Om namā bhujanggā bħuddayā.

Om awighnam astu namā śidyam. Om prânamyam sirā sang widyam, bhukti bhukti hitartwatam, prêwaksyā tatwam widayah, wişņu wangsā pādāyā śiwanêm, sirā ghranā sitityam waknyam. Rajastryam mahā bhalam, sāwangsanirā mongjawam, bhupa-lakam, satyamloka. Om namadewayā, pānamaskaraning hulun, ri bhatarā hyang mami. Om kara panga bali puspanam. Prajā pasyā. nugrah lakam, janowa papā wināsayā, dirgha premanaming sang ngadyut, sembahing ngulun ri sanghyang bhumi patthi, hanugrahaneng hulun, muncar anākna ikang tatwa, prêtthi entananira sang bhujanggā wişņawa, tan katamanan ulun hupadrawa, tan kêneng tulah pāmiddi, wastu pari purņā hanmu rahayu, ratkeng kulā warggā sāntanannirā, mamastu jagatitayā. Ong namasiwaya, ong nama bhuddayā. Om namā bhujanggā bħuddayā.

Minggu, 26 September 2010

SANGGAH KEMULAN

Antara tahun 2000 s/d 500 S.M telah terjadi perpindahan agama Austronesia secara bergelombang dari Hindia Belakang ke berbagai kepulauan antara Madagaskar di barat sampai pulau Paska di timur, dan antara pulau Formusa di utara sampai pulau Selandia Baru di selatan. Termasuk ke kepulauan Nusantara.

Kedatangan mereka ke kepulauan Nusantara terjadi dalam dua gelombang. Gelombang pertama terjadi sekitar tahun 2000 SM, dan gelombang kedua terjadi tahun 500 SM. Bangsa Austronesia yang datang pada gelombang pertama disebut Proto Melayu. Bangsa Proto Melayu masih menggunakan alat-alat dari batu, tetapi cara pembuatannya sudah sangat halus. Oleh karena itu mereka disebut pendukung kebudayaan batu baru. Dan zamannya disebut zaman batu Baru (Neolitikum). Diperkirakan bangsa Proto Melayu ini juga pernah mendiami daratan Bali. Hal ini terbukti ditemukannya peninggalan-peninggalan zaman Batu Muda tersebar di pulau Bali (Soekmono, 1073).

Bangsa Austronesia yang datang pada gelombang kedua disebut dengan Deutro melayu. Bangsa Deutro Melayu inilah yang merupakan nenek moyang orang Bali Asli. Adanya sebutan Bali Mula adalah untuk membedakan dengan orang-orang yang leluhurnya datang belakangan ke Bali, yang mereka datang umumnya dari Jawa.

Kedatangan bangsa Austronesia yang datang terakhir ini telah berkebudayaan tinggi. Alat-alat mereka bukan saja dari batu yang diperhalus bahkan mereka juga sudah membuat alat-alat dari logam khususnya dari perunggu. Berbagai alat dari perunggu mereka buat antara lain : Nekara, tajak, gelang dan lain-lain yang dipakai sebagai bekal kubur. Mereka sudah menguasai teknik yang tinggi misalnya tata cara pembuatan neraka dari perunggu. Masa pembuatan alat-alat dari perunggu ini disebut masa perundagian.Berdasarkan peninggalan-peninggalan yang sampai pada kita terbukti mereka telah mempunyai kreasi seni yang tinggi mutunya. Hal ini terbukti dari hiasan-hiasan nekara perunggu, yang kini tersimpan di Penataran Sasih Pejeng.

Bentuk peninggalan yang kedua merupakan alat dari batu adalah peti mayat yang disebut sarkofagus yang banyak diketemukan di daerah Bali. Dari penemuan ini ada yang diketemukan utuh dengan kerangka serta bekal kuburnya seperti halnya diketemukan di Cacang, Bangun Lemah Bangli. Jadi mereka telah mengenal sistem penguburan dengan peti mayat. Sudah tentu mereka yang dikuburkan dengan cara ini adalah orang-orang yang terhormat dari masing-masing kelompok masyarakat. Sedangkan untuk orang kebanyakan mungkin hanya ditanam saja.

Orang-orang Austronesia dari zaman perundagian ini ternyata kehidupan mereka sudah begitu teratur. Mereka tinggal berkelompok yang membentuk suatu persekutuan hukum yang mereka namakan thani atau dusun.Orang-orang Austronesia ini mempunyai kepercayaan bahwa roh leluhurnya akan selalu melindungi mereka. Oleh karenanya selalu ia puja.

Untuk kepentingan pemujaan ini mereka membuat alat-alat dari batu yaitu :

1. Menhir yaitu tiang-tiang atau tugu batu yang merupakan timbunan tenaga sakti dari pada Hyangnya.

2. Bangunan Punden berundag, tiruan dari pada gunung sebagai tempat di mana Hyang mereka bersthana.

3. Arca-arca batu yang sederhana sebagai perwujudan para Hyangnya.4. Tahta batu (Dolmen) adalah alter tempat sajian para pemujanya.

Dari temuan-temuan Arkeologi disimpulkan bahwa ada tiga jenis pemujaan yang dilakukan oleh masyarakat Bali karena pengaruh Austronesia yang berkembang pada jaman itu, yaitu :

1. Pemujaan terhadap arwah leluhur.

2. Pemujaan terhadap arwah para pemuka masyarakat.

3. Pemujaan terhadap kekuatan alam.

Pemujaan terhadap roh leluhur inilah yang disebut Sanggah atau Pemrajaan. Di dalam Sanggah ini ada bangunan rong tiga (tiga ruang) yang disebut Sanggah Kemulan tempat roh leluhur itu. Roh-roh tersebut dapat memberikan perlindungan dan pertolongan kepada manusia, tetapi dapat pula menimbulkan bencana. Oleh karena itu untuk mengambil hati roh-roh tersebut (agar tidak mencelakakan, tetapi sebaliknya memberikan bantuan) maka roh tersebut dipuja melalui persembahan saji-sajian. Yang pertama yang dipuja adalah roh orang-orang besar dan roh nenek moyang, yang disebut Hyang atau Dewa Hyang. Roh suci seseorang ditempatkan di Sanggah Kamimitan/ Pamerajaan.

Jadi pemujaan terhadap leluhur itu dibawa ke Bali oleh bangsa Austronesia yang kemudian diadopsi oleh agama Hindu. Dalam Lontal Purwa Bhumi Kamulan disebutkan bahwa Atma yang telah disucikan yang disebut Dewapitara juga disthanakan di Sanggah Kemulan seperti disebutkan:

“Ri wus mangkana daksina pangadegan sang Dewapitara, tinuntun akena maring Sanggah Kamulan, yan lanang unggahakena ring tengen, yan wadon unggakahena maring kiwa, irika mapisan lawan dewa hyangnya nguni……”(Purwa Bhumi Kamulan, ).

Yang artinya:“Setelah demikian daksina perwujudan roh suci dituntun pada Sanghyang Kamulan, kalau bekas roh suci itu laki-laki dinaikkan pada ruang kanan, kalau bekas roh itu suci itu perempuan dinaikkan di sebelah kiri, di sana menyatu dengan leluhurnya terdahulu.

Dalam Lontar Tattwa Kapatin disebutkan bahwa Sanghyang Atma (roh), setelah mengalami proses upacara akan bersthana pada Sanggah Kamulan sesuai dengan kadar kesucian Atma itu sendiri. Atma yang masih belum suci yang hanya baru mendapat “tirtha pangentas pendem” atau upacara sementara (ngurug) juga dapat tempat pada Sanggah Kamulan sampai tingkat “batur kamulan” seperti disebutkan :

“Mwah tingkahing wong mati mapendem, wenang mapangentes wau mapendem, phalanya polih lungguh sang Atma munggwing batur kamulan”.

Artinya:“Dan perihalnya orang mati yang ditanam, boleh memakai tirta pangentas tanam, hasilnya mendapatkan tempat Sang Atma pada Batur Kamulan”.

Dari kutipan-kutipan di atas jelaslah bagi kita bahwa Hyang Kamulan yang dipuja pada Sangah Kamulan adalah roh suci leluhur, roh suci Ibu dan Bapak ke atas yang merupakan leluhur langsung umat.

Dalam lontar Purwabhumi Kamulan dinyatakan bahwa Sanggah Kamulan adalah tempat Ngunggahang Dewapitara:“….iti karamaning anggunggahaken pitra ring kamulan….”.(Rontal Purwabhuni Kamulan, lembar 53)Artinya:Ngunggahang Dewapitara pada Kamulan dimaksudkan adalah untuk “melinggihkan” atau “mensthanakan” dewa pitara itu.Yang dimaksud dengan dewa pitara adalah roh leluhur yang telah suci, yang disucikan melalui proses upacara Pitra Yajnya baik Sawa Wedana maupun Atma Wedana.

Ngunggahang Dewa Pitara pada Sanggah Kamulan mengandung maksud mempersatukan dewa pitara (roh leluhur yang sudah suci) kepada sumbernya (Hyang Kamulan). Kalimat “irika mapisah lawan Dewa Hyangnia nguni” mengandung pengertian bersatunya atma yang telah suci dengan sumbernya, yakni Siwatma (ibunta) dan Paratma (ayahta). Hal ini adalah merupakan realisasi dari tujuan akhir agama Hindu yakni mencapai moksa (penyatuan Atma dengan Paramatma).Pemikiran tersebut didasarkan atas aspek Jnana Kanda dari ajaran agama Hindu. Dari segi susila (aspek etika) ngunggahang Dewa Pitara pada Sanggah Kamulan adalah bermaksud mengabadikan/ melinggihkan roh leluhur yang telah suci pada Sanggah Kamulan untuk selalu akan dipuja mohon doa restu dan perlindungan.Atma yang dapat diunggahkan pada Sanggah Kamulan adalah Atma yang telah disucikan melalui proses upacara Nyekah atau mamukur seperti dinyatakan dalam rontal:“..iti kramaning ngunggahang pitra ring kamulan, ring wusing anyekah kurung muah mamukur, ri tutug rwa walws dinanya, sawulan pitung dinanya…”.Artinya:“…Ini perihalnya naikkan dewa pitara pada Kamulan, setelah upacara nyekah atau mamukur, pada dua belas harinya, atau 42 harinya..”

Jadi upacara ngelinggihang Dewa Pitara adalah merupakan kelanjutan dari upacara nyekah atau mamukur itu. Tetapi karena pitara sudah mencapai tingkatan dewa sehingga disebut Dewapitara maka upacara ini tidak tergolong pitra yajnya lagi, melainkan tergolong Dewayadnya. Dari uraian di atas itu jelaslah bagi kita bahwa Sanggah Kemulan di samping untuk memuja Hyang Widhi juga tempat memuja roh suci leluhur yang telah manunggal dengan sumbernya (Hyang Kamulan atau Hyang Widhi). Dalam masyarakat Hindu di India menurut Griha Sutra tempat memuja leluhur dalam tingkat rumah tangga disebut “Wastospati”.

Berfungsi sebagai tempat mensthanakan roh suci leluhur (Dewa Pitara) yang dianggap manunggal dengan sumbernya untuk selalu dipuja oleh keturunannya guna memohon perlindungan bimbingan dan waranugrahanya. Sanggah Kamulan sebagai tempat pemuhan leluhur dalam rumah tangga di Bali diperkirakan ada hubungannya dengan “Wastoswati” yakni tempat pemujaan leluhur pada setiap rumah tangga Hindu di India.Konsep pemujaan leluhur bagi umat Hindu di Bali bersumber dari Pra Hindu yaitu kepercayaan Austronesia.

Demikian kesimpulan yang dapat diambil dan uraian tentang “Sanggah Kamulan.

Jumat, 03 September 2010

Ida Rsi Gede Madhura

Perjalanan Ida Rsi Madura
( abad 12 M - 13 M )

Ida Rsi Madura merupakan seorang rsi maha sakti yang berasal dari Madura, tepatnya ida berasal dari suatu daerah di Madura yang seluruh tanah disekitarnya berwarna merah yang sekarang dikenal dengan daerah Tanah Merah. Lokasi griya beliau disana berupa rumah panggung yang berada di suatu tanah lapang luas yang dekat dengan sumber air seperti danau kecil yang sampai sekarang keberadaannya tetap dikeramatkan dan disucikan di sana. Ida Rsi Madura merupakan guru suci dan guru silat dari Arya Wiraraja, semua ide diBalik kebangkitan Majapahit, termasuk kenapa Arya Wiraraja dari tanah Madura mau membantu Raden Wijaya berasal dari beliau. Akan tetapi keberadaan beliau sebagai pendeta alam yang lebih senang dekat dengan alam terutama alam laut dibandingkan duniawi menyebabkan jarang orang yang mengenal beliau. Dan mungkin tidak ada yang menyangka bahwa beliau adalah aktor utama diBalik kebangkitan Majapahit. Setelah majapahit berdiri beliau ditawarkan kedudukan sebagai pendeta utama penasihat raja, akan tetapi beliau memilih merantau ke tanah Bali untuk menapak tilas dan melanjutkan perjalanan leluhur beliau Ida Rsi Markhandeya untuk menata pulau Bali.
Dalam perjalanan beliau dari Jawa menuju Bali, beliau singgah di beberapa tempat seperti kediri ( Pura Agung Sekartaji ), dan yang paling lama beliau singgah adalah Alas Purwo. Tempat pertapaan beliau jaman itu, sekarang ini dikenal dengan nama Pura Situs Kawitan di Alas Purwo yang letaknya didekat Pura Giri Slaka. Disini beliau bertapa tahunan untuk menemukan petunjuk tentang pulau Bali umumnya dan untuk menemukan jejak perjalanan leluhur beliau ida maharsi Markhandeya di tanah Bali khususnya. Selama pertapaan di alas purwo ini beliau didatangi oleh seekor babi hutan besar yang merupakan raja hutan alas purwo yang bernama celeng cemalung. Celeng cemalung meminta ida rsi Madura untuk menata sisi spiritual alas purwo. Oleh karena itu, ida rsi Madura selama pertapaan beliau di alas purwo ini banyak sekali melakukan penataan-penataan tempat spiritual di alas purwo. tempat-tempat yang beliau tapak dan beliau tata inilah yang zaman berikutnya dipakai tempat bertapa oleh Gajah Mada sampai ke jaman Soekarno. Setelah beliau mendapatkan petunjuk tentang tanah Bali. Beliau kemudian melanjutkan perjalanan ke tanah Bali.
Singkat cerita ditanah Bali, beliau lama berdiam diri didaerah seputaran danau Tamblingan bahkan beliau memperistri putri dari Ida Dalem Tamblingan ( penguasa daerah seputaran Bali Utara pada jaman itu). Selama beliau bertapa didaerah seputaran Bedugul, beliau membuat sebuah padepokan silat yang sangat besar yang terletak di areal kebun raya bedugul. Di tempat ini beliau banyak mengangkat murid yang berasal dari berbagai etnis yaitu, Bali, cina, dan Jawa.
Selama berdiam diri disini beliau banyak mendirikan pura-pura yang pada jaman sekarang telah ditemukan sumber bukti tertulis ( purana/prasasti ) bahwa Beliaulah pendiri pura-pura tersebut. Pura-pura tersebut antara lain : Pura Dalem Tamblingan, Pura Puncak Rsi ( bukit sangkur ), Pura Penataran Beratan, Pura Puncak Pengungangan, Pura Terate Bang, Pura Baru Meringgit dll.
Setelah lama berdiam diri disini beliau kemudian melanjutkan perjalanan untuk menelusuri jejak perjalanan leluhur beliau Ida Rsi Markhandeya di tanah Bali. selama perjalanan menelusuri jejak leluhur bhujangga di Bali inilah beliau banyak mendirikan Pura Dalem Pauman Bhujangga ditempat berkumpulnya keluarga bhujangga di daerah-daerah tertentu di Bali. Pada saat menelusuri jejak perjalanan leluhur inilah beliau mendapatkan petunjuk tentang tempat moksanya Ida Rsi Markhandeya yaitu di Gunung Bhujangga Bali. kemudian beliau pergi kesana untuk memohon restu hendak melanjutkan tugas leluhur bhujangga di Bali sebagai penjaga dan pendoa keseimbangan pulau Bali beserta segala isinya. Setelah sungkem di tempat moksa Ida Rsi Markhandeya di puncak sepang bujak (gunung bhujangga) kemudian Ida Rsi Madura turun hendak melanjutkan perjalanan. Sebelum melanjutkan perjalanan beliau membuat pura di sekitar tempat itu untuk sebagai tempat pengayatan ke Puncak Sepang Bujak ( tempat moksa Ida Rsi Markhandeya yang sangat dikeramatkan, sehingga disana tidak boleh dibangun bangunan apapun juga). Pura pengayatan ini yang jaman sekarang ini dikenal dengan Pura Asah Danu. Singkat cerita setelah memohon restu kepada Ida Maharsi Markhandeya beliau kemudian melanjutkan perjalanan mengelilingi Bali.
Perjalanan beliau mengelilingi Bali terutama sekali dilalui dengan mengelilingi pantai-pantai di Bali. Di sepanjang pantai-pantai ini beliau bertapa dan membangun pura-pura. Pura-pura inilah yang pada jaman sekarang ini dikenal dibangun oleh Ida Peranda Sakti Wawu Rauh. Setelah selesai mengelilingi pantai Bali ternyata beliau belum menemukan kekuatan dalem segara yang sebenarnya. Dari hasil tapa beliau ternyata beliau menemukan kekuatan dalem segara gni di Bali berpusat di lautan seputaran kepulauan Nusa Penida. Oleh karena itu beliau kemudian melanjutkan perjalanan ke Nusa Penida.
Pada tahun-tahun terakhir usia beliau di dunia ini, beliau memilih kepulauan Nusa Penida sebagai tempat bertapa dan tempat untuk kembali ke sang pencipta. Pada awalnya beliau memilih tempat untuk moksa atau kembali ke sang pencipta di Puncak Tunjuk Pusuh, Nusa Penida. Akan tetapi setelah beliau bertapa sekian lama akhirnya beliau mendapat jawaban bukan di sana tempat yang cocok. Akhirnya beliau berjalan ke selatan dan akhirnya menemukan suatu batu berbentuk lingga di tengah laut dengan diameter 3 meter dan tinggi sekitar 33 meter, dimana batu ini sampai sekarang masih berada disana. Sesampainya ditempat ini beliau kemudian bertapa, dan hasil tapanya beliau mendapat petunjuk untuk membuat rakit dan mengayuh rakit ke tengah laut dimana ditengah laut di atas rakit inilah akhirnya beliau moksa dan diberi gelar Ida Rsi Dalem Segara (Ida Betara Lingsir Dalem Segara), berketu hijau berselempang hijau. Dilokasi tebing dekat dengan batu lingga itu sekarang berdiri Pura Sekartaji yang diempon oleh seluruh warga bhujangga yang berdomisili di dusun Sekar Taji, Nusa Penida.
Sumber : Guru Made Dwijendra Sulastra.