engkau togog yang berwujud sanghyang Mona, sungguh amat menarik hatiku dan telah menimbulkan cinta bhaktiku. Yah andaikata engkau menjelma menjadi manusia, aku bersedia menghamba padamu, akan aku jadikan suamisampai akhir hayatku, suka duka bersama-sama tidur, menikmati hidup bersuami istri, aku senantiasa melayanimu. Demikian katanya sambil dielus-elus togog Nangka itu. Serasa olehnya bahwa ia sudah bercumbu kasih dengannya dan tiba – tiba saja keluarlah spermanya pada waktu itu sebab sudah merupakan takdir Tuhan yang Maha Kuasa.
maka hamil namun ia tetap berkata dan berharap agar dikasihani hyang. Akhirnya datanglah Bhatara Brahma disertai Bhatara Smara, lalu Bhatar bersabda, hai kamu perempuan Baliaga dusun, bagaimana kehendak mu sekarang, hendak bersuami dengan togog, ?. menjawab perempuan dusu itu sambil menyembah,. Ya… Paduka Bhatara, hamba bersumpah, dihadapan paduka Bhatara sebab besar cinta hamba kepada togog ini. Seandainya paduka Bhatara berkenan, menyucikan togog ini menjelma menjadi Manusia hamba bersedia menjasi istrinya, menuruti kemana perginya sampai kelak. Bhatara mengabulkan sambil menjawab, hai kamu manusia andaikan demikian aku tidak akan melalaikanmu.
22a. Segera Bhatara beryoga, tidak lama kemudian benar-benar togog itu menjelma menjadi Manusiatampan. Tidak terkatakan betapa senang hati perempuan itu seolah-olah tidak didunia rasanya Segera diayunnya, dipangku dengan penuh nafsu gegritinan) dielus-elus sehingga hampir saja keluar spermanya sebab terasa seolah-olah telah dicekam luapan madu manis, lalu mencumbu dan merayunya. Tercengang Bhatara melihat tingkah laku perempuan itu lalu bersabda hao kamu manusia, amatlah tidak senonohmu sekarang terimalah kutukanku atas dosamu yang tidak tahu sopan santun, tergesa-gesa, gegritinan mengelus-elus dihadapanku,tidak tahu malu dan tidaak mengenal takut, semoga engkau selalu ribut dengan keluarha, tidak serasi dalam bersuami istri, karena engkau bersuami dengan Twed.
Selanjutnya apabila tiba saatnya lahir kandunganmu itu, semoga engkau melahirkan gumatap-gumitip(setan dan sejenisnya) sejumlah 275 dan menjadi musuh manusia di dunia. Selajutnya apabila engkau kembali melahirkan anak dengan Ki tawulan (togog) semoga engkau seterusnya bernama ki manggatewel seba berasal dari Twed Nangka . dimanapun keturnanmu berada agar tetap disebut ki Tewel . itulah sebabnya ada keturunan yang disebut ki Tewel. Panjanglah apabila hendak menceriterakan yoga semadi para Bhatara dalam menciptakan manusia yang telah menyebar di pulau Bali dan oleh karena berbeda penciptaan (asal-usulnya) maka pada waktu meninggal mempunyai tata cara dan upakara yang berbeda-beda. Demikian disebutkan disebutkan ceriteranya di masa lampau. Sekarang diceriterakan kembalai para putra Hyang Ghnijaya yang dahulu diperintahkan pergi ke jambudwipa untuk beryoga semadi.
23a. Oleh karena sudah masak yoganya, maka mereka di perintahkan oleh hyang Pacupati ke Bali untuk menghadap Bhatara Putrajaya di Tolangkir, serta Bhatara leluhur di Lempuhyang. Keberangkatan mereka berbeda-beda, mpu Ghnijaya yang dahulu bernama Brhamana Pandita diring oleh kedua adik Belaiau yaitu Mpu Ghana dan Mpu Kuturan, berangkat mempergunakan pedawu(jukung) dari kapu-kapu berlayarkan daun tehep. Tidak diceriterakan perjalanan Beliau karena cepatnya, maka tibalah beliau di Silayukti, sambil menghaturkan weda pujaan lalu menuju Besakih menghadap Bhatara Putrajaya. Sesampainya disana disana belaiau menghaturkan pujian dan menghormatan. Bergema suara gentanya tak ubahnya seperti kumbang mngeisap bunga, disertai hujan bunga oleh Bhatara.
banyak ceriteranya apabila menceriterakan semadi beliau. Sesudah itu beliau segera kew gunung Lempuhyang menghadapa Bhatara leluhur, dan tidak lupa menghaturkan weda pujaan serta penghormatan kesucian pikirannya. Bergema suara genta tak ubahnya sebagai kumbang sedang mengisap sari bunga angsana disertai hujan bunga. Wangi-wangian dan mantra pujaan oleh Bhatara Leluhur karena besar cinta bhatara kepada Putra-putara beliau yang tumben menghadap. Panjang ceriteranya. Tidak lama setelah belaiu di Bali belioaupun kembali ke jawadwipa, pulang pergi, ke jawa maupun ke Bali . sampai disini ceritera para Mpu bertiga , kini diceriterakan kembali saudara beliau yang bernama Mpu Mahameru segera turun ke Bali menghadapa Bhatara berdua Sanhyang diTolangkir serta Hyang leluhur fi gunung Lempuhyang. Tidak diceriterakan perjalanan beliau oleh karena cepatnya.
24a. Belaiau tiba di Bali dan segera menuju desa Kuntulgladi di Tammpurhyang, di Tampurhyang Beliau beristrahat sebentar hendak mengambil Air untuk berkumur sebab beliau melihat air yang amat besihdan suci, kemudian beliau membersihkan diri, menyampaikan Dewa Pujaan di Danau, ketika telah selesai berkumur, tatkala beliau segera akan berangkat terlihat olehnya togog Tweed kayu asem yang bagus rupanya. Tercengang Mpu Mahameru melihatnya sebab togog tersebut tak ubahnya seperti apsara Ghana dalam ceritera. Iba hati sang maharsi melihat kenyataan Togog itu, seraya berpikikir dalam hatinya, oleh karena sudah takdir yang maha kuasa, lalu beliau beryoga menyatukan pikirannya dan akhirnya togog tersebut menjelma menjadi Manusia.terperanjat manusia Ciptaan it, tidak tahu apa yang harus diperbuat, lalu menyerahkan diri kepada sang maha resi serta berkata.
Wahai sabg Maharsi siapakah yang telah menaruh belas kasiahan kepada diri hamba?. Sehingga hamba menjelma menjadi manusia?. Sang mahares menjawab, tidak lain akulah
yang menjelmakanmu sehinga menjadi engkau berubah menjadi Manusia. Manusia Ciptaan itu menelungkup menyembah, memeluk dan mengelus kaki sang Maha Rsi.seraya berkata, Mpungku siapakah sebenarnya paduka ini?. Menjawab sang MahaRsi, aku dari JambudwipaPutra Bhatara Hyang Ghnijaya yang bersemayam di Gunung Lempuhyang di Karangasem (Adrikarang), Aku bernama Mpu Mahameru . berkata Manusia citaan kayu itu, Daulat Mpu Junjungan Hamba yang tak ubahnya sebagai amerta sajiwani (air suci) apakah yang harus hamba pergunakan membayar hutang hamba yang tak ubahnya seperti Bumi dan akasa ini?. Sekarang tuluskanlah belas kasihan Sang Maha Pandita, hamba mohon dibersihkan segala kekotoran diri hamba sehingga menjadi suci jiwa hamba seterusnya.
25a. Tidak lain permohonan hamba semoga Paduka berkenan memberikan hamba anugrah sehingga hamba dapat mengikuti jejak paduka. Sang Maha Rsi bersabda, tidaklah pastas aku menganugrahkan memberikan berkah sebab kamu ini tidaklah berasal dari manusia, tidak patut sanghyang Aji aku berikan kepadamu. Menetes air matakayureka seraya mengusap debu kaki Sang MahaRsi. Wahai Paduka Hyang junjungan Hamba, tidak lain hamba mohonkan kehadapan Paduka, kami mohon dengan sangat berkenan dan tulus asih paduka Bhatara kepada Hamba, sebaliknya apabila tidak ada belas kasihan Paduka untuk menganugrhkan Sanghyang Aji kepada hamba, lebih baik kembalikan hamba sebagai semula. Kembali menjadi kayu lagi. Apakan gunanya hamba dijadikan Manusia , tidak tahu casana dan selalu diejek(dibuat malu) ? demikian kata Manusia ciptaan kayu itu, Sang MahaRsi berdiam diri merasa terharu hatinya..
Tiba-tiba sinar matahari menjadi suram dibarengisabda dari Angkasa, Hai ananku Sang Pangempuan, janganlah demikian, anaku boleh mengajarkan Sanghyang Aji kepada Manusia kayu ciptaan anaku itu oleh karena anaku yang menciptakannya sehingga dia menjelma manjadi Manusia. Janganlah ragu-ragu anaku, aku memperkenankannya hai anaku. Sesudah itu Bhatara gaiblah. Termenung Mpu Mahameru, akhirnya sabda Sang Maha Pandyan, Anaku Kayureka, benarlah kamu ini berasal dari seorang dewa yang sesat berganti rupa menjadi togog, pantaslah engkau menjadi wong lawu(orang biasa). Sekarang marilah mendekat padaku, aku akan menganugrahimu kayureka, menghormat dan menyembah kaki Sang Adhiguru.
26a. Sabda Sang Mahayati, hai anaku Kayureka sekarang dengarkan petuahku, buka telingamu lebar-lebar, tetapi janganlah ribut serta meremehkannya sebab, Hayng Ongkara Mantra amat pingit(suci), terimalah anugrahku ini.semoga engkau senantiasa berhasil, tajam pikiranmu hai anaku kayureka, bagaimana kayureka, sudahkah engkau resapkan sanhyang Ongakra mantra, aksara yang ada dalam badan ataupun diluar badanmu?. Menjawab kayureka, yah sudah meresap ke dalam hati hamba, kembali kepada niskalajati. Kata sang adhiguru, anaku kayureka, andaikata demikian kini ada juga anugrahku. Oleh karena di Bali belum ada Bhujangga, anaku diperkenankan menjadi penuntun orang Baliaga, demikian intisari Aji Purana, begitu pula melakukan dewastawa. Janganlah ribut serta meremahkan sebab ilmu ini amat utama, anaku diperkenankan menjadi Bhuajngga orang Baliaga beserta keturnanamu selama tiga turnanan. Selanjutnya ada pula petuahku kepadamu, ingatlah jangan lupa,
Beritahu keturunanmu semua agar mereka semua mengingat asal-usul (kawitan) sampai seterusnya.kelak apabila ada keturunanku yang lahir dari kakaku Mpu Ghnijaya, ketrunanmu harus berada dipihak kirinya dan pada waktu meninggalnya patut engkau menyembah kepadanya. Tetapi keturunanku tidak patut menyembah keturunanmu sebab engkau aguru putra kepadaku, lagi pula kelahiranmu berbeda dengan kelahiranku.
Ingatlah petuahku apabila engkau lalai tidak urung akan menemukan bencana. Begitu pula hai anakku Kayureka oleh karena anakku sudah apodgala (disucikan) sekarang anakku bernama Mpu Bandesa Dryakah.sebab anakku berasal dari Twed pada mulanya. Kini anakku diperkenankan melaksanakan weda pujaan (weda astupungku) serta melakukan upacara pralina (Pengentas) tetapi yang boleh anakku entas adalah seluruh orang-orang baliaga.
27a. Mpu Dryakah tidak membantah sebab telah demikian sabda sang Adhiguru dan tidak boleh dilanggar. Selanjutnya Mpu Mahameru bersabda. Anakku Mpu Dryakah ada pula petuahku kepadamu. Kelak apabila anakku meninggal lalu disucikan (diupacarai) oleh keturunanmu, penyelesaian upakaranya tidak diperkenankan dilaksanakan oleh Brahmana, anakku cukup mohon(nuhur) dikahyangan saja sebab, asal-usul anakku bukanlah berasal dari Manusia. Andaikata keturunanmu sudah selesai melaksnakan Upakara(ngaben), diperkenankan pula melaksanakan Upakara Pitrayadnya tapi hanya tiga turunan batasnya. Jikalau sudah tiga turunan barulah sang Rsi Siwa Budha diperkenankan menyelesaikan Upakara tersebut. Ingatlah petuahku. Sampaikan pula kepada anak cucumu sebab amat berbahaya apabila kena kutukan Bhatara Lempuhyang. Demikian petuah Mpu Mahameru kepada Sisyanya, lalu Mpu Dryakah menghormat menuruti kehendak Mpu mahameru. Amat girang hati Mpu Dryakah menerima anugrah yang telah diberikan, tak ubahnya seperti amerta (air suci) yang telah menyusup ke dalam hatinya.
Banyak ceriteranya apabila menceriterakan pelajaran yang telah dianugrahkan Mpu Mahameru kepadanya karena telah luluh dijaga Sanghyang dharma. Selanjutnya diceriterakan kembali Mpu Mahameru bersabda kepada orang Baliaga semua yang disebut pula wangsa Bali Krama. Sabda Beliau, Hai kamu Manusia, oleh karena engkau berasal dari kelapa gading dan tidak berasal dari manusia, sekarang aku berkata kepadamu, kelak apabila engkau telah meninggal diupakarai oleh keturunanmu, engkau diperkenankan membakar Jasad. Selanjutnya setelah dibakar diperkenankan pula ditanam kembali, itulah yang disebut wangsa krama tambus dan patut angentas, menyelesaikannya tidak lain Bhujangga Mpu Bendesa Dryakah. Setelah diupakarai engaku diperkenankan melaksanakan Upakara Matres serta Matuwun.. demikian tata cara yang patut engkau laksanakan, janganlah melanggar. Apabila melanggar engkau akan kena kutukan Bhatara Lempuhyang.
28a. Perjalanan Roh Leluhurmu akan tersendat-sendat dan tidakakan menemukanjalanyang terang (sebenarnya). Begitu pula kamu Ki Barakan, ingatlah asal-usulmu dahulu, oleh karena engkau berasal dari tanah, beritahu juga kepada keturunanmu bahwa kelak apabila engkau telah meninggal engkau tidak boleh membakar jasad, engkau hanya diperkenankan menguburkan saja. Setelah Jasad dikubur, keesokan harinya Ngirim, yaitu diatas lubang kuburan dibuatkan orang-orangan dandisebut Abya Tanem. Apabila engkau hendak mengupakarainya, diperkenankan. Upakara tersebut disebut Matres dan Matuwun. Demikian tata cara upakara orang Baliaga dan Bhujangga yang patut melaksanakan Upakara ngentasnya tidak lain Mpu Bendesa Dryakah. Ingalah menentang sebab apabila menentang Bhatar Lempuhyang akan amat Murka danmengakibatkan tersendat-sendatnya Roh Leluhurmu, begitu pula apabila engkau berkata dengan Bhujanggamu Mpu Bandesa Dryakah engaku harus Majro Gede.
ingatlah jangan lupa sampai seterusnya Beritahukanlah kepada keturunanmu masing-masing. Demikian sabda Mpu Mahameru kepada seluruh orang Baliaga, mereka tidak menolak perintah Dang Ghuru. Kembali Mpu Mahameru berkata kepada Mpu Dryakah,
anakku Mpu Dryakahsekarang engkau boleh menjadi Bhagwan. Kemarilah aku akan membaptismu(tapak) Mpu Dryakah mendekat kehadapan sang maharsi dan setelah dibaptis, beliau menjilat telapak kaki Sang Adhighuru. Kini ada pula anugrah PAWISIK pada telinga serta bibir diamlah, sebab sanghyang Ongkara Mantra harus dipingitka, sabda Sang Mpu Mahameru, anakku Mpu Dryakah sudahkah terdengar olehmu ?. Yah Paduka Bhatara, semua telah meresap di hati hamba.
29a. Anakku Mpu Dryakah, sekarang nama anakku akan kuganti. Kini anakku bernama Mpu Kamareka. Sebab para hyang dahulu telah mersti abinagawan. Ingatlah baik-baik, sekarang ayahnda akan meninggalkan anakku menghadap Paduka Bhatara di Tolangkir dan Gunung Lempuhyang. Mpu Kamareka mendekat menghaturkan bhakti sambil mengelus kaki Dang Ghuru sebab demikian tata cara bhakti seorang murid kepada Dangn Ghuru. Demikian asal mula timbulnya Bhujangga di Bali jaman dahulu. Diceriterakan kembali setelahMpu Mahameru meninggalkan Tampurhyang, menyusuri gunung Tulukbyu tanpa mendapat rintangan, maka tibalah beliau di Besakih. Sesampainya di sana segera Bliau menghaturkan weda pujaan. Bergema suara gentanya tak ubahnya sebagai kumbang sedang mengisap bunga. Segera pula beliau menghaturkan penghormatan, gelaplah diangkasa karena ditaburi hujan bunga serta do’a pujaan Bhatara.
keluarlah Bhatara Putarjaya dihadap Mpu Mahameru.tidak diceriterakan pembicaraan beliau sebab beliau brdua telah mahasuci, akhirnya Mpu Mahameru mohon diri dari Besakih akan menghadap Bhatara Leluhur di gunung Lempuhyang. Tidak diceriterakan dlam perjalan oleh karena cepatnya, sampailah Bliau di Lempuhyang. Setibanya disana segera menghaturkan weda pujaan serta menghormat. Bergema suara Genta dihadapan api perasapan, asap api pedupaan memumbung sampai ke angkasa dibarengi hujan bunga serta doa pujaan. Gelap sebentar dan keluarlah Bhtara Hyang Ghnijaya dari angksa dihadap sang muniwara. Tidak kuas kita menceriterakan percakapanbeliau berdua disebabkan besar cnta Bhatara Ghnijaya kepada putranya. Demikian ceriteranya. Entah berapa lama sang maharsi berada diBali menghadap Bhatara Tri Purusa. Tolangki, lempuhyang danUlun danu.
30a. Maka sang maharsi dengan dibantu orang-orang Baliaga, terutama Mpu Kamareka, membangun Khayangan di Bali. Tidak terkatakan betapa indahnya khayangan Bhatara tiga sehingga sampai sekarang kita mengenal sad Kahyangan di Besakih, Lempuhyang, Ulun Danu. Akhirnya Mpu Mahameru datang dan kembali ke jawa serta ke Bali untuk mengetahui keadaan kedua pulau di atas, lebih-lebih ingin mengetahui keindahan kahyangan Bhatara Tri purusa. Demikian ceritera dimuat dalamusana. Diceriterakan kembali Mpu Kamareka sedang beryoga di tampurhyang, amat tekun semadi bliau mamanuhi perintah Sang Abra sinuhun (mpu Mahameru) dan tidak berani melanggar petuah-petuah terdahulu.
Dijelaskan di Gunung Tampurhyang terdapat tumpukan tanah yang agak tinggi di desa Gwa Song. Disana Mpu Kamareka membangun pesanggrahan tempat beliau melaksanakan tapa semadi, tanpa makan tanpa minum,kecuali memusatkan pikiran menghadap kearah timur di depan pesanggrahan dengan amat tekunnya. Entah berapa lamanya beliau bersemadi kira-kira setahun tujuh hari memusatkan pikiran menegakkan sang hyang Ongkara Mantra agar bersemayam dalam hatinya maka tuturnlah paduka Bhatara Brahma dari alam sunya menganugrahi Mpu Kamareka . sabda Bhatara Brahma. wahai Mpu Kamareka sungguh amat teguh semadi anakku mengharap kedatanganku. Nah sekarang terima lah anugrahku kepadamu (tatwa dyatmika) ajaran gaib pelenyap (pralina), bentuk tak berbentuk tetapi baik-baiklah memegang sanghyang Ongkara, semoga meresap ke dalam ketajaman pikiran anakku.
31a. Kini ada lagi petuahku kepada anakku, kelak apabila ada wanita cantik datang kemari, itulah anugrahku sebagai jodoh anakku, kemudian apabila anakku melahirkan keturunan dengan gadis cantik itu berilah ia nama Mpu Ghnijaya Kayu Ireng. Demikian petuahku. Maka gaiblah Bhatara ke alam sunya. Segera Mpu Kamareka mengahturkan doa penghormatan, weda pujaan amat bergembira hati bliau seperti kena percikan (kesiratan) Air suci rasanya dan meresap ke dalam hatinya. Banyak apabila diceriterakan. Setelah beberapa lama Mpu Kamareka kembali beryoga semadi dihadapan dupa perasapan, asap menjulang tinggi dan wanginya tembus sampai ke sorga, para widyadara widyadari serta para dewata resi Hgana amat gelisah. Langit menjadi gelap.
keluarlah sanghyang Pramacintya dari angkas disertai hujan bunga diiringi sabda, Kamreka, benar anakku seorang Mpu dari keturunan sudra tetapi tidak ada yang menandingi teguh semadi anakku. Sekarang ada anugrahku anakku, pengetahuan mengenai tirta kamandalu yangdisebut Banu Pawitra. Ini terimalah aksaranya tetapi jangan anakku takabur dan melalalikannya. Simpan dalam hati. Setelah demikian Bhatara menghilang, Mpu Kamareka menghaturkan weda pujaan disertai doa penghormatan. Demikian ceriteranya. Makin bertambah –tambah sukacita Mpu Kamareka tak ubahnya sebagai keindahan dalam lautan, begitulah rasanya. Diceriterakan seorang apasri yang bernama Dadri Kuning diperintahkan Bhatara Indra ke Tampurhyang untuk menjadi jodoh Mpu Kamreka. Setibanya di Gwa Song Dadari kuning dilihat oleh Mpu Kamareka.
32a. Dadari kuning segera disapa ditanya asal serta apa maksud kedatangannya, aduhai tuanku yang seperti dewi lautan, dari manakah tuanku datang kemari ke tengah hutan? Siapakah nama tuanku, dari mana asal usul tuanku, siapa ayah bunda tuanku, serta mengapa tuanku kelihatan seolah-olah bersedih, seandainya boleh katakanlah segera kepada hamba. Dadari Kuning berkata, hamba ini adalah keturunan bidadari dari Indraloka. Mpu Kamareka berkata, apakah maksud tuankudatang kemari?. Dadari Kuning berkata, daulat tuanku tak lain hamba pergi membuang –buang langkah ke Bali, hendak mencari Tirta Pawitra tetapi olah karena hamba samar-samar melihat sebuah sinar bercampur asap membubung tinggi, kemungkinan disini ada sesuatu, itu sebabnya hamba ke tempat ini.
Menjawab Sang Mahamona wahai tuan putri yang takubahnya Dewi Gangga, apakah maksud tuan putri mencari Tirta pawitra? Yah Sang Mahampu dahulu pada waktu hamba masih di Sorga hamba selalu dicekam kekhawatiran, kekejaman para Gandharwapati. Pernah hamba didesak, dipaksa tetapi mereka tidak berhasil. Oleh karena sudah takdir itulah sebabnya hamba pergi dari Sorga membuang-buang langkah hendak menyucikan diri, tiba-tiba hamba bertemu dengan sang mahamuni disini. Menjawab Mpu Kamareka , baiklah kalau demikian, seandainya boleh marilah tuanku bersama-sama disini menanggung kesedihan. Menjawab Dadari Kuning, Mpungku teringat hamba akan perintah Bhatara Kepada hamba dahulu, memerintahkan hamba turun ke dunia. Kemungkinan inilah jodoh hamba. Yah senadainya boleh teruskanlah belas kasihan Mpungku beriathukan hamba segera. Mpu Kamareka terharu tidak bisa menjawab. Tidak terhingga betapa sukacitanya, pilu bagaikan disayat hatinya.
33a. Kemudian Beliau berkata dengan gegregetan, aduhai buah hatiku, tidak lain aku inilah jodohmu. Teringat aku akan sabda Bhatara dahulu bahwa bidadari engkau ini, payah sudah kakak menantikanmu. Menunduk Dadari Kuning, lalu dipangku dielus-elus sebab terdorong luaan madu yang manis rasanya. Aduhai buah hatiku teruskanlah cinta kasihmu bersuami dengan kakakmu, bersama-sama menanggung derita dalam hutan. Berkenanlah wahai idaman hatiku , kakakmu tidak akan menentang walaupun tujuh kali menjelma, kakamu akan tetap menuruti adinda. Tak henti-hentinya Mpu Kamreka merayu, dielus-elus. Menawab Dadari Kuning sambilberlinang air mata Yah …. Mpungku janganlah begitu tergesa-gesa, siapakah yang akan melalaikan kelak apabila kita telah bahagia, menuruti hamba sang mahamuni.
Tetapi ada permintaan hamba yaitu apabila Mpungku sudah bersuami istri dengan hamba, mpumgku tidak boleh menolak segala kehendak hamba, sebab demikianlah tatacara disorga. Menjawab Mpu Kamareka,. Adiku baiklah kalau demikian, aku akan memenuhi kata-katamu. Jangalah khawatir. Seraya digendongnya Dadri Kuning seperti anak kecil. Banyaklah apabila menceriterakan perilaku mereka melakukan kesempatan, menikamati bercumbu-cumbu di tempat tidur. Bhagia mereka bersuami istri, tidak terkatakan betrapa nikmatnya.oleh karena baru dipertemukan asmaranya. Demikian ceritera asal mula Mpu Kamreka kawin dengan Dadari Kuning. Baiklah hentikan mereka sejenak.
34a. Marilah kembali ceriterakan pada waktu Mpu Mahameru sampai di Jawadwipa setelah meninggalkan Besakih serta Tampurhyang menghadap dan bercakap-cakap dengan saudara- saudaranya yaitu, Mpu Ghnijaya, Mpu Ghana, Mpu Kuturan, Mpu Bradah. Mpu Ghnijaya berkata : Adik Danghyang Semeru mengapa adik amat terlambat datang kemari, payah sudah Bhatar Putrajaya menanti kedatangan adik, kaka beserta adik-adik semua lama sudah menantikan. Menjawab Mpu Mahameru, Yah maafkan Saya sebab dahulu sesampainya di tampurhyang pada waktu saya beraistirahat hendak membersihkan diri, saya menjumpai sebuah togog kayu celagi (asem) amat terharu hati saya melihatnya. Pada waktu itu saya mengeluarkan sidyajnana dan tidak lama kemudian togog tersebut menjelma menjadi Manusia. Tidak lama antaranya terdengar suara dari Langit, saya diperintahkan menganugrahkan segala tatwa agar ada Bhujangga di Bali kelak. Begitu pula manyusun tatcara adat sopan santun orang Bali
Yah ..itu sebabnya saya terlambat datang tercengang beliau berempat mendengarkannya. Mpu Kuturan berkata, terharu adik mendengarkan tetapi kedatangan kakak sekarang ini, apapkah sebelumnya kakak sudah dapat menghadap Bhatara di Tolangkir, begitu pula kepada Bhatara di Gunung Lempuhyang?. Mpu Mahameru menjawab, ya Kakak sempat juga menghaturkan sembah kehadapan Bhatara Tri Purusa, malahan sudah pula kakak mendirikan kahyangan di Bali serta memberitahukan kepada orang-orang Baliaga beberapa sesana dan adat sopan santun lainnya. Sekarang jikalau saran ini benar, marilah kita bersama-sama kembali ke Bali untuk manjaga Khayangan Bhatar Tiga. Tetapi tunggulah dahulu hari yang baik. Menjawab sang maharsi semua, Baikalah kalau demikia. Oleh karena mereka sudah sepakat, pembicaraan mereka diakhiri dan kembali pulang ke kahyangannya masing-masing, tak henti-hentinya mendoakan Bhatara di Bali.
35a. Baiklah hentikan ceritera sang Mpu sampai disini. Entah berapa lama perkawinan Mpu Kamareka dengan istrinya maka hamilah Dadari Kuning. Setlah bertambah lama umur kandungannya bergeraklah bayi dalam perutnya. Tidak terkatakan betapa tangis ibunanya, akhirnya lahirlah anak 2 orang laki dan perempuan, Cantik dan tampan amat sempurna. Tidak terhingga sukacita beiau . diupakarai sesuai dengan upakara manusia yang ada, putranya laki diberi nama Ki Kayu Ireng, sedangkan Putrinya diberi nama Ni Kayu ayu Cemeng. Demikian asal usul kelahiran mereka dahulu. Panjang ceriteranya.
Kini diceriterakan bahwa mereka sudah dewasa, Sang Kayu Ireng berkata kepada Ayahndanya, wahai ayahnda, oleh karena anaknda sudah dewasa, dimanakah jodoh hamba. Apabila boleh carikan anaknda jodoh sdebab anaknda kedinginan di gunug. Menjawab Sang Mahampu, anaknda kayu ireng, tidak lain yang patut menjadi istri
anakku ni kayu cemeng sebab dialah jodohmu sejak ananknda berada dalam kandungan. Hanya saja tunggulah dahulu hari yang baik. Berkata ibunya, ananku Kayu ireng benarlah apa yang diucapkan ayahnda hanya menuruti perintah agar dlam waktu dekat perkawinan dapat dilaksanakan. Entah berapa lama tiba saatnya hari yang baik Ki Kayu ireng dikawinkan dengan ni kayu cemeng. Tidak diceritakan perkawinan mereka oleh karena keduanya sudah tahu rasa bercinta. Demikian asal mula warga Pasek Kayu Selem yang tersebar di pulau Bali. Baiklah akhiri dahulu sampai disini.
36a. Diceriterakan Mpu Mahameru turun ke Bali mrnghadap Paduka Bhatara di Besakih dan Lempuhyang . perjalanan Beliau sangat cepat dan segera sampai di desa Kuntul Gading, melewati Tulubyu langsung menuju ke Besakih, pada hari kakwaciwa/hari purnama wuku julung pujt bulanpalgna. 1,0 tengek Icaka 121, setibanya di Besakih beliau masuk ke kahyangan yang berdekatan dengan Kahyangan Bhatara Putrajaya dan Bhatara Ghnijaya sambil menghaturkan Doa penghormatan , weda pujaan serta air pencuci kaki,
B Bergema suara Gentanya, keuarlah Bhatara disertai hujan bunga, sambil emnghaturkan doa penghormatan, puji-pujian dan wangi-wangian , tidak dikatakan pembicaraan beliau sebab amat pingitnya . setelah itu beliau segera bernagkat ke lempuhyang menghadap Bhatara leluhur, setibanya disana, beliau beryoga. Menghaturkan weda pujaan serta air pencuci kaki, membubung asap api pedupaannya bergema suara gentanya, keluarlah paduka Bhatara manburkan bunga-bungaan, tak terkatakan sabda beliau karena amat pingitnya. Entah berapa lama beliau berada di Besakih dan Lempuhyang beliau mohon diri Bhatara akan kembali ke Jmabudwipa, tidak diceriterakan dalam perjalanan sampailah beliau di Tampurhyang.
37a. Setiba beliau di Tampurhyang Mpu Kamareka beserta istrinya bergegas manyembah menghaturkan air pencuci kaki kehadapan sang adhiguruserta dipersilakan ke kahyangan. Tidak terkatakan pasuguh Mpu Kamareka kehadapan Dang Ghuru. Sebab demikian tatcara seorang murid ditekankan oleh para junjungan /sesuhunan dengan tulus ikhlas, dang ghuru berkata, anakku Mpu Kamareka sekarang aku akan meninggalkan anakku kembali ke jambudwipa, aku sudah yakin akan keakhlianmu. Tetapi anakku ingatlah petuah-petuahku dahulu, mengemban sanghyang Ongkara dyatmika, kelak apabila ada keturunanmu beritahu pula kepadanya gegaduhan anugrahku ini supaya mereka semua mengetahui pembabakan dabtatcra di Bali. Sekarang anakku telah menjadi Ksatrya Brahmana, tetapi hanya tiga turunan mulai dari sekarang. Setelah itu engkau turun lagi menjadi sudra.
B begtu pula kelak oleh karena telah banyak keturunanamu yang berbeda-beda tempat tinggalnya, menyebar di pulau Bali, beritahukan juga kepadanya bahwa apabila mereka tidak taa dengan gegaduhan ini, yangberasal dari Bhujangga Baliaga kutkanku semoga turun menjadi orang dusun sejati ( wong tani cingkrang) dan pada waktu meninggalnya tidak boleh disucikan oleh Brahmana, lagi pula tidak boleh dibakar, kuburkanlah mayat mereka, sebab mereka bukan keturunanku. Sebaliknya apabila mereka tata dengan titi gwgaduhan mereka bernama wangsa wong Tani, tetapi apabila sudah tiga turunan ada lago keturunanmu agar diberi nama ARRYA PASEK KAYU SELEM. Dan setiap yang akhli dan tahu diperkenankan menjadi Bhujangga tetapi hanya tiga turunan. Setelah bhujangga barulah menjadi orang biasa (dudukan) kelak apabila ada keturunanmu hendak mebakar jasad kawitannya diperkenankan,
38a. Tetapi apapbila belum ada Brahmana di Bali yang alhir dari saudaraku Mpu Ghnijaya yang akan melaksanakan weda Mantra, keturunanmu sendiri boleh melaksanakannya, sekarang anakku diperkenankan menyucikan Jasad orang-orang Baliaga, jangan lupa beritahukan juga kepada mereka, sebab amat berbahaya kena kutukanNya. Ini ada juga anugrahku, sastra dudu aksara, rupa tan pa rupa bentuk tanpa brntuk, bukalah telinga dan delikanlah matamu lebar-lebar. Mpu kamareka menyembah dan segera ditanyai sang Mahampu, Anankku Kamareka apakah kamu sudah jelas, ?. Ya paduka Bhatar semuanya sudah meresap dihati anaknda. Ini ada lagi aksara dyatmika, ilmu suci dalam badan ( sastra ring raga sarira) simpanlah baik-baik dalam hatimu, semoga amat sakti, bijaksana dan wujudnya sebagai angkasa..
ini, 50,9,1. selesai, semoga anakku, jangan lupa, jangan ribut serta meremehkan sebab ilmu ini (SangHynag Sastra) amat pingit. Sekarang aku akan meninggalkan anakku oleh karena anakku telah mememgang semua sanghyang aji dalam bathinmu. Mpu Kamareka bersujud dielus kaki Sang Adhiguru disertai Doa Pujaan. Tidak terkatakan senang hatinya sebab sudah dianugrahi sang maha Mpu. Diceriterakan Mpu Mahameru telah meninggalkan Tampurhyang kembali ke Jawadwipa.demikian ceriteranya. Entah berapa tahun kemudian orang-orang di pulau Bali semuanya menurunkan keturunan amat banyak, anak beranak memenuhi dunia diakibatkan banyaknya yogas semadi para Bhatara dalam menciptakan Manusia,, merekalah yang memehuni pulau Bali. Panjang ceriteranya apabila kita membicarakan kelahiran orang-orang Baliaga yang semuanya membawa adat serta upacara yang berlainan pada waktu meninggalnya,, disebabkan perbedaan asal-usulnya.
39a. Demikian tersebut dalam usana. Entah berapa lama kembali kembali pulau Bali menajadi sunyi karena tdak ada seorang Raja sebagai pelindung bumi Bali. Oleh karena itu hyang Putrajaya disertai Hyang Ghnijaya, diirngkan oleh Hyang Catur Purusa berangkat ke Gunung Jambudwipa menghadap Bhatar Hyang Pramestighuru mohon agar ada Raja yang mengayomi pulau Bali sebagai penegak dan penyungsung Kahyangan Besakih. Oleh karena itu para dewata bersidang dengan para resi semua untuk mengikuti Hyang Jagatnatha pergi ke Sorga.
Selesai sudah perundingan itu dan telah ditentukan harinya. Tersebutlah putra Bhagwan Kasyapa yang lahir dari Dyah Wyapara bernama sang Maya Danawa, sudah beristri dengan dewi Malini anak Bhatar Hyang ananta Bhoga yang beribukan dewi Danuka. Mayadanawa dipilih oleh para dewa agar menjadi raja di pulau Bali, disetujuinya keputusan perundingan di atas, pasti sudah si Mayadanawa akan menjadi Raja sebagai pelindung dunia. Seluruh persidangan itupun bubar, pulanglah Bhatara semua. Bhatara Putarjaya mohon diri kehadapan Bhatara Hyang Pramesti guru disertai hyang ghnijaya, Bhatara Catur purusa semuanya kembali ke kahyangan beliau di Besakih. Amat girang hati beliau sebab telah terkabulkan apa yang dicita-citakan.
40a. Tidak diceriterakan dalam perjalanan sudah tiba di Gunung Tolangkir. Demikian ceriteranya pada pada jaman dahulu. Entah berpa lama setelah Mayadanawa menjelma menjadi Raja di pulau Bali disertai oleh istrinya ni Dyah Malini untuk menggatikan Raja terdahulu yang bernama detya Karnapati dan berabiseka Cri Jayapangus yang dahulu bertahta di Balingkang. Mayadanawa konon yang menggatikannya menjadi Raja Bali di bedanegara yang berkeratoon di Batanyar. Selama pemerintahan Beliau tidak terkatakan girang hati orang-orang Bali sebab telah ada penegak dunia yang mempertiabngkan baik buruknya kejadian di dunia.
Dengan demikian penduduk bali beramai-ramai menghaturkan kembang tawon (bunga yang indah) disebabkan keakhalian patih Beliau yang bernama Kala wong dalam
mengemban wilayah negaranya. Tidak terkatakan sejahtarnya pulau Bali, segala yang ditanam tumbuh segalanya berhasil, segalanya dibeli murah harganya, penyakit bencana semuany atakut, tidak ada kekacauan karena kemasyuran Beliau didunia dalam mengemban negara yang diperintahnya, panjang apabila kita menceritakan keutamaan
Cri Mayadbawa sebab telah banyak disebutkan pada usana. Entah berapa lamanya Cri Mayadanawa memerintah, datanglah godaan hyang widhi. Pikiran Mayadanawa berubah mempunyai tabiat angkara, serba utamanyapa kadi aku iri lebih-lebih melarang penduduk menghaturkan bhakti kepada para dewata. Hal ini menimbulkan kesedihan para Bhatara di Tolangkir.
41a. Beliau bersama-sama dengan para Bhatara yang berkahyangan di Bali datang menggugah danmemohon kehadapan Bhatara hyang Pramesti guru agar berkenan membunuh Mayadanawa yang ditunjuk Bhatar Dahulu. Maka diutuslah para dewata, Resi ghana, Dewa nawasanga serta semua yang ada di Sorga, terutama sanghyang Indra agar segera bertindak di pulau Bali. Panjang ceriteranya apabila kita menuturkan sebab semua telah diuraikan pada usana. Sang mayadanawa dibajra Bhatara Indra sehingga mayadanawa ber sama-sama patihnya Kala Wong terbunuh di wilayah desa pangkung patas yaitu di Tonya Dapdap. Itulah sebabnya sekarang kita menemukan sungai yang bernama Tukad petanu. Demikian ceritera sang ratu di muat pada usaha. Kini dengarkan kembali bahwa setelah meninggalnya cri mayadanawa, beliau kembali ke sorga loka sebab semasa hidupnya beliau dianggap sebagai seorang pahlawan sehingga dengan demikian diperkenankan menatap di sorga.
B. ketika mayadanawa berada di sorga, Dewi Malani sangat iri melihal ketenangan, kebahagian suaminya ia menangis sejagi-jadinya serta tidak henti-henti menyesali nasibnya. Panjang ceritanya apabila menceritakan kesedihan Dyah Malini yang diliputi rasa malu (jengah). Kemudian iapun pergi ke bawah tanah (Sapta Patala) menghadap ibunya Dewi Dakuna. Setibanya Dewi Malini di Sapta Patala dilihal ibunya lalu berkata, ”Aduh anaku ,buah kesayangan ibu (mas atma jiwa) Dyah Malini, selamat datang serta apa sebabnya anaku kelihatan sepeti orang bersedih. Apabila boleh beritahukanlah pada ibu. Ni Malini menyembah dan dengan berlinangkan air mata ia menelungkup dipangkuan ibunya sambil
42a. Menceriterakan suaminya telah berada di sorga menikmati ketanangan dan kebahagiaannya. Tertegun ibunya sejenak serasa sesak napasnya. Kemudian ibunya menjawab,”aduhia buah kesayanganku Dyah Malini, andaikata demikian janganlah terlalu bersedih anakku sebab itu merupakan takdir Tuhan Yang Maha Kuasa yang tidak bisa kita hindari. Tenangkan hatimu, pulanglah anakku sekarang dan ceritakan kepada ibunda Ni Dewi Wyapara agar beliau bersama-sama dengan ibu berkenan menghadap Sang Hyang Suranatha di Indraloka. Dyah Malini amat gembira mendengarkan kata ibunya seraya menyembah mohon diri akan pulang. Tidak di ceritakan dalam perjalanan akhirnya sampailah ia dihadapan ibunya Dewi Wyapara untuk membicarakan nasibnya, kebahagian suaminyaserta akan menyampaikan perintah ibunya Dewi Danaku.
Panjang ceritanya apabila di ceritakan perundingan tersebut. Kemudian Dewi Wyapara dan Dewi Danaku berangkat ke indra loka menghadap Sang Hyang Surapati (indra) . setibanya di Indra loka mereka menyembah di hadapan Sang Curendra (indra) lalu ditanya Sabda Bhatara, ”Hai anakku berdua, kini anakku terdua datang, menurut perasaanku kelihatan seolah-olah bergegas menghadap kepadaku. Apabila anakku keberatan, ceritakan kepadaku”. Menyembah mareka yg ditanya lalu bersujud, ”Daulat
paduka Paramecwara. Adapun sebebnya anak nda berdua datang menggugah Bhatara tidak lain untuk mohon maaf atas kebahagiaan si mayadanawa. Kini seadainya diperkenankan paduka Bhatara agar
43a Mayadanawa kembali ke dunia menjadi raja di pulau Bali”. Paduka Bhatara Curapati tertegun, diam sebagai tersendat rasanya. Tidak lama kemudian beliau berkata, ”Hai anakku berdua, andaikata demikian aku tidak akak membiarkan tetepi aku akan memepintahkan Mayadanawa beryoga semadi dahulu untuk menebus dosa yang pernah diperbuatnya”. Kedua perampuan itu memyembah, ”Yah andaikata demikian hamba manuruti segala perintah Bhatara”. Dengan demikaian selesai sudah perundingan tersebut. Keduanya mohon diri kehadapan Bhatara dan tidak terhingga betapa suka cita mereka lebih-lebih Dyah Malini sebab sudah terkabul niatnya untuk meceritakan keadaan Sang Mayadanawa.
Demikian ceriteranya pada djaman dahulu, baiklah hentikan sejenak, diceritakan kembali Mahameru dipanggl Bhatara di Tolangkir, beliau brergegas turun ke Bali dan oleh karena dalam perjalanan Beliau tidak mendapatkan suatu halangan, beliau segera tiba di desa gading, perjalanan Bliau melewati Gunung Tulukbyu, setibanya di Besakih Bhatara segera menghaturkan weda pujaan dan penghormatan seperlunya. Bergema suara Gentanya yang kemudian disambut taburan bunga serta penjaya-jaya, Bhatarapun segera keluar, Banyaklah ceriterany apabila ingin membicarakan percakapan Bhatara, Selama Bliau menghadap Bhatara di Besakih, bersama-sama melaksanakan yoga semadi. Bhatara Putrajaya menceriterakan bahwa bliau inginsegera menciptakan Raja Bali sebab Bhatar merasa iba melihat tata susila manusia telah hilang dan tida ada yang mempertibangkan baik buruknya di dunia.
44a. Itulah sebabnya Bhatara Putarjaya disertai Bhatara Ghnijaya para Bhatara yang berkahyangan di Bali serta Mpu Semeru berangkat ke Sorga loka. Tidak diceriterakan dalam perjalanan sebaab semuanya berjalan amat cepat maka sampailah beliau di Sorga loka. Bhatara Putrajaya lalu menghadap Bhatara Hyang Pramesti guru memohon anugrah agar ada menggantikaN Raja Bali yang sudah Moksa, banyak ceriteranya apabila menuturkan percakapan para Bhatar di Sorga tetapi yang jelas telah pula diputuskan Bhatar siapa yang akan ditunjuk menjadi Raja di Bali. Dengan telah selesainya perundingan itu maka Bhatara berdua dengan diirikan oleh Mpu Mahameru dan bhtara Catur purusa,, mereka kembali menuju Besakih. Demikian ceriteranya. Marilah alihkan pembicaraan untuk menuturkan sang Mayadanawa yang diprintahkan Bhatara Hyang Widhi wasa menjelma kembali ke pulau Bali sebab segala dosanya (keletehan) telah dibersihkan oleh tapa Bratanya(tapa semadinay)oleh karena itu ia diutus menjelma kembali srta diperkenankan menjelma dalam bentuk laki dan perempuan,
b. sehingga digaibkan kedalam kelapa, disucikan diputar dengan sebilah pedang oleh Sang Kul Putih pertapa di Tolangkir yang bersemayam di sorga. Ketika telah genap yoganya Sang Mayadanawa menjelma di Bali dengan abiseka Dalem Cri Haji Masula Masuli serta dikawinkan dengan adiknya sebab pada waktu kelahirannya beliau lahir buncing. Pada waktu dahulu ada beberapa desa yang telah dibangun Hyang Indra yaitu desa Manukaya, Sekahan, Pludu, di tempat itulah Bhatara Masula Masuli membangun pasanggrahan sebagai tempat persinggahan apabila berjalan-jalan ke gunung. Tidak terkatakan ketemtraman negara oleh karena Sang raja selalu memperhatikan kebajikan di dunia, sujud, berbakti kehadapan para dewata dan memegang teguh keadilan dalam memecahkan segala perkara yang terjadi. Itulah sebabnya ada yang mencemohkan Dalem. Seluruh rakyat di wilayahnya baik yang berada di dusun maupun di pesisir semua memuja kesaktian Cri Haji.
45a. Demikan keadaan negara selama pemerintahan Cri Haji Masula Masuli. Ssekarang baiklah dengarkan kembali bahwa pada waktu kelahiran Cri Haji Masula Masuli di dunia Bhatara Indra bersabda kepada seluruh penduduk bali sebagai berikut, ”kelak apabila ada orang yang kawin dengan saudara tunggalnya, mengikuti perkawinan Cri Haji Masula Masuli perbuatan demikian dilarang, mencemarkan tata susila. Patut di singkirkan jauh-jauh, lemparkan kedalam samudra sebab perbuatan itu bukahlah tata susila manusia melainkan tabiat binatang, menodai dunia dan tidak urung mengganggu ketentraman penduduk di dunia. Begitu puli apabila ada dua orang anak lahir dari kandungan ibunya laki perempuan satu placenta (ari-ari) kelahiran tersebut buncing dan mencemarkan desa. Harus dijauhkan dan ditempatkan di pinggir desa atau di dekat kuburan selama 24 hari. Penduduk desa harus melaksanakan upacara penyucian pangosadi, amalik sumpah,
B anapuh serta orang yang mengalami hal tersebut harus pula disucikan”. Demikan Sabda Bhtara Indra. Dilarang menuruti tindakan Cri Haji Masula Masuli. Begitu ceriteranya pada jaman dahulu. Entah berapa lama beliau memegang tampuk pemerintahan di kerajaan bali menikmati kebahagiaan dunia terutama mengecap kenikmatan yang amat mengasikkan (menyenangkan) maka istrinyapun mengandung. Ketika umur kandungan istrinya telah sampai, bayi dalam kandungan itu bergerak-gerak. Tidak terkatakan betapa tangis ibunya, maka lahirlah bayi tanpan dan sempurna parasnya. Pada waktu lahir bayi itu amat suci dan sakti. Alangkah gembiranya mereka berputra. Putranya di upakarai, disucikan dan diberi nama topalung. Demikian ceritera sang bayi dimuat dalam usana. Selanjutnya diceriterakan kenbali keempat pendeta yaitu
46a. Mpu Ghnijaya, Mpu Sumeru, Mpu Ghana dan Mpu Kuturan tatkala menghadap Bhatara Putrajaya di Besakih. Bhatara Putrajaya bersabda, ”Wahai anakku Sang Brahmana semua dengerkanlah petuahku. Anakku semua hendaknya segera beryoga sesuai dengan dharma Sang Brahmana Resi agar kelak apabila engkau mempunyai keturunan mereka mengetahuiasal mula serta berbakti kepadaku. Anakku Mpu Ghnijaya lekaslah beryoga semadi di gunung lempuyang di sisi Bhatara leluhur. Anakku Mpu Sumeru anakku agar beryoga di kahyangan bersamaku di sini. Sebaliknya anakku Mpu Ghana anakku berkahyangan di Dasar Bhuwana sedangkan anakku Mpu Kuturan anakku berkahyangan di Cilayukti.
Adikmu Mpu Pradhah menetap di jawadwipa agar sewaktu-waktu dapat pergi ke jawa atau bali (anagajawa angabali)”. Demikian sabda Bhatara di Tolangkir maka para Mpu semuanya menuruti perintah paduka Bhatara Putrajaya. Begitulah Ceritera mengapa keempat pendeta di atas disungsung keturunanya di kahyangan masing-masing. Lama kelamaan pada waktu Mpu Ghnijaya di Jawadwipa beliau melahirkan putra yang selanjutnya dikenal denagn nama Warga Sanak sapta Resi(Warga Sanak Pitu). Adapun nama-nam Beliau yaitu : Mpu Kete, Mpu Kanada, Mpu Wirajnana, Mpu Wiradharma, Mpu Ragrunting, Mpu Preteka, Mpu Dangka. Itulah yang disebut Warga Sanak Pitu Selanjutnya Sisya Mpu Mahameru yang menpunyai asal-usul aagak berbeda, lahir dari yogasemadi beliau di Tampurhyang bernama Mpu kamareka, belakangan Lahirnya dibandingkan keturunan Sanak pitu,
47a. Lebih-lebih dibanding dengan anak beliau Mpu Ghana yang bernama Mpu Galuh. Mereka bersepupu (misan) dengan mpu Kamareka baru dua keturunan dari sejak lahirnya Bhatara Hyang Ghnijaya. Demikian ceritanya. Diceritakan kembali Mpu Kamareka tatkala menasehati putranya Ki Kayu Jayamahireng, ” Anakku Kayu Ireng, dengarkanlah kata ayahanda sekarang. Kelak apabila’ anakku telah mempunyai keturunan beritahukan juga kepadanya titi gagaduhan ini serta ingatlah anakku aghuru sisya dengan keturunan Bhatara Mpu Ghnijaya yang disebut Warga Sanak Pitu mindon anakku. Dahulu ada
Petuah Bhatara leluhur yang disampaikan kepada ayahanda bahwa anaknda tidak diperkenankan saling ambil mengambil serta saling sembah dengan keturunnan mereka. Tetapi anaknda besserta keturunan anaknda harus menyembah kepadanya apalagi diambil
(dipesristri) oleh keturunannya. Sebaliknya diantara keturunan anaknda sendiri diperkenankan saling sembah dan saling ambil mengambil. Demikian tata cara menjadi manusai. Begitu pula apabila nanti anaknda meninggal. Janganlah membakar jasad oleh karena ida Bhatara tidak ingin cemar, disebut pingit disebabkan berdekatan dengan paryangan pura di Panarajon, pura Tegeh, Ulun Danu dan Batur. Disebut pingit disebabkanberdekatan dengan dengan parhyangan pura di panarajon, pura Tegeh, ulun danu dan Batur, agar tdak ditutup (keungkulin)oleh asap jasad karena orang bali asli tidak boleh dibakar. Kuburkanlah anaknda diperkenankan melalsanakan upacara mabya tanem. Ingat anaku, jangan mengingkari. Andaikan ananda mengngikari petuah diatas tidak urung ananda ditimpa kutukan Bhatar leluhuhr. Diceriterakan kembali Raja Bali yang bernamana Cri Haji Masula Masuli telah terkenal kesaktianya dalam membela wilayah Negaranya bawahan Beliau semuanya tunduk, bencana dan kesulitan tidak pernah terjadi.
48a. Entah berapa lam akhirnya beliau moksa tanpa bekas kembali ke alam sunyata diirngi oleh istrinya kembali ke alam sorga. Selanjutnya untuk memegang tapuk pimpinan di Bali beliau diganti oleh putranya yang bernama Sri Haji Tapohulung dengan pusat pemerintahan di Batahanar, pejeng. Selama pemerintahan Cri Haji Tapohulung tidaklah usah diceriterakan lagi sebab sama seperti pada waktu kerajaan Bali diperintah Cri Haji Masula Masuli, bahkan bahkan melebihi kesaktian ayahnaya. Hal ini tidak lain disebabkan Cri Haji tapohulung telah dapat keluar masuk Sorga dengan mudahnya. Itulah sebabnya seluruh bwahannya beliau tunduk yang didampingi oleh Patih akhli yang bernama Pasung Grigis dan Kebo Iwa. Hentikan dahhulu ceriteranya sejenak.
Diceriterakan kembali Mpu Kamareka dengan putra bliau Sang Jaya Kayu Ireng yang telah lama kawin dengan Ni Kayu Ireng yang disebut baru satu keturunan, Sang Jaya Kayu Ireng oleh karena Beliau memang keturunan Bhujanga Bali maka sesuai dengan petuah Bhatara, beliau segera diapodgala ayahnda dan diganti namanya menjadi Mpu Ghnijaya Mahireng. Demikian Ceriteranya.
Selanjutnya Mpu Kamareka berputra Lagi 3 orang laki-laki yang amat tampan, di beri nama : Sang Made Celagi, Sang Noman Tarunyan,Sang Ketut Kayu Selem menjadi Bhujangga diapodgala oleh ayahnya. setelah diApodgala, Sang Made Celagi diganti namanya menjadi Mpu Kayuan, Putra Beliau yang ketiga( Nyoman Tarunyan) diberi Nama Mpu Tanrunyan. Sedangkan Yang Paling Kecil ( Ketut Kayu Selem) diganti namanya menjadi Mpu Badengan tidak diceriterakan semuanya telah mencari dan melaksanakan tugasnya amsing-masing. Mpu Kayuan berpindah dari Gwa Song di Panarajon bersemayam di Balikang. Mpu Tarunyan mencari tempat dan beryoga di Gunung Tulukbyu di Desa Belong. Sejak itu disebut Desa tarunyan. Itu pula sebabnya Beliau disebut Mpu Tarunyan. Sedangkan Mpu Ghnijaya Mahireng beresama-sama dengan adiknya terkecil( Mpu Badengan) tetap beryoga di Gwasong mengikuti jejak ayahndanya yang selanjutnya disebut didesa Songan. Demikian ceriteranya dituturkan Oleh Sang Dwijendra Sakti Wawu Dateng kepada Cri Haji Gegel pada waktu beliau bersemayam di Samplangan di Tugu.
Diceriterakan kembali para putra (Sang Catur Bhujangga). Sang Mpu Ghnijaya Mahireng berputra 3(tiga) orang laki-laki, yang tertua bernama sang Taru hulu, adiknya sang kayu selem, Sang Wreksa Ireng serta seorang putri bernama Ni Kayu Selem.
Mpu Kaywan/Mpu Panarajon berputra seorang laki-laki 4(empat) orang Perempuan bernama Sang Panorajon( Tertua) yang hampir sama dengan Nama Ayahanya. Sedangkan putri-putrinya bernama, Ni Ayu Nguli, NiKayu Ireng, Ni Ayu Kinti, dan Ni Ayu Kaywan. Mpu Tarunyan berputra 1orang laki dan 3 orang Perempuan, Putranya bernama Sang Tarunyan , hampir sama dengan nama ayahnya, sedangkan putrinya bernama Ni Ayu Dani, Ni Ayu Tarunyan, Ni Ayu Taruni. Itulah putra putri Mpu Tarunya. Mpu badengan berputra 2 orang laki-laki yaitu Ki kayu Celagi, ki Kayu Tarunya,. Demikian putra putri keempat Bedrsaudara di atas, baru dua keturunan dan disebut masih bersepuu(misan).
50.a Entah berapa lama semuanya telah dewasa lalu mereka saling ambil mengambil diantara sepupunya. Sang Taruhulu memperistri NiAyu Kayu ireng, anak Mpu Panarajon. Sang Kayu Selem memperistri ni Ayu Taruni anak Mpu Tarunyan, sang Wreksa Ireng beristri 2 orang yaitu Ni Ayu Nguli dan Ni Ayu Kinti anaksang Mpu Panarajon. Sang Panarajon anak Mpu Kaywan/Mpu Panarajon beresmayam di Panorajon memperistri NiAyu Taunyan anak Mpu Tarunya. Sang tarunyan yaitu anak Mpu Tarunyan Memperistri anak Mpu Ghnijya mahireng yang bernama ni Ayu Kayu Nlem.
Ki kayu Clagi Putra dari Mpu Badengan memperistri ni Ayu Dani anak dari Mpu Tarunyan. Sang Tarunan memperistri ni Ayu Kaywan anak Mpu Panarajon/Mpu Kaywan. Demikian mereka itu saling ambil mengambil diantara saudara sepupunya. Tidak diceriterakan kebahagiaan mereka berkeluarga karena hal itu sudah merupakan takdir maka setelah beberapa lama berkeluarga mereka melahirkan keturunan masing-masing. Demikian ceriteranya. Dijelaskan Mpu Kamareka setelah melahirkan banyak keturunan. Telah makin lanjut usianya dan telah terpikirkan dalam hatinya bahwa pada hari yang baik akan mengumpulkan anak cucunya hendak memebritahukan bahwa beliau akan kembali ke alam sunyata.
51a. Katanya: wahai anak serta para cucuku semua, kini dengarkanlah petuahku kepadamu. Tidak lama lagi ayah akan meninggalkan kamu semuanya kembali ke Sorga. Sebab sudah saatnya ayah harus meninggalkan Madya loka. Kelak apabila purnamaning Kartika (12) tiba dan aku telah kembali ke Sorga, hendaknya kamu semua segera mendirikan Kahyangan untuk melinggihkan Sanghyang Tri Purusa, terutama melinggihan Sanghyang Suci Nirman, sedangkan untuk Ayah buatkanlah sebuah Bebaturan. Selanjutnya apabila engkau sudah selesai mendirikqan Kahyangan segera anaku melaksanakan Puja Wali melaspas, anapuh, serta ngenteg linggih. Untuk Ayah buatkan juga Odalan di Bebaturan karena ini merupakan tatacara Sanghyang Dwipala serta Bhatara Hyang Suci yang berasbiseka Sanhyang Tayi.
Adpun Yang dimaksud dengan Sanghyang Tri purusa yaitu, Brahma, Wisnu, Icwara. Sedang pelinggih untuk Bhatara Sanghyang Ibu Pretiwi yang bertemu dengan Bhatara Sanhyang Akasa disebut Paibon. Tetpi ayah terlebih dahulu dibuatkan sebab ini merupakan salah satu penghormatan Leluhur. Ingatlah. Begitu pula apabila anaku telah selesai memperbaiki kahyangan, jangan lupa melaksanakan upacara yadnya, piodalan agar ada disungsung keturunanmu kelak dan seterusnya. Semoga kamu berbahagia. Beritahukan pua kepada seluruh ketrunanmu dimanapun mereka berada baik jauh maupun yang dekat agar mereka datang mengahaturkan piodalan. Adapun upacara dipodalannya adalah pada Tileming Kedasa(13). Janganlah menghindari hari diatas.
52a. Jikalau ada keturunanmu yang tidak mentaati titi gagduhan ini, mereka bukanlah keturunanku sebab mereka telah mengingkari sasana. Mudah-mudahan merkea susut dan kena kutukanku. Banyak kerja tapi tanpa ada hasilnya,. Segala yang dilaksanakan tidak akan menemukan keselamatan. Setiap akan muncul diakhiri kegagalan, Ingatlah petuah-petuahku, hai seluruh keturunanku, Begitu pula apabila nanti tumbuh pohon kayu berwarna Hitam di Kahyanganmu, hal itu suatu pertanda bahwa ayah telah berbadan sekal – niskala, ayah telah berada disamping Sanghyang Jagat Karana. Sebaliknya apabila apabila pohon kayu itu sudah tumbuh, sejak saat itu Berilah Nama Pura Itu ” Pura Kayu Selem” ingatlah anak-anaku.demikian juga apabila disini di Gwasong telah tumbuh pohon ”Beringin” hal itu suatu pertanda bahwa ayah di alam Sunya taya telah melaksanakan ”Tirta Gemana”, dari sana ayah akan mendoakan semoga kamu sekalian berhasil dan selalu berada dalam keselamatan, tidak akan kekurangan mata pencaharian, serta senantiasa berada dalam kelanggengan.
semoga sempurna semuanya/selanjutnya inilah saji-sajian apabila anaku akan menghaturkan upacara yaitu Suci Asoroh,. Serba Hitam, itik jambul berbulu hitam, disertai Guru Piduka yang dipersembahkan kahadapan Bhatara Wisnu lengkap dengan Mantranya. Jangan lupa ingatlah petuahku ini ayah segera akan kembali ke Alam Sunya. Apbila tiba saatnya ayah akan memberitahukan pula kepada mu kembali, huruf keramat dalam pemujaan yang dipergunakan untuk ,melepaskan diri serta ilmu kemoksaannya. Siapapun diantara keturunanmu yang telah menghayati, mereka diperkenankan mejadi Panditha/Pendetha. Setiap warga yang dipandang telah benar akhli. Patut anaknda jadikan pemimpinmu( penghulunta).patut dihormati sebab ia yang akan membimbing kearah ketentraman keturunanmu. Ingatlah baik-baik. Setelah hati yang dinantikan tiba, yaitu pada bulan Kartika, bertepatan dengan purnama pada saat itu Mpu Kamarekaberkehendak kembali ke Sorga Loka, untuk maksud ini beliau telah juga mengundangseluruh orang Baliaga.
53a. Segala perlengkapan saji-sajian yang berkenaan dengan Upacara di atas telah pula disiapkan. Tidak terkatakan betapa banyakpara Tamu yang datang hendak menyaksikan Mpu Kamreka. Terutama para murid Beliau serta Mpu keturunan Mpu Ghnijaya yang disebut Warga Sanak Pitu yaitu Mu ktek,Mpu Ragarunting, Mpu Pretka, Mpu Dangka, semua diundang menghadirinya. Banyaklah ceriteranya kwmantapan Upacara diatas yang tidak keurangan tegur sapa sad Rasa serta hal-hal lainnya, Para Tamu yang diundang tidak terkatakan jumlahnya ikut menyaksikanUpacara diatas dan dmeriahkan dengan tetabuhan gamelan selonding yang semuanya dipimpin Mpu Ghnijaya mahireng, Mpu Panarajon, Mpu Tarunyan dan Mpu Badengan. Mereka tidak lupa menyapa para tamu sserta menghaturkan hidangan-hidangan sekedarnya.
b. Ayahndanya Mpu kamareka tidak ketinggalan pula menyapa para Tamu. Benar-benar upacara itu tidak mengecewakan. Kini tiba sudah saatnya dawuh 5 nyaitu dawuh sunyi, hari rebo madhura byantara dadi mahulu wurukung, guru mandala, menga, mpu Kamreka mengenakan pakaian putih. Beliau segera pergi ke pacramannya di GwaSong dimana para tamu terutama ketujuh panditha Warga Sanak Pitu telah bersiap menunggunya. Mpu Kamareka dituntun oleh para putranya, segala persiapan upacara yaitu dupa, kemenyan, astangi, minyak bijan serta wangi-wangian, alat pemujaan, genta patarana dan lain-lainnya telah disiapkan. Kemudian Mpu Kamareka berkata kepada para Mpu semua, ”Daulat Sang Maharesi relakanlah hati sang Maharesi melihat saya. Tuluskanlah cinta kasih Sang Maharesi kepada saya.
54a. Sekarang saya mohon diri akan mendahului Sang Maharesi semua kembali ke alam sunya. Tetapi ada pula permintaan saya, sudilah kiranya Sang Maharesi memberikan bekal pengantar saya menuju alam sorga sebagai tanda cinta kasih Sang Maharesi kepada saya. Antarkanlah saya dengan weda Sang Maharesi yang keluar dari perasaan tulus suci nirmala agar hati saya merasa lapang terhadap Sng Maharesi semua”. Maka para Mpu semua serta para sisyanya menjawab, ”Wahai adikku Sang Mpu, andai kata demikian kehendak adik Mpu” kami semua tidak akan menolak memenuhi kehendak adik Mpu”. Setelah itu Mpu Kamareka berkata kembali kepada sisyanya. ”Aum, aum anak-anakku semua. Dengarkanlah petuahku ini. Apabila engkau semua telah menurunkan keturunan masing-masing, beritaukanlah juga kepada mereka jika hendak melaksanakan upacara jasad para keturunanmu kelak, apabila belum ada diantara keturunanmu yang menjadi Bhujangga (amu janggain)
b. tetapi sudah ada Bhujangga yang lahir dari keturunan Sanak Pitu, Bhujangga ini diperkenankan melaksanakan upakara jasad keturunanmu. Mereka harus dihormati keturunan sebab dahulu ayah telah diperingatkanBhatara leluhur, Bhatara Mpu Mahameru. Ingatlah petuahku sebab siapapun diantara keturunanku yang tidak menaati petuahku ini akan kena kutukanku. Semoga jatuh, bodoh, banyak kerja tetapi tidak ada hasilnya. Begitu pula apabila pada waktu engkau melaksanakan upacara jasad keluargamu, namun belum ada Bhujangga di bali engkau boleh memohon tirta pengentas di pura setelah mohon ijin kehadapan Bhatara Jagatnatha, terutama kehadapan Sang Hyang Tri Purusa. Tetapi sebelum berdoa beritahukanlah kepada ayah dari paryangan tempal ayah beryoga. Dari alam sunya akan segara datang dan mohon tirtha pangentas, pabresihan kehadapan Bhatara Tri Purusa.
55a Setelah engkau diberikan tirtha, dari sana pula ayah bersama dengan Bhatara akan datang memberi tirtha panglambus. Adapun dalam memohon tirtha kehadapan Bhatara, pergunakanlah tiga tempat yaitu sangku tembaga, bahem skala dan batil besi sebab itulah yang patut sebagai tempat tirtha. Sedangkan untuk tirtha pabresihan pergunakanlah 3 buah periuk baru (anar). Rerajahan (gambar) sangku tembaga ang,( ), sangku besi ung ( ) dan sangku perak mang ( ).
Mentera rerajahan sangku tembaga
ONG NANG MANG BRAHNA YA NAMA CWAHA
Mentera rerajahan sangku perak
ONG NANG ICWARA YA NAMAH.
Mentera rerajahan sangku besi
UNG NANG WISNU YA NAMA CWAHA.
Inilah pujaan pertama tata cara kamoksan, pujaan pemusnahan (prelina). Selesailah sudah pembicaraan yang berkenaan dengan weda pragga. Demikianlah kata Mpu Kamareka kepada anak sisyanya semua.
b. Sesudah meresap ke dalam hati mereka semua kemudian anak cucu beliau bersujud dihadapan leluhurnya. Mpu Kamareka bersiap akan beryoga, menyatukan SngHyang kemoksan dan menjalankan seluruh huruf keramat (dasaksara) pada badannya (Bhuwana alit) pada kepala
Pada bulu Ong yang bertemu dengan Ong Sungsang
Iti Ong ngadeg
Ini Pnaca Brahma
ONG BANG diatara – dadi
ONG TANG pada bru madya
AH pada Kuping
ONG ING Pada Limpa
ONG BANG MULUT
ONG MANG Pada Jantung
ONG MANG Pada Pusar
ONG WUNG Kemaluan
ONG YANG Pada Dubur
56a. Lalu membersihkan Badan membakar Sanghyang DASAK SARA diakhiri oleh Sanghyang Ghuru Indra, pada nabhi. Mantranya :
Ong Rah Phatsra Kalaghni Rudra Ya Namah
Geseng SASTRA MALA TRAY, ANG UNG MANG.
Satus Phataka, AH Salwiring LARA Wighna, Geseng dadi Awu, ANG AH NAMA CWAHA.
Setelah itu dihidupkan oleh Sanghyang amertha Mantranya:
Ong Ung Rah Patasraya, Padama Ya Namah
Manurunkan Sanghyang Byoma Siwa . SAMUDRA YA NAMAH
Pada Hati yang Suci bertemu ONG dengan Ongkara Sumungsang ngadeg, manjadi satu dan berubah menjadi Amertha Sanjiwani. Mantranya ”O”
Ong Ci Ta Twa, Ya Ah, Sa, Ba, Ta, I, Ang, Nang, Pa Ma Ci Wa, YA.
Lalu Pralina A, Awa, Kembali pada Ba, Na, Kembali pada Sa, kemudian mersap Panca Brahma, SA, BA, TA, A, I, SA, kembali pada GA suaranya menjadi ANG, TA kembali pada A , UNG dimusnahkan. Setelah bersih,
mata, telinga diprelina, Telinga di prelina pada Hidung, Hidung diprelina pada Mulut, Mulut di Prelina pada Jejaringan, Jejaringan diprelina pada limpa, Limpa Prelina pada Ungsilan, Ungsilan Prelina pada Empedu/Nyali, Empedu prelina pada Hati, Hati Prelina pada Puser, Suarnya pada ubun-ubun, dan setelah pada pusar, merdupkan napasnya lalu Mpu Kamareka Moksa tanpa bekas kembali ke Sorga. Demikian ceriteranya pada Djaman Dahulu, Para keturunan/Warih Mpu Kamareka segera mengahaturkan Sembah Kehadapan Mpu Kamareka yang sudah Moksa. Tertegun mereka yang ditingalkan, terkenang kepada sang sudah Moksa, sebab rasa-rasanya Beliau masih berada dalam Hatinya. Panjang apabila hendak menuturkan. Akhirnya para Tamu pun kembali ke tempatnya masing-masing.
57a. Dijelaskan kembali sang taruhulu yang kawin dengan Ni Cemeng melahirkan dua orang anak perempuan bernama Ni Ayu Kaywan dan Ni Ayu Poh Gading. Sang Tarunyan sesudah mujanggain bernama Mpu Kayu Ireng dan kawin dengan Ni Ayu Selem mempunyai 5 orang anak, seorang perempuan dan 4 orang laki-laki. Putranya yang tertua bernama Ki Trunyan, yangkedua bernama Sang Badengan, ketiga bernama Sang Nelem, dan yang terkecil bernama sang ketut Celagi ireng. Setelah menjadi Bujangga bernama Mpu Kayureka, hampir sama dengan nama leluhurnya. Dan setelah kawindengan NI Kinti orang laki-laki. 2 orang laki-laki dan 3 orang permpuan. Anaknya tertua bernama sang Madriakah, yang kedua bernama sang Sadrakah, yang ketiga bernama Ni Sadrya yang keempat bernama Ni Ayu Nelem.
adapun Anak Sang Kayu Ireng adalah 3 Orang perempuan dan seorang laki. Putranya bernama Ki Togog Ireng dan anaknya yang permpuan bernama Ni Cemeng. Ni Ireng. Ki Togog Ireng memperistri Ni Tarunidan setelah di apodgala bernama Mpu Kayu Sweta. Selanjutnya Ni Taruni yang lahir dari Ibunya ni Nelem mempunyai 4 orang anak yang tertua bernama sang Twed Ireng. Dan adiknya Perempuan bernama Sorga. Ni Tarunyan, Ni Blong, Ki Twed ireng sesudah mejanggain bernama Mpu Kayureka sama dengan nama leluhurnya yang telah moksa. Adapun anak sang tarunya 5 orang , seorang laki dan 4 orang perempuan, anaknya yang laki bernama Sang Tarunyan, sedangkan yang perempuan bernama Ni Ayu Tarunyan, Ni Runti, NI Rinon, Sang Tarunyan tidak mernjadi Bhujangga sebab ia seorang Pejudi.
58a. Mpu Panarajon Dimade, yang beristri dengan Ni Taruna mempunyai 7 orang anak, 3 orang laki-laki dan 4 orang perempuan. Putranya ynag tertua bernama Sang Gwa Song, yang Kedua bernama Sang made Songan, yang ketiga bernama Sang Nyoam Song. Sedangkan anak-anaknya yang perempuan bernama Ni Sadrya, Ni Rojani, Ni Tarujar, Ni Sadya diperistri oleh Mpu Ketek, Kompyang Mpu Ghnijaya, yang paling kecil, demikian Ceriteranya dahulu, setelah bebrapa lama diceriterakan kemabli Mpu Jaya Mahireng yang bersemayam di Songan sedang berunding dengan saudra, para cucu serta Kompyang semuanya. Adapun yang diperbincangkan tidak lain membicarakan Petuah-petuahyang disampaikan Leluhur kepada Beliau yaitu agar segera melaksanakann Pitra Yadnya. Panjang ceriteranya apabila membicarakan Percakapan Mereka. Akhirnya diputuskan akan melaksanakan maksud diatas.
Ketika tiba saatnya hendak melaksanakan Upakra Pitrayadnya( Pitra Tarpana) leluhurnya, tepatnya pada hari Rabu mahadewa bulan gelap(tilem) sasih kedasa, beliau mengundang seluruh Maharesi keturunan Mpu Ghnijaya yang disebut Warga Sanak Pitu yaitu Mpu Ktek, Mpu Kananda, Mpu Wirajnana, Mpu Withadarma, Mpu ragarunting, Mpu Preteka, dan Mpu Dangka. Agar berkenan datang ke Songan menyaksikan upakara diatas. Tidak terkatakan banyaknya para tamu datang yang walaupun tidak beiberikan suguhan, memreka tidak kekurangan makanan maupun minuman. Panjang ceriteranya bila menuturkan kemeriahan Upacara tersebut, sebab telah diramaikan dengan gambelan Selonding, Mpu Ketek bersama-sama Mpu Withadarma dipersilakan memimpin Upacara, Mpu Ragarunting dipersilakan memutru. Mu Ketek melaksanakan Yoga Tasik Wedana, Mpu Withadarma Mengutarakan Yajurweda, Mpu Jayamahireng megutarakan Reg Weda, Mpu Panarajonn malaksanakan Astawa Wedana sedangkan Mpu Kaywan, ikut juga memutru bersama –sama dengan Mpu Ragrunting. Tidak ada yang menandingi kemegahann dan kelengkapan saji-sajian Widhi wedana dann tidak ada kekurangannya. Bergema suara Genta tidak ubahnya seperti suara kumbang sedang mengisap bunga. Disamping itu para pendeta yang tidak ikut melaksanakan Upacara, semuanya angresi Bojana menghaturkan Punya yang dibalas dengan Do’a Pujaan. Panjang apabila menceriterakan pelaksanaan Upacra itu yang tidak terkatakan jumlah para tamunay. Tidak ada yang kekurangan suguhan, amat lengkap dan tidak ada halangan atau rintangan yang terjadi. Ketika upacra diatas selesai dilaksanakan. Maka pulanglah para tamu ke tempatnya masing-masing.
b., Selajutnya oleh karena sudah selesai upacara pitrayadnya sang leluhur, Mpu Jayamahireng disertai para saudara, anak cucunya membangun Kahyangan sesuai dengan petuah leluhurnya yaitu sanggar aghung, tempat pemujaan Bhatara Hyang Suci yang bernama Sang Hyang Taya. Gedong Tri Purusa tumpang #, tempat penujaa Bhatara Ciwa, Sadhasiwa, dan Peramaciwa yang juga bernama sanghyang Tigayadnya. Gedong tumpang 3, tempat pemujaan Bhatara Hyang Brhama Wisnu. Kemualan dengan 3 Rong. Tempat pemujaan sanghyang Tri purusa, Brahma, Wisnu Iswara. Pada waktu ketiganya sedang enunggal. Bebaturan Rong 2. tempat pemujaan sanghyang Akasa pada waktu bertemu dewngan sanghyang ibu Pretiwi yang juga disebut Ibu Bapa. Waktu mengeluarkan air Suci dan Air restu yang juga disebut Dwipala.
60a. Di Madya (jaba tengan) dibangun pesamuan Agung tempat berkoumpulnya Para Bhatara semua. Disamping itu pada halaman luar (jaba) dibangun pula bebaturan 2 Rong perlambang laki perempuan yang dipergunakan tempat menghadap para Hyang sesuai dengan petuah leluhur. Bebaturan 3 Roang tempat pemujaan Sanghyang Tiga Sakti lengkap dengan sedahan Taksu pengapi Lawang (17). Setelah pura selesai akhirnya tumbuh pohon kayu hitam yang merupakan pertanda seperti apa yang telah diutarakan leluhurnya dahulu. Itulah sebabnya pura itu disebut ( bernama) Pura Kayu Selem, yang ditemukan sekarang. Kayu dimaksud tersebut tidak lain adalah Pohon Asem yang kelihatan Hitam warnanya, pada waktu pura itu sudah selesai dibangun, mereka segera melaksanakan Upacara Piodalan yaitu menapuh, melaspa, serta ngenteg Linggih, demikian ceriteranya dahulu.
selanjutnya setelah upacara diatas dilaksanakan Mpu Jayamahireng bersama-sama pra putra serta keluarganya membangun Kahyangan yang disebut Pura JATI sebagai pertanda Sahnya Kahyangan Beliau agar dijadikan sungsungan Peduduk Bali, sebagai hakekat bahwa kelak apabila ada orang melaksanakan Upacara berkenaan dengan Upacara para Bhatara (mehayu Bhatar) dan hendak memohon Tirta Kamandalu, Keturunanku yang telah menghayati AJI PURANA, diperkenankan melaksanakan Widhi Wedananya untuk memuja dan memohon kehadapan Bhatari Gangga. Itulah sebabnya pura tersebut disebut/bernama PURA JATI. Sebagai bukti bahwa mereka benar-benar telah menghaturkan PEJATI (18). Adapun saji-saji yang berkeanan dengan Upacara di Pura Jati antara lain Suci Asoroh, Itik hitam Jambul, Telur sebagai perlengkapan Sucinya, Ketipat Kelanan, Ajuman, Canang Segehan, Pekelemnya (19) Itik Hitam Jambul, Hewan Hitam Daksina, sesuai dengan Upacara yang sedrhana( Nista) menengah ( madya) dan Utama.
61.a Apabila Upacara Utama, Uangnya berjumlah 700, madya 500, nista 425, lengkap, tidak boleh mengurangi sebab apabila mengurangi tidak akan menemukan hasil, demikian Upacara di PURA JATI. Mpu Jayamahireng bersrta Saudara-saudaranya dan anak-cucu serta Kompyang selesai sudah menghaturkan Upacara sesuai dengan petuah leluhur yang telah mencapai alam Sorga. Marilah tijau kembali Upacara yang disebut dengan Butha Yadnya dan Manca Walikrama, setelah selesai melaksanakan Manca Walikrama lalu menurunkan para Bhatara semua dan melaksanakan upacra ngenteg linggih, adapun hari pelaksanaantersebut pada hari Saniscar(sabtu)_, pon, Phang hari tanggal ping 13, sasih 10 rah 2 tenggek 1. tahun caka 112, yang bersamaan dengan Upacara di Besakih, Sejak itu penduduk agar menghormati para Sedaka.
Lebh-lebih pemegang Pemerintahan Cri Haji Dalem Tapohulung amat mengagumkan Wibawa Belaiu yang tak Ubahnya sebagai Penjelmaan Hyang Lahasija pada waktu masih Jejaka dan belum beristri. Para Bjangga Sanak Pitu yaitu Mpu Ketek, Mpu Kananda, Mpu Wirajnana, Mpu Withadarma, Mpu Ragarunting, Mpu Preteka, Mpu Dangka serta para Sisya semua diharapkan agar menghaturkan sembah dan Upacara Bhuta Yadnya berkenaan dengan Upacara di atas yang dimulai sejak sasih ke &, untuk kelengkapan Upacara Catur Muka Itik Putih Jambum, diolah winangun urip(20) selengkapnya disertai sebuah Suci, Itik Putih Jambul dandanan, Ketipat Kelanan tulung Urip ditempatakan di sanggah cucuk dilengkapi dengan berjenis-jenis binatang.
62a. Disebelah selatan dihaturkan anjing berwarna merah bermulut hitam. Dilengkapi sajen asoroh serta dandanan, ketupat kelanan, tuung urip ditempatkan pada sanggah cucuk lengkap dengan berjenis-jenis binatang arak, tuwak, sewakul beras, uang 250 atau gulung benang, sebutir telur sebuah Daksiana, Uang sejumlah 700, klabang meikuh, Sujang(21), Nasi merah lengkapa dengan sajiannya. Disebelah Barat Angsa diolah winangun Urip yang dikerjakan sesuai dengan mengolahan dahulu. Disebelah Utara anak Babi Jantan yang belum dikebiri diolah Wianngun Urip, Suci Asoroh yang juga dikerjakan sesuai dengan pengolahan terdahulu. Dibagian Tengan Binantang Lima warna diolah Winangun Urip, Suci Asoroh, lengkap dengan Binatang – Binatang lainnya seperti yang telah disebutkan terdahulu dan meguling pebangkit(22).
Sajian di Panggungan antara lain, Suci asoroh, Tumpeng Agung, Ghuru Piduka, sesayut Prayscita, sesayut sudamala, sesayut Pengamabian, sesayut Pebersihan, sesayut Byakawon, sesayut penapuh lara, sesayut Dirgayusa, sesayut Panca Bumi. Sajian di Sanggar Tawang sebuah Suci Pingit, Daksina Agung diletakan dihadapan orang yang akan melakukan Upacara, untuk upacara untuk Upacara Nista Uangnya berjumlah 4500, madya 8500sedangkan utnuk Utama 16000. pada sasih 8, dilaksanakan Upacara manca Walikrama. Saji-sajiannya yang disajikan pada Upacara ini antara lain,Kambing anjing berbulu merah multunya Hitam, anak babi jantan yang belum dikebiri, Angsa, itik Belang kalung, hewan lima ekor, (manca warna) yang masing-masing diolah Winangun Urip, dan masing-masing disertai pula dengan Suci asoroh lengkap dengan saji-sajiannya. Pada SANGGAR Tawang dihaturkan suci asoroh dan daging itik putih jambul, pada Panggungan Suci pawitra disertai tumpeng Agung, guru Piduka, Paneneng, Sesayut dirgayusa, sesayut pabersihan, Sesayut Sudamala, sesayut Byakala, Sesayut Sapuh Lara.
63a. Di bawahnya seekor guling pebangkit, utuh, Gayah, daging babi serta saji- sajian lainnya serta daging Babi anatar lain kakuwung, Gunting, lelet, asem, sate besar, pusut daun beringin, ambulu, surya, candra, nagasari, sudamala, gedong simpen, gedong sari, kacu, jejaringan, bangsula, dilengkapi dengan sajian serta Daksina. Demikian tatacaranya dahulu dan apabila hal ini belum jelas dapat ditanyakan kehadapan sang Brahmana tidak melebihi mengurangi, pada waktu tiba saatnya sasih ke sangga(9), dilaksanakan Upacara Ahya Brahma, dilengkapi dengan jenis-jennis binatang daging Kerbau, yang diolah Winangun Urip, Sapi, Kambing, Anjing hitam, anaknya babi jantan ( kucit butuhan) Harimau, Angsa, Itik Blangbungkam, hewan 5 ekor yang warnanya berbeda-beda, disertai sajiannya masing-masing yaitu suci asoroh, binantang, Gayah agung,
mapring, sanggah Tutuan, Pring tersebut dilengkapi Suci asoroh, dagingnya daging Itik Hitam lengkap dengan sajian pada Gayah, sajian pada Panggungan agung sajian Catur dilengkapi sajian Catur selengkapnya, Pada sanggar Tawang Suci Putih, meladha putih, lengkap dengan segala mentah, Rah, eng(23) serta daksina Nista madya utama. selanjutnya pada waktu menurunkan Bhatara semua Upacara sajiannya serba suci yaitu masing-masing suci asoroh, dengan sajiannya lengkap dan tidak boleh menguranginya, adapun pengaturan saji wedana, dibagian bawah dilaksanakan sesuai dengan tatacara melaksanakan pengenteg Linggih. Dipanggungan menghaturkan sajian catur sesuai dengan yang telah dijelaskan didepan dan disucikan oleh Brahmana. Ketika tiba saatnya tilem kedasa, mereka mengadakan upacara piodalann setiap tahun.
64a. Demikia ceriteranya dahulu. Kini selsailah sudah upacra karya tersebut. Tidak terkatakan hidangan yang disuguhkan kehadapan para tamu sebab semuanya tidak ada kekurangan makanan atuapun minuman. Panjang apablia hendak menceriterakannya. Kemudian pulanglah para tamu kerumahnya masing-maasing. Upacara diatas sasih 7 samapi sasih kedasa(10). Demikian ceriteranya setelah beberapa lamanya Bhujangga Bali itupun makin bertamabah lanjut usianya.Mpu Jayamahireng, Mpu Panorajon, Mpu Tarunan, serta para Mpu anak Sisyanya yang sudah genap tiga turunan bertambah Tua. Semuanya telah mengecap kebahagiaan yang tak usah dibicarakan lagi. Kini diceriterakan mereka yang sedang ditinggalkan yaitu Sang Tarunan dan Sang Badengan, Sang Wreksa Ireng memperistri Ni Ayu Reka anak Sang Kayu Ireng yang bernama Sang Togog Ireng memperistri anak sang Panorajon yang putranya bernama Ni Rojani. Sang Panorajon yang putranya bernama pula sang Panarajon mengambil (anak) sang Tarunan yang bernama Ni nelem /sanak sang Tarunan yang kedua, bernama Twed Ireng memperistri anak sang kayu Panarajon, yang bernama ni Nelem dan dimadu Ni Cemeng sang kayu ireng, sang Dryakah anak sang kayu Ireng berumah tangga dengan ni Ayu Ireng. Anak sang Tarunan yang bernama sang badengan diambil oleh sang Ireng, mereka semuanya telah melahirkan keturunan anak beranak bercucu, berbuyut, mancangah, mewareng serta maijengan.
65a. Diceriterakan mereka itu semuanya amat bakti terhadap ataupun terhadap Kahyangan mereka selalu taat melkasnakan upacara piodalan Bhatara maupun leluhur tiap tahun. Ada pula petuah mereka kepada seluruh keturunannya sesuai dengan petuah leluhur dahulu agar tidak memlalaikan Titi Gegaduhan, memperbaiki Kahyangan Bersujud kehadapan leluhur, kelak apabila mereka bertempat tinggal berjauhan mereka harus selalu ingat dan mewarisi sampai seterusnya. Apabila mereka lupa dan tidak mengetahui leluhurnya mereka akan kena kutukan Sang Hyang tri purusa lebih-lebih kutukan leluhur. Demikmian Ceriteranya.
Langganan:
Postingan (Atom)