Om namā bhujanggā bħuddayā.

Om awighnam astu namā śidyam. Om prânamyam sirā sang widyam, bhukti bhukti hitartwatam, prêwaksyā tatwam widayah, wişņu wangsā pādāyā śiwanêm, sirā ghranā sitityam waknyam. Rajastryam mahā bhalam, sāwangsanirā mongjawam, bhupa-lakam, satyamloka. Om namadewayā, pānamaskaraning hulun, ri bhatarā hyang mami. Om kara panga bali puspanam. Prajā pasyā. nugrah lakam, janowa papā wināsayā, dirgha premanaming sang ngadyut, sembahing ngulun ri sanghyang bhumi patthi, hanugrahaneng hulun, muncar anākna ikang tatwa, prêtthi entananira sang bhujanggā wişņawa, tan katamanan ulun hupadrawa, tan kêneng tulah pāmiddi, wastu pari purņā hanmu rahayu, ratkeng kulā warggā sāntanannirā, mamastu jagatitayā. Ong namasiwaya, ong nama bhuddayā. Om namā bhujanggā bħuddayā.

Kamis, 27 Januari 2011

BHUJANGGA DHARMA INDONESIA: Jejak Markandeya di Bumi Parhyangan


Pura Murwa (Purwa) Bhumi menjadi tonggak pertama kali Maharsi Markandeya menyebarkan ilmu keagamaan, menularkan ilmu teknologi pertanian pada orang Aga yang tinggal di Payangan. Kecamatan Payangan yang berlokasi di belahan barat laut, Kabupaten Gianyar, selama ini lebih banyak dikenal sebagai daerah pertanian, terutama penghasil buah leci. Satu identitas yang sulit ditampik kenyataannya. Mengingat hanya di Payangan jenis tanaman yang menurut cerita masyarakat Payangan berasal dari negeri Tirai Bambu, Cina, banyak bertumbuhan.
Di balik potensi pertanian yang dimiliki, kawasan yang berada sekitar 500 meter dari permukaan laut ini ternyata memiliki banyak tempat suci tergolong tua. Satu di antaranya Pura Murwa Bhumi.
Lokasi pura tua ini tak jauh dari pusat kota kecamatan. Kalau Anda berangkat dari Denpasar hendak menuju Kintamani dan mengambil jalur jalan raya Payangan, maka di satu tempat sebelah timur jalan, kurang lebih 500 meter sebelum Pasar Payangan, coba sempatkan melihat ke arah kanan jalan (arah timur). Di sana terpampang dengan jelas papan nama Pura Murwa Bhumi atau masyarakat sekitar ada menyebut Purwa Bhumi. Dalam penjelasan Kelian Dinas Pengaji sekaligus menjadi Kepala Desa Melinggih Kelod, I Made Suwardana, pura yang diempon warga Desa Pengaji ini memiliki pertalian dengan kisah perjalanan seorang tokoh suci Maharsi Markandeya, di tanah Bali Dwipa.
Seperti banyak tersurat dalam lontar atau Purana, di antaranya lontar Markandeya Purana, bahwa sang yogi Markandeya yang kawit hana saking Hindu (yogi Rsi Markandeya berasal dari India), melakukan perjalanan suci menuju tanah Jawadwipa. Beliau sempat beryoga semadi di Gunung Demulung, lalu berlanjut ke Gunung Di Hyang—kelak Gunung Di Hyang dikenal dengan nama Gunung Dieng, berlokasi di Jawa Tengah.
Dari Gunung Dieng Rsi Markandeya meneruskan perjalanan menuju arah timur ke Gunung Rawung yang terletak di wilayah Kabupaten Banyuwangi, Propinsi Jawa Timur. Di Gunung Rawung sempat membangun pasraman, sebelum akhirnya melanjutkan perjalanan ke Bali.
Di pulau mungil ini Maharsi bersama pengikutnya merabas hutan dan membangun banyak tempat suci.
Di antaranya Pura Murwa Bhumi.

Mengenai Pura Murwa Bhumi, tradisi lisan di Payangan dan sekitarnya menyebutkan, tempat suci ini konon menjadi tempat pertama kali Maharsi Markandeya memberikan pembelajaran kepada para pengikutnya. Penegasan yang cukup masuk diakal, terutama bila dikaitkan dengan nama tempat di mana pura tersebut dibangun, yakni Desa Pengaji.
Besar kemungkinan nama Pengaji diambil dari satu tugas mulia Maharsi Markendya selama berada di Payangan, yakni memberi pengajian (pembelajaran) pada orang-orang. “Kehadiran Pura Murwa Bhumi ada tercatat di dalam prasasti,” sebut Cokorda Made Ranayadnya, tetua dari Puri Agung Payangan, sekaligus pangempon di Pura Murwa Bhumi. Satu di antaranya tertulis dalam prasasti Pura Besakih yang termuat di Buku Eka Dasa Ludra. Dalam buku itu disebutkan secara singkat bahwa ada pura di Payangan bernama Pura Murwa Bhumi. Dulu, warga sekitar sering menyebut Pura Dalem Murwa.
Tak beda jauh dengan penjelasan Cok Ranayadnya. Dalam buku Sejarah Bali Jilid I dan II, karangan Gora Sirikan dan diterbitkan Nyoman Djelada, juga ada menerangkan, kedatangan Rsi Markandeya yang kedua ke Bali dengan mengikutsertakan ribuan orang dari Desa Aga, Jawa. Orang Aga ini dikenal sebagai petani kuat hidup di hutan.
Maharsi Markandeya mengajak pengikut orang Aga guna diajak merabas hutan dan membuka lahan baru. Setelah berhasil menunaikan tugas, maka tanah lapang itu dibagi-bagikan kepada pengikutnya guna dijadikan sawah, ladang, serta sebagai pekarangan rumah. Tempat awal melakukan pembagian itu kelak menjadi satu desa bernama Puwakan. Kini lokasinya di Desa Puwakan, Taro Kaja, Kecamatan Tegallang, Kabupaten Gianyar.
Tentang pembagian tanah dan kehadiran maharsi di Bali, dalam Markandya Purana ada dijelaskan:
Saprapta ira sang Yoghi Markandya maka di watek pandita Adji, mwah wadwan ira sadya ring genahe katuju, dadya ta agelis sang Yoghi Markandya mwang watek Pandita prasama anangun bratha samadhi, anguncar aken wedha samadhi, mwah wedha pangaksamaning Bhatara kabeh, sang Pandita aji anguncar aken wedha panulaks arwa marana, tarmalupengpuja samadhi, Dewayajna mwang Bhhutayajna, Pratiwi stawa. Wus puput ngupacaraning pangaci aci, irika padha gelis wadwan ira kapakon angrabas ikangwana balantara, angrebah kunang taru-taru, ngawit saking Daksina ka Utara. Reh sampun makweh olih ngrabas ikang wana balantara, mwah dinuluran swecaning Hyang tan hana manggih pasangkalan, Sang Yoghi Markandya anuduh akenwadwan ira araryanrumuhun angrabas wana ika, tur wadwan ira sadaya, angangge sawah mwang tegal karang paumahan.....,
Artinya:
Setibanya Sang Yoghi Markandya seperti juga para Pandita Aji, bersama rakyatnya semua di tempat yang di tuju, maka segera Sang Yoghi Markandya dan para pandita semuanya melakukan bratha samadi, dengan mengucapkan wedha samadi, serta weda memohon perkenan Ida Batara semua, Sang pandita Aji mengucapkan weda penolakan terhadap semua jenis hama dengan tak melupakan puja samadhi, menyelenggarakan upacara Dewayajnya dan Bhutayajnya, serta memuja Pertiwi. Setelah selesai melakukan pangaci-aci (melakukan upacara), maka seluruh rakyatnya diperintahkan merabas hutan belantara tersebut, menebang kayu-kayu, di mulai dari selatan setelah itu baru ke utara.Atas perkenan Tuhan Hyang Maha Kuasa, proses perabasan hutan tak mendapat halangan. Karena sudah luas, maka Sang Yoghi Markandya memerintahkan rakyatnya untuk berhenti melakukan perabasan hutan. Yoghi Markandya kemudian membagi-bagikan lahan itu kepada pengikutnya untuk dijadikan sawah, tanah tegalan, serta pekarangan rumah,.....
Usai melakukan pembagian tanah, Maharsi Markandeya kembali melakukan pertapaan di satu tempat yang mula-mula diberi nama Sarwadha. Tempat dimaksud kini menjadi Desa Taro, sedang Sarwadha, kini merupakan lokasi satu tempat suci cukup besar. Sarwadha sendiri berasal dari kata sarwa (serba) dan ada, Jadilah serba ada, artinya di tempat inilah segala keinginan tercapai, lantaran semua serba ada.
Setelah keinginan terpenuhi di Taro, Maharsi kemudian melanjutkan perjalanan serta memindahkan tempat pertapaan ke arah barat. Pada satu lokasi yang masih asri. Di tempat baru itu Beliau mendapat inspirasi (kahyangan) dari Tuhan, makanya lamat-lamat tempatnya dinamakan kahyangan, kemudian berubah lagi menjadi parhyangan, dan kini disebut Payangan.
Tempat di mana rohaniwan mengelar pertapaan dibuat sebuah mandala srta didirikan sebuah sebagai tempat memuja para dewa. Pura dimaksud diberi nama Murwa yang artinya permulaan.Belum benderang betul kenapa pura yang diberi nama Purwa atau Murwa (kini bernama Murwa Bhumi) disebut sebagai permulaan. Tiada tanda jelas yang bisa dijadikan bukti otentik.
Tapi, bila ditelaah lebih jelas, kata Purwa sama dengan timur atau yang pertama. Di timur pertama kali matahari mulai memancarkan sinarnya yang benderang. Di timur pula bulan kali pertama terbit.
Jika dikaitkan dengan perjalanan Maharsi di Payangan, boleh jadi di Pura Murwa Bhumi-lah dijadikan tempat pertama oleh Maharsi Markandeya bertapa sekaligus memberikan pembelajaran bagi para pengikut menyangkut agama dan cara-cara berteknologi guna memperoleh kemakmuran. Makmur yang dimaksud zaman dulu, jelas menyangkut cara bertani yang baik dan benar sehingga mampu mendapat hasil bagus.
Tempat suci yang diempon warga Desa Pakraman Pengaji, menurut Bandesa Pakraman Pengaji Dewa Ngakan Putu Adnyana, masih memiliki beberapa peninggalan. Di antaranya palinggih babaturan dan Gedong Bang yang menjadi stana Ida Rsi Markandeya. “Dulu ada peninggalan terbuat dari batu yang dinamakan Bedau. Bentuknya menyerupai perahu,” kata Ngakan Adnyana. Dari Bedau itu terus keluar air yang biasa dimohon oleh warga guna dijadikan sarana pengobatan, terutama bila ada ternak yang sakit. Sayang, tinggalan tua itu telah rusak dan sebagai pengingat saja, warga mengganti dengan perahu batu baru.Selain tinggalan tua berupa palinggih, di Pengaji sampai saat ini masih berkembang struktur masyarakat Bali Aga terutama menyangkut keagamaan, yang dinamakan Ulu Apad (delapan tingkatan), mulai dari Kubayan, Kebau, Singgukan, Penyarikan, Pengalian, pemalungan, Pengebat Daun, dan Pengarah. Warga yang tercatat dalam struktur organisasi tradisional ini akan menunaikan tugas sesuai fungsi dan jabatan yang dipegang.
Tapak–tapak Suci Sang Maharsi
Jejak perjalanan Rsi Markandeya menelusuri tanah Balidwipa, banyak meninggalkan atau ditandai oleh pembangunan tempat suci. Pura itu banyak yang menjadi sungsungan jagat, tak sedikit pula yang di-emong warga desa pakraman.
Tempat-tempat suci yang berhubungan dengan Rsi Markandeya di Bali meliputi Pura Basukian di kaki Gunung Agung (Gunung Tolangkir), tepatnya di Desa Besakih, Kecamatan Rendang, Kabupaten Karangasem. Semula, lokasi pura merupakan tempat yajnya tempat Rsi Markandeya menanam kendi yang berisi Pancadatu, lima jenis logam mulia. Seperti perunggu, emas, perak, tembaga, dan besi. Tujuannya, supaya Maharsi beserta pengikutnya mendapat keselamatan. Lamat-lamat komplek pura Basukian dikenal dengan nama Besakih.
Berikutnya ada Pura Pucak Cabang Dahat. Tempat suci ini berlokasi di Desa Puwakan, Taro, Kecamatan Tegalalang, Kabupaten Gianyar. Pura ini dibangun sebagai tanda pertama kali Maharsi beserta pengikutnya melakukan perabasan hutan setelah menggelar yajnya di kaki Gunung Agung. Setelah sukses merabas hutan, Maharsi Markandeya kemudian membagi-bagikan lahan kepada pengikutnya guna dijadikan pemukiman dan areal pertanian.
Masih di wilayah Desa Taro, Rsi Markandeya juga membangun Pura Gunung Raung, sebagai tempat panyawangan (perwakilan) Gunung Raung yang terdapat di Desa Sugih Waras, Kecamatan Glanmore, Kabupaten Banyuwangi, Jawa Timur. Sebab dari tempat itulah pertama kali sang Rohaniwan mendapat wangsit sebelum datang ke Bali. Di kawasan Ubud ada dua tempat suci sebagai pertanda kedatangan Rsi Markandeya, yakni Pura Pucak Payogan di Desa Payogan dan Pura Gunung Lebah di Campuhan, Ubud, Kabupaten Gianyar.
Setelah berhasil merabas hutan di Besakih, Rsi Markandeya kemudian bersemadi. Dalam semadinya menemukan satu titik sinar terang. Selanjutnya Rohaniwan ini menelusuri sinar yang ditemukan dalam beryoga, hingga sampai pada satu tempat agak tinggi ditumbuhi hutan lebat. Pada lokasi dimaksud Rsi Markandeya melakukan yoga semadi. Nah, di tempat Maharsi beryoga itulah selanjutnya berdiri Pura Pucak Payogan.
Sekitar dua kilometer arah tenggara Pucak Payogan, tepatnya di Campuhan Ubud, Rsi Markandeya mendirikan tempat suci Gunung Lebah. Pura ini dibangun sebagai tempat sang yogi melakukan penyucian diri dari segala mala petaka atau tempat panglukatan dasa mala.
Dalam Bhuwana Tatwa Maharsi Markandeya ada ditegaskan:
Mwah ri pangiring banyu Oos ika hana Wihara pasraman sira rsi Markandya iniring para sisyan ira, makadi kula wanduan ira sira sang Bhujangga Waisnawa....”
Artinya : di pinggir sungai Oos itu terdapat sebuah Wihara sebagai pasraman Ida Maharsi Markandeya disertai oleh muridnya, seperti sanak keluarga sang Bhujangga Waisnawa.


Ketika melanjutkan perjalanan ke wilayah Parhyangan (Payangan), sesuai yang tersurat di buku Bhujangga Waisnawa dan Sang Trini, karangan Gde Sara Sastra, bahwa Maharsi Markandeya juga membangun tempat suci Murwa (Purwa) Bhumi. Pura dimaksud berlokasi di Desa Pakraman Pengaji, dan warga setempat meyakini di tempat itulah Maharsi dari India ini pertama kali (Purwa) memberikan proses pembelajaran kepada para pengikutnya. Pelajaran yang diberikan selain menyangkut agama juga tentang teknologi pertanian.
Setelah berhasil memberikan pengajian, termasuk menjadikan masyarakat Aga di Payangan sukses dalam mengelola pertanian, maka sang Maharsi kembali membangun tempat suci yang diberinama Sukamerih (mencapai kesukaan). Letaknya tepat di seberang jalan Pura Murwa Bhumi.
Sesuai penjelasan Bandesa Pakraman Pengaji, Dewa Ngakan Putu Adnyana, kedua pura tadi oleh warga Pengaji diyakini ada saling keterkaitan. Maka, upacara keagamaan juga dilaksanakan secara bersamaan.
Kasurat olih Suastra

BHUJANGGA DHARMA INDONESIA: Pura Luhur Bhujangga Waisnawa



Pura Luhur Kawitan Bhujangga Waisnawa

Imam lokam mtrbhaktya
Pitribhaktya tu madhyamam
Gurucicrusaya tvevam
Brahmalokam samasnute.

(Manawa Dharmasastra, II.233)

Maksudnya:
Dengan berbakti pada ibunya manusia akan mencapai kebahagiaan di bumi ini. Dengan berbakti pada ayahnya manusia akan mencapai kebahagiaan di alam tengah. Tetapi dengan berbakti pada guru kerohaniannya manusia akan mencapai Brahma Loka.

Mengarungi kehidupan di dunia maya ini tanpa guru sungguh hidup akan mengalami kegelapan. Dalam Vana Parwa 27.214 menyatakan adanya lima guru yaitu Agni yaitu sinar suci Tuhan itu sendiri. Atman yaitu unsur Tuhan atau Brahman yang ada dalam diri setiap manusia. Mata Pita yaitu ibu dan ayah serta Acarya yaitu guru pengajian. Dalam tradisi Hindu di Bali dikenal adanya istilah Catur Guru yaitu Guru Swadyaya, Guru Rupaka, Guru Pengajian dan Guru Wisesa.

Menurut kutipan Sloka Manawa Dharmasastra di atas berbakti pada ibu, ayah dan guru kerohanian sungguh menjanjikan pahala yang amat mulia. Pahala tersebut berupa kehidupan yang bahagia di alam Sekala dan Niskala.

Demikian pulalah keberadaan Pura Luhur Kawitan Bhujangga Waisnawa di Jati Luwih sebagai tempat pemujaan untuk memuja leluhur dan juga memuja Guru dalam arti yang lebih luas. Memuja ibu, ayah dan acarya sebagai guru demikian mulianya pahalanya. Sedangkan dalam Sarasamuscaya 250 dinyatakan bahwa mereka yang berbakti pada orangtua dengan sungguh-sungguh akan memperoleh empat pahala.

Adapun empat pahala itu adalah Kirti, Bala, Yasa dan Yusa (sejahtra, kuat lahir batin, mampu berbuat jasa dan panjang umur). Demikianlah berbakti pada Batara Kawitan sebagai tangga berbakti pada Tuhan merupakan hal yang diajarkan dalam sistem pemujaan Hindu. Berbakti menurut ajaran Hindu adalah puncak dari Jnyana dan Karma. Mencari ilmu pengetahuan dan bekerja sebagai persembahan pada Tuhan berdasarkan yadnya. Karena upacara agama Hindu yang mengandung unsur Jnyana dan Karma kalau tanpa bakti akan sia-sia.

Pura Luhur Kawitan Bhujangga Waisnawa di Desa Jati Luwih Kecamatan Penebel, Tabanan adalah tempat suci sebagai media pemujaan Batara Kawitan dari Wangsa Bhujangga Waisnawa. Di pura ini dipuja roh suci leluhur atau Dewa Pitara dari Wangsa Bhujangga Waisnawa dan tentunya juga sebagai media pemujaan pada Tuhan dalam berbagai manifestasinya.

Dalam buku Bhuwana Tattwa Maha Resi Markandheya oleh Bapak Ketut Ginarsa dinyatakan pura ini didirikan oleh Ida Bagus Angker yang setelah dwijati bergelar Ida Bhagawan Resi Canggu. Hal ini dipertegas oleh Bapak Made Raka Santri, S.Ag., M.Ag. dan Bapak Nym. Sember Saputra, S.H. -- pratisentana Bhujangga Waisnawa.

Menurut kedua pratisentana ini, Pura Luhur Bhujangga Waisnawa ini di samping sebagai Pura Kawitan sangat diyakini di masa lampau sebagai suatu pasraman. Ida Bagus Angker ini juga sebagai pendiri Pura Petani yang berada di areal lebih di bawah dari Pura Luhur Kawitan Bhujangga Waisnawa. Ida Bagus Angker mendirikan Pura Luhur Kawitan Bhujanga Waisnawa dan Pura Petali di Desa Jati Luwih ini pada zaman pemerintahan di Bali dipimpin oleh Dalem Watu Renggong dengan ibu kotanya di Klungkung. Dalem Watu Renggong memerintah di Bali dari tahun 1460-1550 Masehi. Ida Bagus Angker ini bukanlah Ida Bagus Manik Angkeran, putra Mpu Sidhi Mantra yang hidup sekitar abad ke-10 Masehi.

Mengenai Ida Bagus Angker dalam kitab Bhuwana Tattwa Resi Markandheya dinyatakan ''muwah unggwan ira Ida Bagus Angker ingaran Jatiluwih.'' Artinya: Kemudian sesungguhnya beliau Ida Bagus Angker disebut sebagai ''Jati luwih''. Mengapa daerah yang ditempati Ida Bagus Angker disebut ''Jati Luwih'' karena beliau sangat mahir dalam ilmu sastra juga dalam ilmu ''dunia pana dan dunia baka''.

Demikian disebutkan dalam Bhuwana Tattwa Resi Markandheya. Beliau sangat mahir juga dalam ilmu perbintangan (wariga). Usada (ilmu pengobatan) terutama bagi mereka yang sakit berat dan beliau juga amat paham akan ilmu kerohanian. Karena ''luwihnya'' Ida Bagus Angker yang sungguh-sungguh atau sejati itulah kemungkinan desa tersebut diberi nama ''Jati Luwih''.

Ida Bagus Angker wangsa Bhujangga Waisnawa dengan gelar Dwijati Ida Resi Canggu itu putra dari Ida Resi Waisnawa Mustika yang juga bernama Resi Semaranata. Resi ini keturunan dari Maha Resi Dang Hyang Markandheya. Leluhur tertinggi dari Wangsa Bhujangga Waisnawa ini adalah Sang Hyang Meru. Demikian dinyatakan dalam buku Bhuwana Tattwa Resi Markandheya.

Di Desa Jati Luwih terdapat empat kompleks pura penting yaitu yang di areal paling bawah Pura Petali, lebih di atas Pura Luhur Kawitan Bhujangga Waisnawa, lebih di atas lagi Pura Resi dan yang di bukit paling atas adalah Pura Taksu. Di Pura Taksu ini banyak para profesi mohon taksu agar dapat menampilkan profesinya dengan karismatis. Seperti para seniman, para balian, pedagang, dll.

Pelinggih utama di Pura Luhur Kawitan Bhujangga Waisnawa ini adalah Meru Tumpang Sebelas sebagai tempat memuja Batara Kawitan Bhujangga Waisnama. Di sebelah barat Meru Tumpang Sebelas ini terdapat Meru Tumpang Pitu. Dua Meru berjejer ini kemungkinan sebagai simbol Batara Kawitan dalam wujudnya sebagai Purusa dan Predana. Di sudut timur laut atau ersania ada Pelinggih Padmasana sebagai penyawangan Batara di Gunung Batukaru.

Di leretan timur paling utara terdapat pelinggih ruang dua. Menurut buku Desertasi Prof. Dr. Ida Bagus Mantra saat meraih gelar Dr. di Santi Niketan India menyatakan pelinggih ruang dua itu sebagai pemujaan Batari Putri Laksmi dan Batara Guru. Di sebelah selatan dari pelinggih ruang dua ini terdapat Padmasana penyawangan Batara di Gunung Agung. Inilah pelinggih yang terpenting di areal utama mandala. Di madia mandala atau jaba tengah terdapat balai panjang sebagai pelengkap.

Di jaba sisi terdapat Merajan dengan Pelinggih Kemulan sebagai pelinggih utama. Kemungkinan di tempat inilah sebagai areal pemukiman tempat tinggal para Pandita Bhujangga Waisnawa saat pura ini masih aktif berfungsi sebagai pasraman. Di sebelah barat Pura Luhur Bhujangga Waisnawa itu terdapat juga Pura Beji tempat nunas toya bahan tirtha untuk dipergunakan di Pura Kawitan tersebut.* I Ketut Gobyah