Om namā bhujanggā bħuddayā.

Om awighnam astu namā śidyam. Om prânamyam sirā sang widyam, bhukti bhukti hitartwatam, prêwaksyā tatwam widayah, wişņu wangsā pādāyā śiwanêm, sirā ghranā sitityam waknyam. Rajastryam mahā bhalam, sāwangsanirā mongjawam, bhupa-lakam, satyamloka. Om namadewayā, pānamaskaraning hulun, ri bhatarā hyang mami. Om kara panga bali puspanam. Prajā pasyā. nugrah lakam, janowa papā wināsayā, dirgha premanaming sang ngadyut, sembahing ngulun ri sanghyang bhumi patthi, hanugrahaneng hulun, muncar anākna ikang tatwa, prêtthi entananira sang bhujanggā wişņawa, tan katamanan ulun hupadrawa, tan kêneng tulah pāmiddi, wastu pari purņā hanmu rahayu, ratkeng kulā warggā sāntanannirā, mamastu jagatitayā. Ong namasiwaya, ong nama bhuddayā. Om namā bhujanggā bħuddayā.

Kamis, 22 April 2010

SADAKA / SULINGGIH

Kesulinggihan
1. Berdasarkan Keputusan Mahasabha PHDI ke-2 tanggal 2 s/d 5 Desember 1968, yang dimaksud dengan Sulinggih ialah mereka yang telah melaksanakan upacara Diksa,
ditapak oleh Nabe-nya dengan Bhiseka: Pedanda, Bhujangga, Rsi, Bhagawan, Mpu, dan Dukuh.

Pada Keputusan Seminar Kesatuan Tafsir terhadap Aspek-aspek Agama Hindu ke-14 tahun 1986/1987 tentang Pedoman Pelaksanaan Diksa, ditetapkan sebagai berikut:
Umat Hindu dari segala warga yang memenuhi syarat-syarat:

1. Laki-laki yang sudah kawin dan yang nyuklabrahmacari
2. Wanita yang sudah kawin dan yang tidak kawin (kania)
3. Pasangan suami/ istri
4. Umur minimal 40 tahun
5. Paham Bahasa Kawi, Sanskerta, Indonesia, memiliki pengetahuan umum,pendalaman intisari ajaran-ajaran agama
6. Sehat lahir bathin dan berbudi luhur sesuai dengan sesana
7. Berkelakuan baik, tidak pernah tersangkut perkara pidana
8. Mendapat tanda kesediaan dari pendeta calon Nabe-nya yang akan menyucikan
9. Sebaiknya tidak terikat akan pekerjaan sebagai pegawai negeri ataupun swasta kecuali bertugas untuk hal keagamaan
Ketentuan-ketentuan di atas dikelompokkan pada persyaratan formal bagi seorang Sulinggih.

Di bawah ini akan diuraikan persyaratan spiritual seperti yang disebut dalam beberapa pustaka suci, antara lain di Bhagawadgita percakapan ke IV-19 disebutkan:
Yasya sarve samarambhah, kama samkalpa varjitah, jnanagni dagdha karmanam, tam ahuh panditam budhah
artinya: Yang bekerja tanpa nafsu dan motif, kerjanya dibakar api ilmu pengetahuan, dinamakan orang-orang arif, sebagai seorang pandita budiman.
Pandita berarti orang yang mencapai kebebasan jiwa, yang segala pekerjaannya tidak lagi meninggalkan ikatan-ikatan keduniawian karena ia terbebas menuju kelepasan.
Pandita juga seseorang yang sudah mencapai “Niskama Karma” yang meyakini hukum karma-phala. Oleh karena itu maka masyarakat mendudukkannya sebagai orang utama, atau dengan kata lain “Sulinggih” (su = utama; linggih = kedudukan).
Kemudian di Sarasamuscaya sloka ke-40 disebutkan:
Srutyuktah paramo dharmastatha smrtigato parah, sista carah parah proktas trayo dharmah sanatanah
artinya:
maka yang patut diingat adalah, segala apa yang diajarkan oleh Sruti dan Smerti disebut dharma, demikian pula tingkah laku Sang Sista (Pandita) seharusnya: jujur, setia pada kata-kata, dapat dipercaya, orang yang menjadi tempat penyucian diri, dan orang yang memberi ajaran-ajaran (nasehat).
Pandita juga disebut Sang Dwijati karena telah lahir dua kali; kelahiran pertama dari rahim Ibu, sedangkan kelahiran kedua dari Weda (Mantram Sawitri atau Gayatri). Kelahiran kedua ini terlaksana dalam proses Diksa yang diselenggarakan oleh Nabe sebagai Guru Putra.
Pandita juga disebut Sang Sadaka, artinya orang yang sudah melaksanakan/ merealisasikan sadhana sehari-hari.
Pengertian sadhana seperti yang tertulis dalam Lontar Wrehaspati Tattwa adalah tiga jalan menuju Sang Hyang Wisesa Paramartha (Tuhan YME), yaitu Yoga yang terdiri dari:
1. Jnanabhyudreka (mengerti ajaran tattwa),
2. Indriyayogamarga (tidak terikat oleh indra),
3. Tresnadosaksaya (dapat menghilangkan pahala perbuatan).

Dalam Lontar Ekapratama, Sang Sadaka disebut pula sebagai “Sang Katrini Katon”, yaitu “Wakil Hyang Widhi di dunia yang terlihat oleh manusia sehari-hari”.
Kemudian kitab Taiteria Upanisad menyebutkan bahwa Sang Sadaka juga adalah “Acharya Dewa Bhawa” yaitu “Perwujudan Dewa di dunia” karena kesucian lahir bathin dan dharma bhaktinya kepada manusia di dunia.

Kesimpulan:
seorang Sulinggih hendaknya telah memenuhi syarat-syarat formal dan syarat-syarat sipiritual seperti yang diuraikan di atas.

2. Proses Diksa (Penobatan Sulinggih): seseorang yang ingin me-Diksa tentunya sudah memenuhi syarat-syarat formal seperti diuraikan pada A.1 di atas, kemudian sebagai langkah kedua menemukan Nabe (guru) yang bersedia mengangkatnya menjadi Sisia (murid).
Syarat-syarat Nabe seperti yang telah diputuskan dalam Keputusan Seminar Kesatuan Tafsir Terhadap Aspek-aspek Agama Hindu ke-14 Tahun 1986/1987 tentang Pedoman Pelaksanaan Diksa adalah:
1. Seorang yang selalu dalam keadaan bersih dan sehat baik lahir maupun bathin.
2. Mampu melepaskan diri dari ikatan keduniawian.
3. Tenang dan bijaksana.
4. Selalu berpedoman kepada Kitab Suci Weda.
5. Paham dan mengerti tentang Catur Weda.
6. Mampu membaca Sruti dan Smrti.
7. Teguh melaksanakan Dharma-Sadhana (sering berbuat amal, jasa, dan kebajikan).
8. Teguh melaksanakan Tapa Brata.
Selanjutnya Sisia diterima secara resmi menjadi murid/ putra dengan upacara “meperas” sekaligus pawintenan menjadi “Jero Gde”.
Sejak saat itu Jero Gde “aguron-guron” (belajar teori dan praktik) menjadi Pandita sambil mempersiapkan mental dan perilaku suci agar memenuhi persyaratan spiritual seperti yang diuraikan dalam A.1 di atas.
Lamanya masa aguron-guron ini tergantung pada penilaian Nabe. Apabila dinilai sudah cukup matang, maka calon Diksa mempersiapkan kelengkapan administrasi seperti:
1. Surat permohonan mediksa kepada PHDI Kabupaten.
2. Keterangan: berbadan sehat, berkelakuan baik, riwayat hidup, riwayat pendidikan, persetujuan istri, dukungan warga (dadia), dan pas-foto.
Setelah menerima surat permohonan itu, PHDI mengadakan penelitian baik kepada calon Diksa maupun kepada Nabe-nya. Seterusnya diadakan Diksa Pariksa (ujian lisan) oleh PHDI. Apabila dinyatakan lulus dan memenuhi syarat maka dikeluarkanlah Surat Ijin Madiksa oleh PHDI.
Puncak upacara Madiksa didahului dengan upacara “seda raga” yaitu “penyekeban” sekitar 12-24 jam untuk menghilangkan “sadripu” calon Diksa.
Setelah seda raga, dilaksanakan upacara Diksa sehingga lahirlah seorang Dwijati yang sudah berubah dibanding ketika masih “walaka” yaitu:
1. Amari Sesana, artinya perubahan kebiasan dan disiplin kehidupan,
2. Amari Aran, artinya perubahan nama (Bhiseka),
3. Amari Wesa, artinya perubahan tata berpakaian.
Fungsi Sulinggih:
1. Memimpin warga dalam upaya mencapai kebahagiaan rohani sesuai dengan perannya sebagai “Guru Loka”.
2. “Ngelokaparasraya” yaitu menjadi sandaran/ tempat bertanya tentang kerohanian, pelindung/ penuntun dan pengayom masyarakat di bidang Agama Hindu, memberi petunjuk dan bimbingan di bidang tattwa, susila, dan upacara, “muput” upacara ritual atas permintaan warga.
Tugas Sulinggih: mensejahterakan kehidupan masyarakat melalui jalur spiritual.
Kewajiban Sulinggih pada umumnya disebut “sasana kawikon” atau “dharmaning kawikon” terdapat pada Lontar Krama Madiksa sepuluh kewajiban (dasa krama paramartha), yaitu:
1. Tapa (teguh memuja Hyang Widhi)
2. Brata (membatasi indra)
3. Yoga (menyeimbangkan Stulasarira dengan Suksmasarira)
4. Samadhi (memusatkan pikiran kepada kebesaran Hyang Widhi)
5. Santa (berpikir, berkata, dan berbuat serba tenang damai)
6. Sanmata (berperasaan riang gembira)
7. Maitri (senang mengatakan yang baik dan benar)
8. Karuna (senang bertukar pikiran dengan sesama dan menyayangi semua mahluk)
9. Upeksa (tahu perbuatan yang baik dan buruk serta memberi bimbingan kepada yang bodoh dan yang salah)
10. Mudhita (mencintai kebenaran serta berbudi luhur)
Di samping itu kewajiban Sulinggih yang lain:
1. Arcana ( memuja Hyang Widhi setiap hari dalam bentuk Njurya Sewana).
2. Adhyaya (tekun belajar mendalami Weda, Tattwa, Susila, Upacara).
3. Adhyapaka (suka mengajar hal-hal tentang Hyang Widhi dan kesucian).
4. Swadhyaya (rajin belajar hal-hal yang diberikan Nabe).
5. Dhyana (merenungkan Hyang Widhi serta hakekat kehidupan).
3. Teks-teks dasar yang mengulas tentang kesulinggihan antara lain:
1. Lontar Arghapatra, tentang teknik Surya Sevana
2. Lontar Silakrama, tentang etika Sulinggih
3. Lontar Kramaning Dadi Wiku, tentang etika, tugas, kewajiban Sulinggih
4. Lontar Krama Madiksa, tentang persyaratan Madiksa
5. Lontar Wrhaspati Tattwa, tentang filsafat Siwa (Hyang Widhi)
6. Lontar Ganapati Tattwa, tentang filsafat Atma
7. Lontar Wrhaspati Kalpa, tentang filsafat Pandita
8. Lontar Bhuwanakosa, tentang filsafat manusia
9. Bhagawadgita, tentang filsafat Hyang Widhi, tugas, dan kewajiban manusia serta pedoman kehidupan manusia
10. Sarasamuscaya, tentang filsafat kehidupan manusia
11. Wedaparikrama, tentang teknik Surya SeVana
12. Yoga Kundalini, tentang petunjuk “Ngili Atma” bagi Pandita
13. Manawa Dharmasastra, tentang hukum (kesulinggihan dan kemanusiaan)
14. Parasara Dharmasastra, tentang aturan penyucian bagi Pandita
15. Lontar Eka Pratama, tentang pembagian tugas/ kelompok Sulinggih
Beberapa Lontar/ Buku di atas banyak perbedaan dan prakteknya di lapangan sebagai berikut:
1. Lontar-Lontar Arghapatra ternyata tidak hanya satu, tetapi banyak dan satu sama lain ada perbedaan sehingga tata cara Surya Sevana para Sulinggih pun berbeda-beda.
Tata cara Surya Sevana yang lengkap ada di Buku Wedaparikrama yang ditulis oleh Gde Puja MA,SH.
Anehnya, ada buku tentang Surya Sevana yang ditulis seorang Belanda bernama C. Hoykaas berjudul: Suryasevana, the way to God of a Balinese Siva Priest, N.V. Noord Hollandsche Uitgevers Maatschappij, Amsterdam, 1966, menguraikan secara rinci proses Surya Sevana disertai gambar-gambar mudra (petanganan) yang lengkap.
Buku ini bagus sekali, sehingga Pandita (saya) lebih senang menggunakan buku ini sebagai acuan di samping buku Wedaparikrama.
Kelemahan penulisan lontar-lontar adalah sistematikanya kurang baik, kata-katanya puitis, sehingga lebih cenderung sebagai seni bahasa dan karya sastra yang perlu penafsiran untuk mengerti dengan baik.
Kesimpulannya, lontar-lontar Argapatra kurang praktis untuk digunakan belajar secara cepat.
2. Bhagawadgita dan Sarasamuscaya adalah kitab suci yang sangat tinggi nilai ke-Tuhanannya, namun yang dipraktekan oleh beberapa Sulinggih fanatik dan feodal, berbeda dengan nilai-nilai kesucian, misalnya masalah “catur warna”, yaitu memandang lebih rendah Sulinggih lain yang tidak berasal dari “Brahmana Wangsa”.
Contoh riil mengenai hal ini adalah timbulnya kasus Trisadaka dan Sarwa Sadaka, dan kasus “Kertasemaya Pedanda Siwa-Budha se-Kabupaten Karangasem”
3. Lontar Eka Pratama memuat tentang pembidangan tugas-tugas Trisadaka, namun praktek di lapangan menjadi berbeda karena ada kesengajaan membuat penafsiran keliru untuk kepentingan para Pedanda.
Rincian tentang hal ini akan diuraikan pada Bagian Kedua (B) di bawah.
4. Teks-teks yang Pandita (saya) gunakan ada dua kelompok yaitu yang menyangkut tentang sasana kesulinggihan seperti yang ditulis di nomor A.3 di atas dan kelompok teks-teks tentang pelaksanaan tugas-tugas kesulinggihan antara lain (selektif):
1. Lontar/ Buku tentang Panca Yadnya (Dewa, Rsi, Pitra, Manusa, dan Bhuta Yadnya, yang tidak dapat disebutkan karena terlalu banyak)
2. Lontar Kandapat Dewa, Bhuta, Atma, Rare, Sari.
3. Buku: Pelajaran Dewasa (Wariga), Wayan Simpen AB, Toko Buku Muria, Cempaka 2, Denpasar.
4. Kakawin Arjuna Wiwaha, Made Menaka, Yayasan Kawi Sastra Mandala, Jalan Pulau Timor 4, Singaraja.
5. Maitri Upanisad, Drs. R. Sugiarto, Mabes TNI Angkatan Laut, Jakarta
6. Lontar Babad Kawitan dari semua Kawitan yang ada di Bali: Dalem, Brahmana, Pasek Sanak Sapta Rsi, Arya Kanuruhan, Arya Kenceng, Arya Kepakisan, Arya Kubon Tubuh, Arya Tutuan, Gusti Jelantik, Manik Angkeran, Pande, Pasek Bali, Sangging, Kiyai Ularan, Bendesa Mas, Panji Sakti, Putih Mayong, dll.
7. Buku: Tuntunan/ Tatacara Ngawun Karang Paumahan Manut Smrti Agama Hindu, I Made Suandra, Upadasastra 1993
8. Pengantar Agama Hindu untuk Perguruan Tinggi, Cudamani, Yayasan Dharma Sarathi, Jakarta 1990.
9. Murddha Agama Hindu, Dr. I Gst.Ngurah Nala, Drs . IGK Adia Wiratmadja, Upadasastra 1993.
10. Buku: Drawings of Balinese Sorcery, C. Hooykaas, Leide, E.J. BRI, 1980
11. Lontar Mahabharata dan Ramayana.
12. Kumpulan Keputusan Seminar Kesatuan Tafsir Terhadap Aspek-aspek Agama Hindu, PHDI, 1987.
5. Sulinggih seharusnya mampu dan mau memberikan Dharmawacana dan Dharmatula karena itu merupakan sasana kawikuan, termasuk arti luas dari “ngelokaparasraya”, namun ada segolongan Sulinggih yang tidak bersedia melakukannya karena alasan yang tidak jelas.
6. Untuk menjadi seorang Sulinggih yang baik sebenarnya sungguh berat, karena harus memenuhi kriteria utama dalam: kesucian, kecerdasan, kepandaian dalam berbicara/ berdialog, kesehatan/ kekuatan fisik, penampilan, ramah-tamah, sabar, cinta kasih, kepemimpinan (leadership), dan kewibawaan.
Sulinggih adalah seorang yang allround (serba bisa), namun mempunyai kemampuan dan minat khusus tertentu. Misalnya ada yang senang kesusastraan, disebut Wiku Kawi; ada yang senang ber-dharma wacana dan ber-dharma tula disebut Wiku Acarya; ada yang sibuk hanya “muput-muput karya” saja disebut Wiku Pemuput Karya; ada yang madiksa untuk kepentingan kesucian diri sendiri saja, tidak melayani publik, disebut Wiku Ngeraga. Istilah-istilah itu belum disahkan/ diresmikan oleh PHDI.
Lokaparasraya berasal dari Lokapalasraya, atau Loka-Pala-Asraya. Loka artinya masyarakat, Pala artinya melindungi, dan Asraya artinya dekat bersandar. Jadi lokaparasraya artinya tempat berlindung mencari kedamaian dan ketentraman serta tempat bersandar masyarakat (pasif) dan menjadi pengayom, pembela, panutan, pendidik masyarakat (aktif).
Sehari-hari Sulinggih menyebut dirinya “Bapa” sedangkan Bapa dalam Kekawin Nitisastra mempunyai kewajiban antara lain “Matulung urip rikalaning bhaya” artinya menyelamatkan jiwa anak-anaknya tatkala ada ancaman bahaya.
Keselamatan jiwa dalam pengertian spiritual termasuk ancaman adharma, karena bila seseorang berlaku adharma, jiwanya terancam bahkan dapat berumur pendek dan kemudian rohnya mengalami siksaan neraka, padahal tugas manusia dalam kehidupan di dunia adalah melaksanakan dharma agar di suatu saat kelak roh (Atman) sudah bersih sehingga dapat bersatu dengan Brahman (Hyang Widhi).
Tugas Sulinggih (ngelokaparasraya) intinya adalah membantu manusia agar senantiasa ada di jalan dharma. Jadi bukan hanya muput-muput karya saja ! Tugas muput-muput karya hanya sebahagian kecil dari tugas-tugas mulia lainnya.

PURE TAMAN SARI KEROBOKAN

PURE TAMAN SARI KEROBOKAN
Pura yang satu ini, berlokasi di jalan raya Kerobokan menuju Canggu, adalah pura sungsungan warga Pasek Kayu Selem, tapi prakteknya memberikan berlimpah-limpah berkah bagi umat dari mana saja. Karena terdapat berbagai keunikan. Salah satunya yeh klebutan yang manfaatnya sangat ampuh untuk sembuhkan berbagai penyakit dan tirta panglukatan. Berikut ulasan selengkapnya.
Pura Tamansari Agung yang terletak di Butyeh, Banjar Anyar Kaja, Desa Adat Kerobokan, Kecamatan Kuta Utara, Badung erat kaitannya dengan Pura Peti Tenget. Ini diketahui dari Bhisama Ida Bhatara Kawitan Leluhur Penyungsung/Pengempon dan penyiwi Pura Tamansari Agung terdapat pada lontar yang ada di Pura Tamansari Agung.
Disebutkan sejarah Pura Tamansari Agung, merupakan parahyangan linggih Ida Bhatara sebagai tempat semua umat Hindu menghaturkan sembah bhakti kehadapan Ida Sang Hyang Widhi sane mapragayang Sang Hyang Siwa mapelemahan ring marcapada dados Sang Hyang Daniswara. Beliau dalam menjalankan sesana kawikuan atau Brahmana Siwa nyukla Brahmacari. Sang Hyang Daniswara merupakan dewane balian yang menjalankan tetambaan dan memberikan panglukatan segala leteh di jagat ini.
Ida Bhatara Dalem Samudralah yang disungsung di Pura Tamansari Agung ini. Kisah Ida Bhatara berasal dari Laut Kidul maperagayang wiku (Brahmana Siwa) yang nyukla Brahmacari. Ida Bhatara membawa tirta Sudamala dan ditempatkan di bulakan yang ada di gedong pangresikan pada utama mandala. Inilah yang digunakan untuk matetamban untuk setiap umat yang mengalami kesusahan. Ida Bhatara Dalem Luhur Tamansari Agung masemeton sareng Ida Bhatara Dalem Luhur Peti Tenget yang menguasai lautan, Ida Bhatara Dalem Luhur Mas Ceti Ulun Tunjung yang menguasai sawah dan tegalan (subak), Ida Bhatara Dalem Luhur Panepi Siring yang menguasai alas panepisiring sebagai tameng jagat Badung dari sisi barat.
Pura Tamansari Agung dibangun oleh leluhur pretisentana Ida Bhatara Kawitan Warga Pasek Kayu Selem yang saat itu terdiri dari empat keluarga dari Gua Song, Songan, wilayah Gunung Batur. Mereka diperintahkan Ida Bhatara Kawitan mencari tirta klebutan (sumber mata iar) Sudamala yang keluar dari ibu pertiwi (ksititala) yang ada di pasisi kelod Bali. Tempat yang terlihat hitam puun ketika Ida Bhatara Kawitannya melakukan yoga semadhi.
Dipastikanlah tempat itu tidak lain Pura Tamansari Agung seperti saat ini terletak di Butyeh, Desa Adat Kerobokan, Kecamatan Kuta Utara, Kabupaten Badung. Keberadaan pura diperkirakan pada tahun saka 933 (1011 Masehi) sebelum Majapahit menguasai jagat Bali yaitu pada tahun Saka 1265 (1343 Masehi) sudah ditemukan pada Purana Pura Petitenget ketika Ida Dang Hyang Nirarta dari Jawa melaksanakan dharmayatra semadhi pada bulakan Sudamala Tamansari. Barulah kemudian melanjutkan perjalanan ke jagat Gelgel-Klungkung.
Sebagai pangempon pura, warga Pasek Kayu Selem di Butyeh. Sedangkan panyiwi pura merupakan presanak dan ke putu dari Ida Bhatara Tamansari Agung terdiri dari delapan pura, antara lain : Pura Pancoran Butyeh, Pura Hyang Warga Pasek Kayu Selem Batan Tanjung Gangsian, Pura Hyang Warga Pasek Gelgel Aan Butyeh, Pura Panti/Dadya Warga Pasek Kayu Selem Butyeh, Pura Hyang Warga Pasek Dukuh Sakti Banjar. Silayukti, Pura Hyang Warga Pasek Kayu Selem Banjar. Kancil, Pura Hyang Warga Bhujangga Waisnawa Butyeh, Pura Hyang Ratu Gede Warga Arya Batu Lempang Batan Jepun Gangsian Banjar. Anyar Kaja. Lan Penyade Pura Tamansari Agung yaitu presanak Ida Bhatara Dalem Peti Tenget yang diberikan wewenang untuk menjaga dan membantu Ida Bhatara Dalem Luhur Tamansari Agung, antara lain : Ida Bhatara Ratu Made Cakra Negara di Pura Hyang Bhujangga Waisnawa Batan Sabo, Ida Bhatara Ratu Made Kentel Bhumi di Pemrajan Agung Ampinan Banjar. Anyar, Ida Bhatara Ratu Made Kerthanegara di Pura Pan Jengki, Ida Bhatara Ratu Bagus Sinulus di Pura Batan Papasan, dan Presanak putu Ida Bhatara Dalem yang ada di 21 pura sajebag Desa Adat Kerobokan dan Denpasar.
Tirta Sudamala Sembuhkan Penyakit
Pertama memasuki areal pura, bisa disaksikan pemandangan pura yang selalu ramai. Tidak pernah kosong karena warga di sekitar mencari air klebutan yang ada di madya mandala pura. Jangan ragu untuk mengonsumsi air tersebut tanpa dimasak, penelitian menunjukkan kandungan air masih bagus meski dikonsumsi sebelum dimasak. Berjalan lebih jauh, memasuki utama mandala pura, yang pertama menjadi pusat perhatian adalah gedong pangresikan yang tidak tampak seperti biasanya. Inilah ciri khas Pura Tamansari Agung. Apalagi setelah ditelusuri lebih jauh, tidak terlihat adanya padmasana pada areal utama mandala pura.
“Driki memang unik, tidak terdapat padmasana. Namun terdapat gedong pangresikan yang fungsinya sama dengan padmasana, terdapat lingga yoni di dalamnya. Di Gedong pangresikan ini pula terdapat tirta Sudamala dan tidak sembarang orang yang bisa mengambilnya,” papar Wayan Suyasa keturunan pemangku Pura Tamansari Agung.
Di sinilah Tirta Sudalama dimohonkan untuk melebur dasa mala, mohon panglukatan, dan berkah kesembuhan. Sudah banyak orang yang tertolong dari penyakit yang dideritanya. Bagi yang memohon tirta sudamala hendaknya mencari pemangku pura, karena hanya pemangku pura yang boleh masuk ke gedong pangesikan. Dengan membawa daksina pejati sebagai pasaksi dari penangkilan.
“Untuk memohon tirta tersebut terdapat lima batok kelapa dari lima jenis kelapa sebagai tambangnya. Di antaranya kelapa surya, gading, bulan, gadang dan sudamala. Hanya salah satu yang digunakan mengambil tirta dari sumur, disesuaikan dengan kepentingan penangkilan,” ungkap Nyoman Wirajaya selaku penyarikan pura.
Misalnya untuk memohon panglukatan digunakan batok kelapa sudamala, untuk pengobatan disesuaikan dengan jenis penyakitnya digunakan batok kelapa surya, gading, bulan. Bahkan dari pengambilan tirta yang dilakukan bisa diprediksi apakah pasien tersebut berjodoh memperoleh kesembuhan atau sebaliknya tidak bisa tertolong. Jika sakitnya sudah parah, dan akan memperoleh kesembuhan, maka ciri yang terlihat ular rencang Ida Bhatara akan terlihat melilit pada tambang yang digunakan mengambil tirta sudamala. Tidak salah jika disebutkan di sini merupakan linggih Ida Bhatara Daniswara sebagai dewane balian.
Demikian juga pada saat orang tersebut ngalinggihan tirta sudamala pada rong telu di sanggah/merajannya akan terlihat tirta bercahaya. Itulah kemahakuasaan Tuhan, sebelum nunas tirta sudamala terlebih dahulu dipercikkan pada Hyang Guru sehingga nyambung antara leluhur dan pura.
Secara lengkapnya pada utama mandala terdapat beberapa bangunan palinggih antara lain : Pelinggih Pangresikan Agung (sumur/bulakan tirta Sudamala, cikal bakal berdirinya Pura Tamansari Agung). Pelinggih Ratu Ngurah Mangku Bhumi Sudamala dari Bhatara Kawitan. Palinggih Gedong Bhatara Kawitan. Palinggih Pregina Agung, Palinggih Ida Bhatara Ratu Made Lor Tirta, Palinggih Ida Ratu Bagus Manik Kembar. Palinggih Ida Bhatara Ratu Mayun Gede Kedewatan. Palinggih Para Rabi Mekabehan/Ratu Ayu. Palinggih Ida Bhatara Ratu Made Gede Manik Toyo. Meru Tumpang Lima Palinggih Ida Bhatara Dalem Samudra Luhuring Tamansari Agung dan Palinggih Sari Ida Bhatara Sakti.
Selain itu terdapat bangunan-bangunan pendukung lainnya seperti : bale gong, bale pengrawuhan/bale pengaruman, Bale Mundak Sari, Bale Piyasan/Bale Tajuk, Bale Banten/Gedong Taulan/Gedong Pretima, dan Gedong Simpen.
Butyeh, Pusat Klebutan Yeh
Munculnya ular di sekitar pura menjadi pemandangan yang biasa bagi warga. Yang tidak wajar, ular tersebut bisa terlihat berkepala dua, kemudian menghilang entah ke mana. Ini diyakini sebagai rencang Ida Bhatara. Selain ular, rencang Ida Bhatara Pura Tamansari Agung adalah macan, buaya.
Jika terjadi banjir, masyarakat sering melihat ada air klebutan di tehel (ubin) bangunan pura. Sangat tidak masuk akal, karena pada hari biasa ketika tidak ada banjir, tidak ada lubang air pada tehel tersebut. Begitupun ketika diraba, klebusan itu tidak ada. Inilah sesungguhnya kawasan titik yeh, Keyakinan ini berkembang sehingga muncullah ungkapan warga Kerobokan menamakan desa di sebelah selatan dan utara pura sebagai Delod Yeh dan Dajan Yeh. Titik yeh ini sebagai tempat sumber air disebut Butyeh.
Yang tak kalah menarik kebiasaan dari tahun 1975 sudah diselenggarakan upacara manusa yadnya secara masal di pura yang piodalan jatuh setiap Tumpek Klurut ini. Mulai dari upacara tiga bulanan, mesangih, nepeh, nyejeg digelar setiap lima tahun sekali. Yang terakhir dilakukan pada tahun 2005 lalu.
Setiap 12 tahun sekali diadakan penyucian lingga ioni yang ada di gedong pangresikan. Linggih Bhatara Siwa mapragayang Sang Hyang Daneswara. Biasanya dipilih Purnama Kapat atau Kadasa untuk menyelenggarakan penyucian yang berlangsung selama satu hari penuh.
Wirajaya mengungkapkan, terdapat lima petapakan barong landung yang disungsung di pura ini antara lain Ratu Ngurah Gede, Jro Luh, Ratu Ngurah Sakti, Ratu Bagus Kusuma, dan Ratu Ayu Mas Sekar Tunjung.
Pada Palinggih Gedong Bhatara Kawitan bisa dilihat terdapat patung Buddha. Menurut Suyasa ini menandakan, bersatunya aliran Siwa-Bhuda saat itu. Bahkan pada kenyataannya memang pernah ada orang Buddha dari Jepang sekitar tahun 1980 datang memohon tirta amerta di sini. Menurut orang Jepang tersebut, ia mendapat petunjuk untuk memohon tirta yang tempatnya tidak terkena hujan ketika hujan dan tidak terkena sinar matahari. Di sinilah ia menemukan tirta seperti itu.
Berbagai keunikan bisa ditemukan pada pura ini, menurutnya telaga pada utama mandala dan pada madya mandala terhubung. Namun ketika telaga di dalam diubek, telaga di madya mandala tidak ikut keruh. Begitu juga saat dilakukan pembersihan pura, air telaga pada utama mandala kering namun air dari madya mandala tidak berpindah ke utama mandala.
“Driki sane malinggih Ida sampun lingsir. Seperti pada dunia nyata orang yang tua akan semakin lambat. Demikian juga dalam dunia niskala. Setiap pujawali, pasti mulainya di atas jam 11. Padahal sesudah dari pagi dipersiapkan. Besok paginya baru selesai,” ungkap Wirajaya. Reporter : IA. MD. Sadnyari
Parindikan Pura :
1. Nama Pura : Pura Tamansari Agung
2. Alamat : Butyeh, Desa Adat Kerobokan, Kuta Utara
3. Pujawali : Tumpek Klurut
4. Pangempon : Keluarga Pasek Kayu Selem
5. Pemangku Pura : Pan Sura (alm)
6. Pemade : Ketut Sura

Jejak Panjang Wangsa Bhujangga Waisnawa di Bali

Jejak Panjang Wangsa Bhujangga Waisnawa di Bali

Sekte Waisnawa dan Tri Sadaka
Menurut Dr. Goris, sekte-sekte yang pernah ada di Bali setelah abad IX meliputi Siwa Sidhanta, Brahmana, Resi, Sora, Pasupata, Ganapatya, Bhairawa, Waisnawa, dan Sogatha (Goris, 1974: 10-12).
Di antara sekte-sekte tersebut, yang paling besar pengaruhnya di Bali sekte Siwa Sidhanta. Ajaran Siwa Sidhanta termuat dalam lontar Bhuanakosa.
Sekte Siwa memiliki cabang yang banyak. Antara lain Pasupata, Kalamukha, Bhairawa, Linggayat, dan Siwa Sidhanta yang paling besar pengikutnya. Kata Sidhanta berarti inti atau kesimpulan. Jadi Siwa Sidhanta berarti kesimpulan atau inti dari ajaran Siwaisme. Siwa Sidhanta ini megutamakan pemujaan ke hadapan Tri Purusha, yaitu Parama Siwa, Sada Siwa dan Siwa. Brahma, Wisnu dan dewa-dewa lainnya tetap dipuja sesuai dengan tempat dan fungsinya, karena semua dewa-dewa itu tidak lain dari manifestasi Siwa sesuai fungsinya yang berbeda-beda. Siwa Sidhanta mula-mula berkembang di India Tengah (Madyapradesh), yang kemudian disebarkan ke India Selatan dipimpin oleh Maharesi Agastya.
Sekte Pasupata juga merupakan sekte pemuja Siwa. Bedanya dengan Siwa Sidhanta tampak jelas dalam cara pemujaannya. Cara pemujaan sekte Pasupata dengan menggunakan Lingga sebagai simbol tempat turunnya/berstananya Dewa Siwa. Jadi penyembahan Lingga sebagai lambang Siwa merupakan ciri khas sekte Pasupata. Perkembangan sekte Pasupata di Bali adalah dengan adanya pemujaan Lingga. Di beberapa tempat terutama pada pura yang tergolong kuno, terdapat lingga dalam jumlah besar. Ada yang dibuat berlandaskan konsepsi yang sempurna dan ada pula yang dibikin sangat sederhana sehingga merupakan lingga semu.
Adanya sekte Waisnawa di Bali dengan jelas diberikan petunjuk dalam konsepsi Agama Hindu di Bali tentang pemujaan Dewi Sri. Dewi Sri dipandang sebagai pemberi rejeki, pemberi kebahagiaan dan kemakmuran. Di kalangan petani di Bali, Dewi Sri dipandang sebagai dewanya padi yang merupakan keperluan hidup yang utama. Bukti berkembangnya sekte Waisnawa di Bali yakni dengan berkembangnya warga Rsi Bujangga.
Adanya sekte Bodha dan Sogatha di Bali dibuktikan dengan adanya penemuan mantra Bhuda tipeyete mentra dalam zeal meterai tanah liat yang tersimpan dalam stupika. Stupika seperti itu banyak diketahui di Pejeng, Gianyar. Berdasarkan hasil penelitian Dr. W.F. Stutterheim mentra Budha aliran Mahayana diperkirakan sudah ada di Bali sejak abad ke 8 Masehi. Terbukti dengan adanya arca Boddhisatwa di Pura Genuruan, Bedulu, arca Boddhisatwa Padmapani di Pura Galang Sanja, Pejeng, Arca Boddha di Goa Gajah, dan di tempat lain.
Sekte Brahmana menurut Dr. R. Goris seluruhnya telah luluh dengan Siwa Sidhanta. Di India sekte Brahmana disebut Smarta, tetapi sebutan Smarta tidak dikenal di Bali. Kitab-kitab Sasana, Adigama, Purwadigama, Kutara, Manawa yang bersumberkan Manawa Dharmasastra merupakan produk dari sekte Brahmana.
Mengenai sekte Rsi di Bali, Goris memberikan uraian yang sumir dengan menunjuk kepada suatu kenyataan, bahwa di Bali, Rsi adalah seorang Dwijati yang bukan berasal dari Wangsa (golongan) Brahmana. Istilah Dewarsi atau Rajarsi pada orang Hindu merupakan orang suci di antara raja-raja dari Wangsa Ksatria.
Pemujaan terhadap Surya sebagai Dewa Utama yang dilakukan sekte Sora, merupakan satu bukti sekte Sora itu ada. Sistem pemujaan Dewa Matahari yang disebut Suryasewana dilakukan pada waktu matahari terbit dan matahari terbenam menjadi ciri penganut sekte Sora. Pustaka Lontar yang membentangkan Suryasewana ini juga terdapat sekarang di Bali. Selain itu yang lebih jelas lagi, setiap upacara agama di Bali selalu dilakukan pemujaan terhadap Dewa Surya sebagai dewa yang memberikan persaksian bahwa seseorang telah melakukan yajnya.
Sekte Gonapatya adalah kelompok pemuja Dewa Ganesa. Adanya sekte ini dahulu di Bali terbukti dengan banyaknya ditemukan arca Ganesa baik dalam wujud besar maupun kecil. Ada berbahan batu padas atau dai logam yang biasanya tersimpan di beberapa pura. Fungsi arca Ganesa adalah sebagai Wigna, yaitu penghalang gangguan. Oleh karena itu pada dasarnya Ganesa diletakkan pada tempat-tempat yang dianggap bahaya, seperti di lereng gunung, lembah, laut, pada penyebrangan sungai, dan sebagainya. Setelah zaman Gelgel, banyak patung ganesha dipindahkan dari tempatnya yang terpencil ke dalam salah satu tempat pemujaan. Akibatnya, patung Ganesa itu tak lagi mendapat pemujaan secara khusus, melainkan dianggap sama dengan patung-patung dewa lain.
Sekte Bhairawa adalah sekte yang memuja Dewi Durga sebagai Dewa Utama. Pemujaan terhadap Dewi Durga di Pura Dalem yang ada di tiap desa pakaman di Bali merupakan pengaruh dari sekte ini. Begitu pula pemujaan terhadap Ratu Ayu (Rangda) juga merupakan pengaruh dari sekte Bhairawa.
Sekte ini menjadi satu sekte wacamara (sekte aliran kiri) yang mendambakan kekuatan (magic) yang bermanfaat untuk kekuasaan duniawi. Ajaran Sadcakra, yaitu enam lingkungan dalam badan dan ajaran mengenai Kundalini yang hidup dalam tubuh manusia juga bersumber dari sekte ini.
Pada tahun Saka 910 (988 M), Bali diperintah raja Dharma Udayana. Permaisurinya berasal dari Jawa Timur bernama Gunapria Dharmapatni (putri Makutawangsa Whardana). Pemerintahan Dharma Udayana dibantu beberapa pendeta yang didatangkan dari Jawa Timur. Antara lain Mpu Kuturan. Mpu Kuturan diserahi tugas sebagai ketua majelis tinggi penasehat raja dengan pangkat senapati, sehingga dikenal sebagai Senapati Kuturan.
Seperti telah diuraikan sebelumnya, sebelum pemerintahan suami istri Dharma Udayana/Gunapria Dharmapatni (sejak awal abad ke 10), di Bali telah berkembang berbagai sekte. Pada mulanya sekte-sekte tersebut hidup berdampingan secara damai. Lama-kelamaan justru sering terjadi persaingan. Bahkan tak jarang terjadi bentrok secara fisik. Hal ini dengan sendirinya sangat menganggu ketentraman Pulau Bali. Sehubungan dengan hal tersebut, raja lalu menugaskan kepada Senapati Kuturan untuk mengatasi kekacauan itu. Atas dasar tugas tersebut, Mpu Kuturan mengundang semua pimpinan sekte dalam suatu pertemuan yang dilakukan di Bataanyar (Samuan Tiga). Pertemuan ini mencapai kata sepakat dengan keputusan Tri Sadaka dan Kahyangan Tiga.
Nah, terkait dengan Bujangga Waisnawa sampai masuk ke Bali, sejarahnya tentu harus dicari lagi. Ternyata, walaupun tidak khusus juga terdapat di buku Leluhur Orang Bali karangan I Nyoman Singgih Wikarman tentang perjalanan Maharsi Markandya ke Bali.
Perjalanan Beliau ke Bali pertama menuju Gunung Agung. Di sanalah maharsi dan murid-muridnya membuka hutan untuk pertanian. Tapi sayang, murid-muridnya kena penyakit, banyak di antaranya meninggal. Akhirnya Beliau kembali ke Pasramannya di Gunung Raung. Di sanalah beryoga, ingin tahu apa sebabnya hingga bencana menimpa para pengikutnya. Hingga mendapat pawisik bahwa terjadinya bencana itu adalah karena Beliau tidak melaksanakan upacara keagamaan sebelum membuka hutan itu.
Setelah mendapat pawisik, Maharsi Markandya pergi kembali ke Gunung Tahlangkir (Tohlangkir) Bali. Kali ini mengajak serta pengikut sebanyak 400 orang. Sebelum mengambil pekerjaan, terlebih dahulu menyelenggarakan upacara ritual, dengan menanam Panca dhatu di lereng Gunung Agung itu. Demikianlah akhirnya semua pengikutnya selamat. Maka, itu wilayah ini lalu dinamai Besuki, kemudian menjadi Besakih, yang artinya selamat. Tempat maharsi menanam Panca dhatu, lalu menjadi pura, yang diberi nama Pura Besakih.
Entah berapa lamanya Maharsi Markandya berada di sana, lalu Beliau pergi menuju arah Barat dan sampai di suatu daerah yang datar dan luas, di sanalah lagi merabas hutan. Wilayah yang datar dan luas ini lalu diberi nama Puwakan. Kemungkinan dari kata Puwakan ini lalu menjadi Swakan dan terakhir menjadi subak.
Di tempat ini Rsi Markandya menanam jenis-jenis bahan pangan. Semuanya bisa tumbuh dan menghasilkan dengan baik.
Oleh karenanya tempat itu juga disebut Sarwada yang artinya serba ada. Keadaan ini bisa terjadi karena kehendak Sang Yogi. Kehendak bahasa Balinya kahyun atau adnyana. Dari kata kahyun menjadi kayu. Kayu bahasa Sansekertanya taru, kemungkinan menjadi Taro. Taro adalah nama wilayah ini kemudian.
Di wilayah Taro ini Sang Yogi mendirikan sebuah pura, sebagai kenangan terhadap pasraman Beliau di Gunung Raung. Puranya sampai sekarang disebut Gunung Raung. Di sebuah bukit tempatnya beryoga juga didirikan sebuah pura yang kemudian dinamai Pura Payogan, yang letaknya di Campuan Ubud. Pura ini juga disebut Pura Gunung Lebah.
Berikutnya Rsi Markandya pergi ke Barat dari Payogan itu, dan sampai di sana juga membangun sebuah pura yang diberi nama Pura Murwa dan wilayahnya diberi nama Pahyangan, yang sekarang menjadi Payangan.
Orang-orang Aga, murid Sang Yogi, menetap di desa-desa yang dilalui. Mereka bercampur dan membaur dengan orang-orang Bali Asli. Mereka mengajarkan cara bercocok tanam yang baik, menyelenggarakan yajna seperti yang diajarkan oleh Rsi Markandya. Dengan demikian Agama Hindu pun dapat diterima dengan baik oleh orang-orang Bali Asli itu.
Sebagai Rohaniawan (Pandita), orang Aga dan Bali Mula, adalah keturunan Maharesi Markandya sendiri yang disebut Warga Bujangga Waisnawa.
Dalam zaman raja-raja berikutnya, Bujangga Waisnawa ini selalu menjadi Purohita mendampingi raja, ada yang berkedudukan sebagai Senapati Kuturan, seperti Mpu Gawaksa dinobatkan menjadi Senapati Kuturan oleh Sang Ratu Adnyanadewi tahun 1016 Masehi, sebagai pengganti Mpu Rajakerta (Mpu Kuturan). Ratu ini pula yang memberikan kewenangan kepada Sang Guru Bujangga Waisnawa untuk melakukan pacaruan Walisumpah ke atas. Karena sang pendeta mampu membersihkan segala noda di bumi ini. Lalu Mpu Atuk yang masih keturunan Rsi Markandya, di masa pemerintahan Sri Sakala Indukirana (1098 M), dinobatkan sebagai Senapati Kuturan dari Keturunan Bujangga Waisnawa.
Pada masa pemerintahan Suradhipa (1115-1119 M), yang dinobatkan sebagai Senapati Kuturan dari keturunan Sang Rsi Markandya adalah Mpu Ceken, kemudian diganti oleh Mpu Jagathita. Kemudian ketika pemerintahan Raghajaya (1077 M), yang diangkat sebagai Senapati Kuturan yakni Mpu Andonaamenang, dari keluarga Bujangga Waisnawa. Demikianlah seterusnya.
Ketika pemerintahan raja-raja selanjutnya, selalu saja ada seorang Purohita Raja atau Dalem yang diambil dari keluarga Bujangga Waisnawa, keturunan Maharsi Markandya. Sampai terakhir masa pemerintahan Dalem Batur Enggong di Bali. Ketika itu yang menjadi Bagawanta Dalem, mewakili sekte Waisnawa, adalah dari Bujangga Waisnawa pula dari Griha Takmung. Namun sayang dan mungkin sudah kehendak Dewata Agung, terjadi kesalahan Sang Guru Bujangga, di mana Beliau selaku Acarya (Guru) telah mengawini sisyanya sendiri yakni Putri Dalem yaitu Dewa Ayu Laksmi. Atas kesalahan ini sang Guru Bujangga Waisnawa akan dihukum bunuh. Tapi Beliau segera menghilang dan kemudian menetap di wilayah Tabanan.
Semenjak kejadian inilah Dalem tidak lagi memakai Bhagawanta dari Bujangga Waisnawa keturunan Sang Rsi Markandya. Setelah kedatangan Danghyang Nirartha di Bali, posisi Bhagawanta diambil alih Brahmana Siwa dan Budha. Selesailah sudah peranan Bujangga Waisnawa sebagai pendamping raja di Bali. Bahkan setelah strukturisasi masyarakat Bali ke dalam sistem wangsa oleh Danghyang Nirartha atas restu Dalem, keluarga Bujangga Waisnawa tidak dimasukkan lagi sebagai Warga Brahmana.
Namun sisa-sisa kebesaran Bujangga Waisnawa dalam peranannya sebagai pembimbing masyarakat Bali, terutama dari kalangan Bali Mula dan Bali Aga masih dapat kita lihat sampai sekarang. Pada tiap-tiap pura dari masyarakat Bali aga/mula itu, selalu ada palinggih sebagai Sthana Bhatara Sakti Bhujanga. Alat-alat pemujaan selalu siap pada palinggih itu. Orang-orang Bali aga/mula, cukup nuhur tirtha (mohon air suci), terutama tirtha pangentas melalui palinggih ini. Sampai sekarang para warga ini tidak berani mempergunakan atau nuhur Pedanda Siwa.
Warga Bujangga Waisnawa, keturunan Maharsi Markandya sekarang telah tersebar di seluruh Bali. Pura Padarmannya di sebelah Timur Penataran Agung Besakih, sebelah Tenggara Padharman Dalem. Demikian juga pura kawitannya tersebar di seluruh Bali, seperti di Takmung Kabupaten Klungkung, Batubulan Kabupaten Gianyar, Jatiluwih Kabupaten Tabanan dan lain-lain tempat lagi.
Begitulah Maharsi Markandya, leluhur Warga Bujangga Waisnawa penyebar Agama Hindu pertama di Bali, dan warganya sampai sekarang ada saja yang melaksanakan Dharma Kawikon dengan gelar Ida Rsi Bujangga Waisnawa.

THE MEGIC OF BALI TRADITIONAL

Pengimpas-impas.


Pengimpas-impas merupakan sesuatu ilmu atau ajian dimana seorang akan terhindar dari mara bahaya yg bersifat gaib/niskalaBila serangan datang sipemakai/penekun akan terhindar dengan sendirinya.Dlm ilmu meliter dapat dikatakan Rudal pemusnah serangan dr rudal musuh....Tujuan;Melihat dr nama Pengimpas sudah dapat dibaca dan diartikan disini bukan ntuk melawan atau berbenturan namun menghindar atau membelokan.Tujuan dr dr Ilmu ini tiada lain adalah ntuk keselamatan diri (pengeraksa jiwa), krn dengan kekuatan gaib dr pengimpas-impas dapat membuat serangan luput dr sasarannya.Jenis pengimpas-impas@. Pengimpas-impas buatan yg bersifat diluar tubuh berupa serana tertentu atau berupa sesabukan/pekakas/gegemet/buntilan/benda gaib lainnya.Disini serana tersebut diurip atau dipasupati dengan ritual tertentu, shg dpt "memurti" atau hidup secara gaib dan bekerja sesuai fungsinya@.Pengimpas-impas buatan yg bersifat didalam tubuh; serana tertentu dimasukan kedalam tubuh bisa berupa untal-untalan atau dng cara lain.Serana tertentu, misalnya benda tertentu ditaruh pd irisan pisang mas lalu diuntal.serana tersebut setelah masuk dlm tubuh lalu dpt tirta pengurip atau pasupati, dengan demikian akan menjadi "memurti" serta berdaya guna sesuai yg diinginkan..@.Pengimpas-impas berupa rapalan mantra (doa-doa).Biasanya orang yg penekun kebatinan, tidak memerlukan dengan serana namun sudah menguasai dgn mantra..cukup dgn niat sj sudah bisa membentengi diri dr serangan2 scr gaib.Nama-nama pengimpas.ada beberapa nama2 pengimpas menurut sifat dan fungsinya spt:@ Pengimpas Dewa ; terhindar dr musuh dan makanan beracun (cetik) dll.@ Pengimpas Bhuta; terhindar dr makhluk2 gaib, jadian dll.@ Pengimpas Kala; terhindar senjata@ Pengimpas Sanghayang Acintya; terhindar dari sarwa ala/segala macam bahayadan lainnya..Pengimpas-impas yg utama..???Manusia dilahirkan dengan karma wasana, sesuatu yg kita alami adalah buah dr karma dikehidupan dulu ataupun dikehidupan kini..maka dari itulah merupakan kewajiban dr setiap manusia untuk selalu berbuat dlm menjalani hidup berada dijalan Tuhan sesuai dengan Agama dan keyakinan.Lalu pengimpas-impas yg utama adalah kekuatan TUHAN. untuk menenukan kekuatan sejati dr Tuhan, lakukanlah :1. Rajin sembahyang2.Hormat pd Orang Tua.3.Hormat pd orang suci atau disucikan ; pemangku, Sulinggih.4.Positif tingking.5.Bergaul pd semua kalangan.

Cetik.


Cetik merupakan racun ala Bali yg dpt menyebabkan sakit dan bahkan meninggal.Masyarakat Bali sudah tidang asing lg dengan kata2 Cetik..dan bahkan sesuatu penyakit yg terjadi habis membeli makanan, kundangan dsb spt sakit perut, mual, muntah-muntah dhubungkan dgn kena cetik,,Ada juga bila menemukan ulat dan sejenis pd makanan ada jua yg mengjaitkan dengan berisi cetik.Prof. I Made Budi merumuskan bahwa cetik :1. Segala sesuatu yg kalau dimakan dpt meracuni tubuh manusia.2.Racun yg masuk ke dalam tubuh melalui mulut dgn perantara makanan dan minuman, disertai mantra2.3.Suatu ramuan yg dihidupkan dengan kekuatan gaib, cara masuk dpt melalui makanan , minuman, jarak jauh dan menghidupkannya dengan bantuan sesajen.4.Racun yg dpt masuk ke tubuh dengan cara dimakan, diminum, dihirup atau dipasang.Bahan Cetik.Cara pembuatan cetik dan bahan nya cukup unik dengan memadukan bahan (sekala) dan olah batin (niskala)Bahan cetik ; dari tubuhan spt waluh, medang tiing, dll. Dari Binatang spt ikan tertentu yg hidup dilaut,ikan buntek, binatang berbisa, yuyu gringsing dll. Juga dr Benda/logam spt Kerikan gong/gangsa dll, juga memakai organ manusia spt tulang manusia, banyeh (air mayat) dll.Cara membuat cetik;Tidak banyak ada teks/lontar yg menguraiakan cara2 membuat Cetik, mungkin ini sangat berbahaya bila di uraikan atau disebar luaskan secara sembarang dan terbuka. namun secara garis besar sbb;1. pengumpulan bahan dan menentukan dewasa atau hari baik.2.persiapan serana bebantenannya.3.Pengolahan bahan dan pemasupati cetik.4. Penyimpanan dan tehnik2 penggunaannya.Tujuan Cetik.Tujuan orang Nyetik atau yg melakukan perbuatan mencelakai dgn menggunakan Cetik amat beragam, hal ini sy telah mewawancarai beberapa orang dan beberapa para Balian yg pahan dengan dunia Cetik.1.hanya coba2 jd ada tujuan tuk mencoba dan membuktikan cetik yg dimilikinnya.2.Sebagai reaksi dr orang yg sesumbar, agar supaya dpt pelajaran atau dapat balasan dr ke sombongannya. misal ada orang yg mengaku kebal dgn cetik, mengaku punya permata anti cetik, dsb.3. Untuk mencelakai krn ;- iri dan dengki,-kecemburuan sosial-balas dendam-beselisih pahamJenis2 Cetik;- Cetik Cerongcong Polo; menyerang kepala, otot.-Cetik Gringsing; menyerang perut/lambung, hati (isin jeron).-Cetik Reratusan; menyerang otak dan seluruh tubuh.-Cetik Selem; menyerang tenggorokan, saluran pernapasan, paru2.-Cetik Kerikan Gangsa; dada,tenggorokan,-cetik Anyar,-Cetik Kara,-Cetik Tanah,-Cetik Gadang,-Cetik Cula,-CetikBuntek,-Cetik Badung,dan lain-lain.Cara penggunaannya;bagaimana cetik bisa menyerang..?? jelas ada caranya1. Cara langsung; yaitu dengan langsung ditaruh pd makanan, minuman atau dipasang (ditanam) pd pekarangan- makanan, minuman dicelub dgn jari yg telah diolesi cetik,-dilentikan dgn kuku ke makanan, minuman,-diletakan di gelas,piring , sendok atau alat2 makan..2. cara tidak langsung; yaitu dengan perantara jarak jauh, jd dgn niat cetik sudah sampai,,- bisa dengan perantara sesuatu benda milik si korban..-bisa dgn ditaruh di tempat korban lalu dikendalikan dr jarak jauh,,- Orang yg menguasai pengiwe tingkat tinggi dgn cara pandang aja cetik bisa nyampai pd korban.Tip Mengatasi agar terhindar dr Cetik.1. jangan sesumbar/ sombong2. jangan pamer bila punya sesuatu benda "gaib" yg dpt menolak cetik.3. Pakai kleteg bayu atau suara hati bila membeli atau pergi kundangan..4. Bila minum, makan, pegang gelas, piring dengan meletakan jari manis dibawah gelas, piring tahan napas dan berdoa agar terhindar dr racun yg ada pd makanana,minuman.5. Rajin sembahyang6. lakukan sebelum berpergian berdoa/sembahyang.


Tetenger.Dlm ilmu kedokteran atau medis untuk mengetahui suatu penyakit atau menetapkan penyakit si pasien dikenal dengan istilah Diagnosis dan prognosis.Dengan demikian penyakit si pasien akan diketahui jenis penyakitnya serta cara penanganan pun menjadi tepat.Di Bali untuk mengetahui penyakit si pasien inilah disebut ajaran TETENGER atau Patengeraning pati urip sedang dlm Ayur Weda disebut mdria-sthana.Ajaran tentang tetenger banyak dan beragam,,dlm Usada-Usada di Bali memiliki ciri khas tentang mediagnose suatu penyakit.Media tetenger :@Idep ; pikiran, indra keenam sering juga disamakan praktisi punya kemampuan betel tinggal.tetenger dengan media ini haruslah dgn pikiran yg tenang dan kepasrahan yg tinggijd seorang praktisi dpt mengembangkan dan mengasah kemampuanya dlm mediteksi penyakit pasien dengan melihat menggunakan indra keenam atau "mata ketiga".seketika itu juga akan mengetahui sakit sipasien, sebab, dan cara penanganannya.ada pula seorang penyembuh dengan menggunakan prantara saudara empat (kanda pat) untuk mengungkap mistiri penyakit si Pasien,,@Hari kedatangan sang Pasien.biasanya sang penekun akan memakai hari apa paseien datang berobat..@Sikap pasien pd waktu berobat.biasanya diamati dan dilihat sikap dan cara si pasien saat datang berobatspt :-bila datang meraba hidung, maka kawitan yg menyakiti,-bila meraba mulut, maka hyang yg menyakiti dan hrs minta ampun pd Batara Guru di Kemulaan.-Bila meraba pipi, dpt hukuman dr kemulaan,dan sebagainya..@dengan serana Benda tertentu..ada juga dengan serana nginang atau makan sirih kemudian dilihat ludahnya bila keruh berati sulit untuk diobati,,ada juga dengan perantara benda2 gaib spt keris, permata, dll biasanya ini digunakan oleh Balian kapican.@ dengan meraba/menekan di bagian tubuh pasien.meneliti warna mata,, denyut nadi, warna kulit, dan rasa bila ditekan pd bagian organ tubuh dan lain sebagainya...disamping disebutkan diatas masih banyak ajaran2 tetenger lainnya yg sangat berubungan erat dengan pelaku/praktisi serta sistim aguron-guron juga literatur yg digunakan.

Ajian Kawisesan VS Ajian KamoksanAjian Kawisesan menekankan pd yg berhubungan dengan kehidupan kaduniawian atau kesejahteraan hidup atau Jagadhita...Dalam Lontar-lontar Di Bali banyak sekali terdapat ajian kawisesan diantaranya ;Aji Sanghany Wisesa,Aji Pandawa,Aji Pagedongan,Aji Sarira,Aji Palungguhan,Aji Palalangon,Aji Sanghyang Telaga Membeng,Aji Minaka Dharma,Aji wawadonan Titi Murti,Aji Sarining kala kalanangan,Aji Wruhin Baba babu,Aji swangkar,Aji masun,Aji pamaron,Aji pagantungan Sih Pegating Tiga,Aji Yata,Aji Tutur Menget,Aji Pengayam-ayaman,Aji Kresna Murti,Aji Rudra MurtiAji Nawa sangadan lain sebagainya...Dan sering juga disebut "gegelaran" atau "keputusan"manfaat yg didapat dari kawisesan :Phalanya akweh rabi pawongan ajajamah polihnya; dapat mempunyai istri banyak.Polihnya suka sugih amisesa prasida amaanggih swarga ; menemukan kesukaan, kekuasaan dan dapat mencapai sorga di dunia.Wruhaking sira prajurit, pradnyan wicaksana suka sugih, mwang apekik nugun; ulung dimedan laga cakap serta berpenampilan selalu tanpan.,,Ajian kamoksanAji kamoksan menekankan pd kerohanian olah pikiran untuk menuju sensasi yg tinggi pd kemanunggalan atma dengan brahman.kamoksan mengacu kepada makna terlepasnya sang atma dari tubuh untuk manunggal dengan Ida Sanghyang Widi. Untuk memuluskan kemanunggalan ini diperlukan pengetahuan khusus, apakah itu mengenal, mengetahui tanda-tandanya, waktunya, maupun jalan yg ditempuh.Dimasyarakat sering dibilang melajah KEDARMAN.Dalam tutur dalam lontar kamoksaan Ajian ini spt;Aji Tutur Sanghyang kelepasan,Aji Dharma Kalepasan kamoksan,Aji Wekasing Aputih,Aji kalepasan ring Sarira,Aji Sanhyang Dharma,Aji pakekesing Pati,Aji tenggaring Pati,Aji Patyaning Tiga,Aji Patitisan,Aji pakeker,Aji Pamancutan, dan lain sebagainya.Intisari Ajaran.Ajian ini dlm prosesnya mengatur dan menempatkan serta memuja kekuatan DEWA yg difomasikan secara sistimatis sesuai dengan "genah" sehingga menimbulkan kekuatan magis.Begitu juga mengaktifkan cakra2 di dalam tubuh, dimana cakra2 merupakan pusat kekuatan atau pusat tenaga yg terdapat di Tubuh (buana alit),,Dlm perkembangan keilmuan memang banyak terdapat cakra2 dalam tubuh yg dijadikan inti tenaga vital yg hendak diaktifkan.Namun sesungguhnya terdapat cakra utama yg berjumlah 7 cakra..disamping juga terdapat cakra2 pendamping atau cakra minor.Semua cakra harus terbuka dan berfungsi untuk menarik dan memancarkan energi/prana, mengatur dan mempertahankan, mengelola asfek fisik, emosional, mental dan kejiwaan...gerakan atau putaran cakra inilah harus seimbang dan harmonis serta selalu aktif sehingga perkembangan batin/sprituil meningkat dengan baik.Dengan cakra yg harmonis dan sempurna sehingga dapat menghasilkan kesehatan, atau juga energi semakin besar inilah modal utama untuk menuju dan mencapai yg diinginkan....kawisesan atau kamoksan..

AjianSelayang Pandang...Pengelompokan atau penggolongan mistik dimanapun ada kecendrungan membagi dkedalam 2 golongan Putih dan Hitam (Black Magic dan White Magic) di Bali dikenal dengan istilah Pengiwa dan Penengen,, lalu apakah begitu tegas bisa kita pisahkan, apakah begitu gampang kita bisa kelompokan,,Keilmuan , ajian, magic merupakan sebuah fenomena gaib, sangat didasari pd keyakinan dan moralitas.Apapun yg dipelajari , apapun yg ditekuni bilamana keyakinan dibelokan dan moralitas penekun kurang, maka sudah pasti keilmuan tsb menjadi berbelok...dr tujuan keilmuan tersebut.Dlm IPTEK, seperti membuat Senjata Nuklir, Tank, Kapal Tempur, Rudal, dan lain-lain, adalah senjata penghancur musuh, tapi sekaligus pula senjata bertahan dari serangan musuh. Senjata untuk mempertahankan keutuhan bangsa dan negara.Begitu juga dlm ajian, tergantung Oknum penekunnya.Contoh lain seseorang yg mempelajari Ilmu Ekonomi Akuntansi lalu bekerja pd sebuah instansi Keuangan, lalu menyalah gunakan ilmunya dengan membuat laporan keuangan palsu. Dapatka kita vonis Ilmu Akutansi sebuah Ilmu sesat....???sekali lagi "OKNUM"Dalam tradisi "nyastra" di Bali dikenal 2 macam ajian yaitu KAWISESAN dan KAMOKSAN.Kawisesan lebih menekankan pada kekeuatan sakti yg cendrung berkaitan dengan keduniawian.Penekun kawisesan mengoptimalkan kekuatan-kekuatan dirinya untuk tujuan-tujuan dan kepentingan yg lebih bersifat duniawi.seperti: pengobatan untuk menyembuhkan penyakit, mencapai kekayaan, mendapatkan kekuasaan, kenikmatan hidup dan lain-lain.Kamoksan lebih menekan pada melepaskan keduniawian untuk menuju kemanunggalan dengan sang pencipta, lebih mengacu pd kemanunggalan sang atma dengan sang pencipta.Sesuai dengan tujuan hidup Moksatram jagadhita ya ca iti dharma, maka ajian kawisesaan yg menekankan pd duniawi dan pd akhirnya akan meningkatkan pd kamoksan.

Belajar Ngeleak.Untuk mempelajari Ilmu Leak, haruslah ada kesiapan secara fisik dan mental.Ilmu Leak dapat dipelajari oleh semua kalangan dan sebaiknya telah diatas 15 tahun keatas atau telah menek bajang/truna.Persiapan belajar ngeleak;- restu dr orang Tua, khususnya dr Ibu dan sangat bagus bila dpt sungkem serta meletakan kaki ibu di kepala.- Matur piuning di sanggah Kemulan (Rong tiga) mohon restu dr para lelehur.-Matur piuning di Pura Dalem, bisa juga di Pura Rajapati/ulun Setra.Persiapan pd Guru Nabe.ada syarat tertentu yg biasanya dipersiapan oleh siswa pd mulai prosesi pengajaran berupa ritual .Belajar Leak Selem.Grand master Leak Selem adalah Durga,, penekun Leak ini menempatkan Durga sebagai sesembahan dan pusat panugrahan.1, memilih hari baik; Kelion, Kajeng Klion.2. Sesajen selengkapnya dan sanggah cucuk.3. Pd hari yg baik tsb melakukan prosesi pembukaan semacan "inisiasi" di Kuburan.4. Ngerasukan dengan Nengkleng (berdiri satu kaki) dihadapan sanggah cucuk dengan menyebut mantra. rambut diuraikan kedepan..kemudian mengitari sanggah cucuk 3 kali puteran.pd saat menari-nari mengitari sanggah cucuk posisi kaki yg nengkleng berganti-ganti sambil mengucapkan mantra mohon anugrah kekuatan dr Durga.5. Selesai prosesi itu barulah mulai pelajaran berikutnya dr Guru Nabe.Belajar Leak Sari.Sumber ajaran Leak sari adalah dewa Brahma, penekun Leak ini menyakini sumber Ilmu ini dr Batara Brahma.Cara belajar Leak sari berbeda dengan Leak Selem.namun dr persiapan tidak jauh berbeda.1. Hari baik belajar Leak sari Pinanggal pisan atau hari pertama menjelang purnama.2. Sesajen lebih menekankan pd warna merah spt penek barak, ulam ayam biing dan lain-lain.3. Prosesinya dilakukan di Perempatan jalan.4. Sesajen ditaruh di sanggah cucuk dan si murid menghadap utara sbg tempat kedudukan Batara Brahma.5. Ngerasukan ini dilakukan tengah malam memanjatkan doa mantra ke Batara Brahma mohon panugrahan..Tahapan Belajar Pengeleakan1. Tahap pengenalan ;- mulai dari persiapan inisiasi dr Guru Nabe.-Pengenalan Ilmu Leak-kesiapan mental dari siswa.2. Tahap dasar.- Kanda Pat; ngerasukan kanda pat ring angga sarira- Dasa aksara; ngeracah dasa aksara, merarukan dasa aksara ring angga sarira.- pernapasan / olah napas. (Dasa bayu)-menghimpun kekuatan sakti-Kundalini sakti,-Muter bhuana.-Mudra- dan lain-lain.3. Ngelekas,/ Ngerogo sukma.-meditasi-meditasi,-naik kedemensi lain.-tetengger,,-ngerogo sukmo-berubah wujud..-Dan lain-lain..4. Pendalaman- seminar-seminar-kenaikan tingkat-Retreat-dan lain-lainInti dari ajaran Ilmu Leak adalah Dasa Aksara terutama Panca Gni.Ngerasukan atau menghidupkan 5 unsur Api dalam Tubuh.Agni Petak dijantung dinaikan lewat sumsumna ke ubun-ubun, Agni bang di hati menuju mulut, Agni kuning dr ginjal ke telinga, Agni cemeng di empedu ke hidung dan Agni Nila di hati ke rambut...Proses mengaktipkan panca Gni inilah dinamai Gni Murub yg keluar berupa Ndih...Dlm proses Ngero sukma roh bisa keluar kedemensi lain spt bejalan-jalan dalam bentuk Ndih atau bola cahaya....pd saat inilah penekun bisa merasakan dan menikmati keindahan atau sensasi kinikmatan secara batin..


BEBAIorang yg terkena bebai disebut bebainan.Bebainan suatu penyakit dimana si korban kemasukan sesuatu/kekuatan gaib kedalam tubuhnya, kemmasukan disini diakibatkan oleh seseorang yg mempunyai dan memiliki Bebai.Ciri2 Bebai bereaksi pd korban,,- merasakan sakit didaerah perut khususnya dibawah pusar dan diatas kemaluan spt ditusuk-tusuk-sakit menjalar kedaerah pusar padat (enek) spt ada benda yg bergerak-gerak,,-dihulu hati seakan ada benda yg bergerak-gerak,-penderita sering jatuh pinsan bila sakitnya datang/kumat.Ada juga gejala spt :tubuh nyeri-nyeri, kesemutan dan badan terasa pegal perih spt ditusuk-tusuk. bisa juga seluruh tubuh bengkak.Bila bebai menyerang sampai kekepala, penderita akan spt orang gila.Bila menyerang disekitar tangan / sendi- penderita akan menjerit/ triak-triak dan kejang-kejang.bila menyerang di mulut, penderita akan ngoceh tak karuan, menangis..Penderita bebai agak sulit dipegang, biasanya meronta-ronta dan melawan spt mencakar, menggiigit, memukul, menendang. terkadang tenaganya besar tidak seperti biasanya.Yg mudah terserang Bebai;- Remaja pd saat peralihan (akil balik)- memasuki perkawinan- Anak yg manja.Kapan Bebai mudah menyerang.??- pd saat remaja putri datang bulan..-pd saat pikiran kosong akibat melamun, menghayal, juga terkadang pikiran lg kacau..-bebai menjadi dahsyat pd waktu2 tertentu spt sandikala, menjelang rerainan.Apa saja bahan membuat Bebai;ada beberapa bahan/serana untuk membuat Bebai diantaranya.@ Janin orang keguguran.janin yg kira2 berumur 3 bulan,, dimasukan kedalam toples, dibuatkan sesajen..spt bayi..bila satnya tiba, dibawa kekuburan untuk mendapat anugrah/kekuatan. Semenjak itu namanya berubah menjadi RARE WONG dan semenjak itu pula telah menjadi Bebai.@ Otak Manusia.Biasanya diproleh pd saat ada kecelakaan, dimana ditempak kejadian tidak diadakan upacara pengulapan/nebusin..selain otaknya yg dicari juga kulit tangan, kaki...kemudian direka di atas daun lontar.dibuatkan sesajen dan siap menjadi Bebai.@ Sejenis pengawak (benda yg diwijudkan)Biasanya dibuat rajah diatas daun lontar, kemudian dibungkus dengan kain spt membungkus pengawak pd waktu ngaben ngereka.Di tanam diperempatan jalan untuk memproleh kekuatan...benda ini akan menarik energi/kekuatan orang2 yg melalui jalan tsb.setelah 42 hari. dibawa kekuburan untuk mendapakan kekuatan berupa pasupati.. dan selanjutnya menjadi bebai..Pembuatan bebai merupakan proses yg panjang karena memakan waktu sampai 210 hari, maka dari itulah bebai tidak sembarangan didapat, dan harganyapun lumayan mahal.Dimana memproleh bebai;bebai bisa diperjual belikan oleh pemiliknya. Orang yg memelihara bebai belum tentu digunakan untuk diri sendiri, bisa juga tuk orang lain yg berani memberikan sejumlah uang guna menyakiti orang lain.bahkan ada yg kontrak dgn pembeli.apakah cukup hanya sakit tuk waktu tertentu, atau sampai korban meninggal.bila bebai selesai menjalankan misinya , maka akan kembali pd pemiliknya.Jenis2 Bebai; diantaranya.I jaya satru, I Inggo, Inumit, I belog.. setiap Bebai mempunyai teman sampai 27 . dari keseluruhan bebai ada 108. sesuai dengan jumlah Bhuta.Keistimewaan bebai:-Bila bebai masuk ketubuh sasaran,, dan bila si bebai senang dia akan bisa beranak dan membuat keluarga bebai disana.-bebai bisa dikendalikan oleh pemiliknya, dan biasanya rajin memberikan laporan hasil kerjanya.-bebai bisa menipu sang balian, dengan pura2 tunduk dan pergi, namun masuk kembali setelah sang balian pergi.-bebai mudah keluar masuk tubuh penderita sesuka hatinya.-bebai akan tinggal dan pergi begitu korban meninggal..Tindakan preventif;- rajin membersihkan pekarangan rumah, diri sendiri.-rajin sembahyang dan maturan-rajin maturan di Penunggu karang-rajin sembahyang.-hindari stres.-bergaul dan jangan menutup diri, terbuka pd orang tua, jangan menyimpan masalah.