Om namā bhujanggā bħuddayā.

Om awighnam astu namā śidyam. Om prânamyam sirā sang widyam, bhukti bhukti hitartwatam, prêwaksyā tatwam widayah, wişņu wangsā pādāyā śiwanêm, sirā ghranā sitityam waknyam. Rajastryam mahā bhalam, sāwangsanirā mongjawam, bhupa-lakam, satyamloka. Om namadewayā, pānamaskaraning hulun, ri bhatarā hyang mami. Om kara panga bali puspanam. Prajā pasyā. nugrah lakam, janowa papā wināsayā, dirgha premanaming sang ngadyut, sembahing ngulun ri sanghyang bhumi patthi, hanugrahaneng hulun, muncar anākna ikang tatwa, prêtthi entananira sang bhujanggā wişņawa, tan katamanan ulun hupadrawa, tan kêneng tulah pāmiddi, wastu pari purņā hanmu rahayu, ratkeng kulā warggā sāntanannirā, mamastu jagatitayā. Ong namasiwaya, ong nama bhuddayā. Om namā bhujanggā bħuddayā.

Kamis, 31 Juli 2014

BHUJANGGA WAISNAWA ADALAH BAGIAN DARI AJARAN SIWA SIDDHANTA

Ajaran Siwa yang berkembang dibali adalah Siwa Siddhanta. Siddhanta artinya akhir dari sesuatu yang telah dicapai, yang maksudnya adalah sebuah kesimpulan dari ajaran yang sudah mapan. Ajaran ini merupakan hasil dari akulturasi dari banyak ajaran Agama Hindu. Didalamnya kita temukan ajaran Weda, Upanisad, Dharmasastra, Darsana (terutama Samkya Yoga), Purana dan Tantra. Ajaran dari sumber - sumber tersebut berpadu dalam ajaran Tattwa yang menjadi jiwa atau intisari Agama Hindu di Bali. Dalam realisasinya, tata pelaksanaan kehidupan umat beragama di Bali juga menampakkan perpaduan dari unsur - unsur kepercayaan nenek moyang. Wariga, Rerainan (hari raya) dan Upakara sebagian besarnya merupakan warisan nenek moyang. Warisan ini telah demikian berpadu serasi dengan ajaran Agama Hindu sehingga merupakan sebuah satu kesatuan yang bulat dan utuh. Dengan demikian, Agama Hindu di Bali mempunyai sifat yang khas sesuai dengan kebutuhan rohani orang Bali dari jaman dahulu hingga sekarang. Di masa sekarang ini, warisan Agama yang adhiluhung tersebut perlu kita jaga, rawat dan menyempurnakan pemahaman kita sehingga tetap bisa memenuhi kebutuhan jiwa keagamaan umatnya. Sejarah Sekta Siwa Sidhanta dipimpin oleh Maha Rsi Agastya di daerah Madyapradesh (India tengah) kemudian menyebar ke Indonesia. Di Indonesia seorang Maha Rsi pengembang sekta ini yang berasal dari pasraman Agastya Madyapradesh dikenal dengan berbagai nama antara lain: Kumbhayoni, Hari Candana, Kalasaja, dan Trinawindu. Yang populer di Bali adalah nama Trinawindu atau Bhatara Guru, begitu disebut-sebut dalam lontar kuno seperti Eka Pratama. Ajaran Siwa Sidhanta mempunyai ciri-ciri khas yang berbeda dengan sekta Siwa yang lain. Sidhanta artinya kesimpulan sehingga Siwa Sidanta artinya kesimpulan dari Siwaisme. Kenapa dibuat kesimpulan ajaran Siwa? karena Maha Rsi Agastya merasa sangat sulit menyampaikan pemahaman kepada para pengikutnya tentang ajaran Siwa yang mencakup bidang sangat luas. Diibaratkan seperti mengenalkan binatang gajah kepada orang buta; jika yang diraba kakinya, maka orang buta mengatakan gajah itu bentuknya seperti pohon kelapa; bila yang diraba belalainya mereka mengatakan gajah itu seperti ular besar. Metode pengenalan yang tepat adalah membuat patung gajah kecil yang bisa diraba agar si buta dapat memahami anatomi gajah keseluruhan. Bagi penganut Siwa Sidhanta kitab suci Weda-pun dipelajari yang pokok-pokok / intinya saja; resume Weda itu dinamakan Weda Sirah (sirah artinya kepala atau pokok-pokok). Lontar yang sangat populer bagi penganut Siwa Sidhanta di Bali antara lain Wrhaspati Tattwa. Pemantapan paham Siwa Sidhanta di Bali dilakukan oleh dua tokoh terkemuka yaitu Mpu Kuturan dan Mpu/Danghyang Nirartha. Di India wahyu Hyang Widhi diterima oleh Sapta Rsi dan dituangkan dalam susunan sistematis oleh Bhagawan Abyasa dalam bentuk Catur Weda. Pengawi dan ahli Weda I Gusti Bagus Sugriwa dalam bukunya: Dwijendra Tattwa, Upada Sastra, 1991 menyiratkan bahwa di Bali wahyu Hyang Widhi diterima setidak-tidaknya oleh enam Maha Rsi. Wahyu-wahyu itu memantapkan pemahaman Siwa Sidhanta meliputi tiga kerangka Agama Hindu yaitu Tattwa, Susila, dan Upacara. Wahyu-wahyu itu berupa pemikiran-pemikiran cemerlang dan wangsit yang diterima oleh orang-orang suci di Bali sekitar abad ke delapan sampai ke-empat belas yaitu : 1. DANGHYANG MARKANDEYA Pada abad ke-8 beliau mendapat wahyu di Gunung Di Hyang (sekarang Dieng, Jawa Timur) bahwa bangunan palinggih di Tolangkir (sekarang Besakih) harus ditanami panca datu yang terdiri dari unsur-unsur emas, perak, tembaga, besi, dan permata mirah. Setelah menetap di Taro, Tegal lalang – Gianyar, beliau memantapkan ajaran Siwa Sidhanta kepada para pengikutnya dalam bentuk ritual: Surya sewana, Bebali (banten), dan Pecaruan. Karena semua ritual menggunakan banten atau bebali maka ketika itu agama ini dinamakan Agama Bali. Daerah tempat tinggal beliau dinamakan Bali. Jadi yang bernama Bali mula-mula hanya daerah Taro saja, namun kemudian pulau ini dinamakan Bali karena penduduk di seluruh pulau melaksanakan ajaran Siwa Sidanta menurut petunjuk-petunjuk Danghyang Markandeya yang menggunakan bebali atau banten. Selain Besakih, beliau juga membangun pura-pura Sad Kahyangan lainnya yaitu: Batur, Sukawana, Batukaru, Andakasa, dan Lempuyang. Beliau juga mendapat wahyu ketika Hyang Widhi berwujud sebagai sinar terang gemerlap yang menyerupai sinar matahari dan bulan. Oleh karena itu beliau menetapkan bahwa warna merah sebagai simbol matahari dan warna putih sebagai simbol bulan digunakan dalam hiasan di Pura antara lain berupa ider-ider, lelontek, dll. Selain itu beliau mengenalkan hari Tumpek Kandang untuk mohon keselamatan pada Hyang Widhi, digelari Rare Angon yang menciptakan darah, dan hari Tumpek Pengatag untuk menghormati Hyang Widhi, digelari Sanghyang Tumuwuh yang menciptakan getah. 2. MPU SANGKULPUTIH Setelah Danghyang Markandeya moksah, Mpu Sangkulputih meneruskan dan melengkapi ritual bebali antara lain dengan membuat variasi dan dekorasi yang menarik untuk berbagai jenis banten dengan menambahkan unsur-unsur tetumbuhan lainnya seperti daun sirih, daun pisang, daun janur, buah-buahan: pisang, kelapa, dan biji-bijian: beras, injin, kacang komak. Bentuk banten yang diciptakan antara lain canang sari, canang tubugan, canang raka, daksina, peras, panyeneng, tehenan, segehan, lis, nasi panca warna, prayascita, durmenggala, pungu-pungu, beakala, ulap ngambe, dll. Banten dibuat menarik dan indah untuk menggugah rasa bhakti kepada Hyang Widhi agar timbul getaran-getaran spiritual. Di samping itu beliau mendidik para pengikutnya menjadi sulinggih dengan gelar Dukuh, Prawayah, dan Kabayan. Beliau juga pelopor pembuatan arca/pralingga dan patung-patung Dewa yang dibuat dari bahan batu, kayu, atau logam sebagai alat konsentrasi dalam pemujaan Hyang Widhi. Tak kurang pentingnya, beliau mengenalkan tata cara pelaksanan peringatan hari Piodalan di Pura Besakih dan pura-pura lainnya, ritual hari-hari raya : Galungan, Kuningan, Pagerwesi, Nyepi, dll. Jabatan resmi beliau adalah Sulinggih yang bertanggung jawab di Pura Besakih dan pura-pura lainnya yang telah didirikan oleh Danghyang Markandeya. 3. MPU KUTURAN Pada abad ke-11 datanglah ke Bali seorang Brahmana Buddha dari Majapahit yang berperan sangat besar pada kemajuan Agama Hindu di Bali. Pada saat itu beliau mampu menyatukan berbagaimacam aliran atau sekte yang berkembang dibali. Atas wahyu Hyang Widhi beliau mempunyai pemikiran-pemikiran cemerlang mengajak umat Hindu di Bali mengembangkan konsep Trimurti dalam wujud simbol palinggih Kemulan Rong Tiga di tiap perumahan, Pura Kahyangan Tiga di tiap Desa Adat, dan Pembangunan Pura-pura Kiduling Kreteg (Brahma), Batumadeg (Wisnu), dan Gelap (Siwa), serta Padma Tiga, di Besakih. Paham Trimurti adalah pemujaan manifestasi Hyang Widhi dalam posisi horizontal (pangider-ider). 4. MPU MANIK ANGKERAN Setelah Mpu Sangkulputih moksah, tugas-tugas beliau diganti oleh Mpu Manik Angkeran. Beliau adalah Brahmana dari Majapahit putra Danghyang Siddimantra. Dengan maksud agar putranya ini tidak kembali ke Jawa dan untuk melindungi Bali dari pengaruh luar, maka tanah genting yang menghubungkan Jawa dan Bali diputus dengan memakai kekuatan bathin Danghyang Siddimantra. Tanah genting yang putus itu disebut segara rupek. 5. MPU JIWAYA Beliau menyebarkan Agama Budha Mahayana aliran Tantri terutama kepada kaum bangsawan di zaman Dinasti Warmadewa (abad ke-9). Sisa-sisa ajaran itu kini dijumpai dalam bentuk kepercayaan kekuatan mistik yang berkaitan dengan keangkeran (tenget) dan pemasupati untuk kesaktian senjata-senjata alat perang, topeng, barong, dll. 6. DANGHYANG DWIJENDRA Datang di Bali pada abad ke-14 dari desa keling dijawa, beliau adalah keturunan Brahmana Buddha tetapi beralih menjadi Brahmana Siwa, ketika Kerajaan Bali Dwipa dipimpin oleh Dalem Waturenggong. Beliau mendapat wahyu di Purancak, Jembrana bahwa di Bali perlu dikembangkan paham Tripurusa yakni pemujaan Hyang Widhi dalam manifestasi-Nya sebagai Siwa, Sadha Siwa, dan Parama Siwa. Bentuk bangunan pemujaannya adalah Padmasari atau Padmasana. Jika konsep Trimurti dari Mpu Kuturan adalah pemujaan Hyang Widhi dalam kedudukan horizontal, maka konsep Tripurusa adalah pemujaan Hyang Widhi dalam kedudukan vertikal. Danghyang Dwijendra mempunyai Bhiseka lain : Mpu / Danghyang Nirarta, dan dijuluki : Pedanda Sakti Wawu Rawuh karena beliau mempunyai kemampuan supra natural yang membuat Dalem Waturenggong sangat kagum sehingga beliau diangkat menjadi Bhagawanta (pendeta kerajaan). Ketika itu Bali Dwipa mencapai jaman keemasan, karena semua bidang kehidupan rakyat ditata dengan baik. Hak dan kewajiban para bangsawan diatur, hukum dan peradilan adat/agama ditegakkan, prasasti-prasasti yang memuat silsilah leluhur tiap-tiap soroh/klan disusun. Awig-awig Desa Adat pekraman dibuat, organisasi subak ditumbuh-kembangkan dan kegiatan keagamaan ditingkatkan. Selain itu beliau juga mendorong penciptaan karya-karya sastra yang bermutu tinggi dalam bentuk tulisan lontar, kidung atau kekawin. Karya sastra beliau yang terkenal antara lain : Sebun bangkung, Sara kusuma, Legarang, Mahisa langit, Dharma pitutur, Wilet Demung Sawit, Gagutuk menur, Brati Sesana, Siwa Sesana, Aji Pangukiran, dll. Beliau juga aktif mengunjungi rakyat di berbagai pedesaan untuk memberikan Dharma wacana. Saksi sejarah kegiatan ini adalah didirikannya Pura-pura untuk memuja beliau di tempat mana beliau pernah bermukim membimbing umat misalnya : Purancak, Rambut siwi, Pakendungan, Hulu watu, Bukit Gong, Bukit Payung, Sakenan, Air Jeruk, Tugu, Tengkulak, Gowa Lawah, Ponjok Batu, Suranadi (Lombok), Pangajengan, Masceti, Peti Tenget, Amertasari, Melanting, Pulaki, Bukcabe, Dalem Gandamayu, Pucak Tedung, dll. Ke-enam tokoh suci tersebut telah memberi ciri yang khas pada kehidupan beragama Hindu di Bali sehingga terwujudlah tattwa dan ritual yang khusus yang membedakan Hindu-Bali dengan Hindu di luar Bali, karena dibali sesungguh Siwa Sidhanta dan Buddha kasogatan menjadi satu dalam keseharian hidup dan ritual orang bali. Sumber - Sumber Ajaran Walaupun sumber - sumber ajaran Agama Hindu di Bali berasal dari kitab - kitab berbahasa Sansekerta, namun sumber - sumber tua yang kita warisi kebanyakan ditulis dalam dua bahasa yaitu Bahasa sansekerta dan Bahasa Jawa Kuno. Kitab yang di tulis dalam bahasa Sansekerta umumnya adalah kitab Puja, namun bahasa Sansekerta yang digunakan adalah bahasa Sansekerta kepulauan khas Indonesia yang sedikit berbeda denga bahasa Sansekerta versi India. Sedangkan kitab - kitab yang ditulis dalam bahsa jawa kuno antara lain Bhuwanakosa, Jnana Siddhanta, Tattwa Jnana, Wrhaspati tatwa dan Sarasamuscaya. Kitab Bhuwanakosa, Jnana Siddhanta, Tattwa Jnana dan Wrhaspati Tattwa adalah kitab - kitab yang Tattwa yang mengajarkan Siwa Tattwa yang mana juga kitab - kitab ini menjadi unsur dari isi Puja. Sedangkan Sarasamuscaya adalah kitab yang mengajarkan susila, etika dan tingkah laku. Disamping itu juga terdapat banyak lontar - lontar indik yang menjadi rujukan pelaksanaan kehidupan umat beragama dan bermasyarakat di Bali seperti lontar Wariga, lontar tentang pertanian, pertukangan, organisasi sosial dan yang lainnya. Disamping itu juga terdapat kitab - kitab Itihasa dan gubahan - gubahan yang berasal dari purana, seperti Parwa ( kisah Maha Bharata), Kanda (Ramayana) dan juga kekawin - kekawin yang menjadi alat pendidikan dan pedoman dalam bertingkah laku bagi masyarakat. Itihasa dan juga purana juga menjadi sumber dalam kehidupan berkesenian di Bali terutama kesenian yang masuk kategori Wali atau sakral, seperti wayang, topeng, calonarang dan yang lainnya, yang mana pementasan kesenian tersebut umumnya mengangakat tema cerita yang berasala dari Itihasa, purana atau kekawin. Tidak semua pelaksanaan kehidupan beragama di Bali yang dapat dirujuk kedalam sumber - sumber ajaran sastra agama, yang dikarenakan Agama Hindu di Bali begitu menyatu dengan Budaya, adat, seni dan segala aspek kehidupan orang Bali, sehingga banyak warisan budaya para leluhur orang Bali yang tetap diwariskan turun - temurun dan menjadi satu keatuan denga Agama Hindu di Bali. Pokok - Pokok Ajaran Ajaran Siwa Siddhanta di Bali terdiri dari tiga kerangka utama yaitu Tattwa, Susila dan Upacara keagamaan. Tatwa atau filosofi yang mendasarinya adalah ajaran Siwa Tattwa. Di dalan Siwa Tattwa, Sang Hyang Widhi adalah Ida Bhatara Siwa. Dalam lontar Jnana Siddhanta dinyatakan bahwa Ida Bhatara Siwa adalah Esa yang bermanifestasi beraneka menjadi Bhatara - Bhatari. Sa eko bhagavan sarvah Siwa karana karanam Aneko viditah sarwah Catur vidhasya karanam Ekatwanekatwa swalaksana bhatara ekatwa ngaranya Kahidup makalaksana siwatattwa Tunggal tan rwatiga kahidep nira Mangekalaksana siwa karana juga tan paphrabeda Aneka ngaranya kahidup Bhataramakalaksana caturdha. Caturdha ngaranya laksananiram stuhla suksma sunya. Artinya : Sifat Bhatara eka dan aneka. Eka artinya ia dibayangkan bersifat Siwa Tattwa, ia hanya esa tidak dibayangkan dua atau tiga. ia bersifat Esa saja sebagai Siwakarana (Siwa sebagai pencipta), tiada perbedaan. Aneka artinya Bhatara bersifat Caturdha. Caturdha adalah sifatnya, sthula, suksma dan sunia. Sumber - sumber lain yang menyatakan Dia yang Eka dalam Beraneka juga kita temukan dalam banyak mantra - mantra, diantaranya adalah : Om namah Sivaya sarvaya Dewa-devaya vai namah Rudraya Bhuvanesaya Siwa rupaya vai namah Artinya : Sembah bhakti dan hormat kepada Siwa, kepada Sarwa Sembah bhakti dan hormat kepada dewa dewanya Kepada Rudra raja alam semesta Sembah hormat kepada dia yang rupanya manis Twam Sivas twam Mahadewa Isvara Paramesvara Brahma Visnuca Rudrasca Purusah Prakhrtis tatha Artinya : Engkau adalah Siwa Mahadewa Iswara, Parameswara Brahma, Wisnu dan Rudra Dan juga sebagai Purusa dan Prakerti Tvam kalas tvam yamomrtyur varunas tvam kverakah Indrah Suryah Sasangkasca Graha naksatra tarakah Artinya : Engkau adalah Kala, Yama dan Mrtyu Engkau adalah Varuna, Kubera Indra, Surya dan Bulan Planet, naksatra dan bintang - bintang Prthivi salilam tvam hi Tvam Agnir vayur eva ca Akasam tvam palam sunyam Sakhalam niskalam tatha Artinya : Engkau adalah Bumu, Air dan juga Api Angkasa dan alam sunia tertinggi Juga yang berwujud dan tak berwujud Dengan contoh - contoh ini menunjukkan bahwa semua Bhatara - Bhatari itu adalah Bhatara Siwa sendiri. Bhatara - Bhatari itulah yang dipuja sebagai Ista Dewata. Banyaknya Ista Dewata yang dipuja akan berkaitan dengan banyaknya Pura dan Pelinggih, Pengastawa, Rerainan dan Banten. Ista Dewata adalah Bhatara Siwa yang aktif sebagai Sada Siwa, sedangkan Bhatara Siwa sebagai Parama Siwa bersifat tidak aktif atau sering disebut Sunia. Dalam manifestasi beliau sebagai Dewa Brahma, Wisnu dan Iswara yang paling mendominasi pemujaan yang ada di Bali. Konsep penciptaan, pemeliharaan dan pemrelina menunjukkan Bhatara Siwa sebagai apa yang sering disebut Sang Hyang Sangkan paraning Numadi, yaitu asal dan kembalinya semua yang ada dan tidak ada di jagat raya ini. salah satu yang menarik dari keberadaan Bhatara Siwa, ialah Beliau berada dimana - mana, di seluruh penjuru mata angin dan di pengider - ider. Di timur Ia adalah Iswara, di tenggara Ia adalah Mahesora, di selatan Ia adalah Brahma, di barat daya Ia adalah Rudra, di barat Ia adalah Mahadewa, di barat laut Ia adalah Sangkara, di utara Ia adalah Wisnu, di timur laut Ia adalah Sambhu dan ditengah Ia adalah Siwa. Sebagai Sang Hyang kala, di timur Ia adalah kala Petak (putih), di selatan Ia adalah Kala Bang (merah), di barat ia adalah Kala Gading (Kuning), di utara Ia adalah Kala Ireng (hitam) dan ditengah Ia adalah kala mancawarna. Selain ajaran ke-Tuhanan, ajaran Siwa Siddhanta juga memuat beberapa ajaran diantaranya ajaran tentang Atma yang sesungguhnya berasal dari Bhatara Siwa dan akan kembali kepada-Nya juga, ajaran Karma Phala yang berkaitan dengan Punarbawa atau siklus reinkarnasi, ajaran pelepasan yang berkaitan tentang Yoda dan Samadhi. Terdapat pula ajaran tata susila yang erat hubungannya dengan ajaran Karma Phala. Tumpuan dari ajaran tata susila itu adalah Tria Kaya Parisuddha yaitu Kayika Parisuddha (berbuat yang benar), Wacika Parisuddha (berbicara yang benar) dan Manacika Parisuddha (berfikir yang benar). Siwa Siddhanta Dalam Pelaksanaan Kehidupan Beragama di Bali Ada relasi antara manusia dengan Tuhan. Relasi ini diwujudkan dalam bentuk bakti sebagai wujud Prawrtti Marga. Tuhan dipuja sebagai saksi agung akan semua perbuatan manusia di dunia. Tuhan yang memberikan berkah dan hukuman kepada semua mahluk. Di Bali, bhakti kepada Tuhan direalisasikan dalam berbagai bentuk. Untuk orang kebanyakan, bhakti diwujudkan dengan sembahyang yang diiringi dengan upakara. Upakara artinya pelayanan dengan ramah diwujudkan dengan banten. Upakara termasuk Yajna atau persembahan suci. Baik sembahyang maupun persembahan Yajna memerlukan tempat pemujaan. Pemangku, Balian Sonteng dan Sulinggih mengantarkan persembahan umat kepada Tuhan dengan saa, mantra dan puja. Padewasan dan rerainan memengang peranan penting, yang mana pada semua ini ajaran sradha kepada Tuhan akan selalu tampak terwujud. Demikian juga misalnya saat Bhatara Siwa sebagai Dewata Nawa Sanga diwujudkan dalam banten caru, belia disimbulkan pada banten Bagia Pula Kerti, beliau dipuja pada puja Asta Mahabhaya, Nawa Ratna dan pada kidung belia dipuja pada kidung Aji Kembang. Bhatara Siwa sebagai Panca Dewata dipuja dalam berbagai Puja, Mantra dan saa, ditulis dalam aksara pada rerajahan dan juga disimbulkan pada alat upacara serta aspek kehidupan beragama lainnya. Tempat - tempat pemujaan menunjukkan tempat memuja Bhatara Siwa dalam manifestasi beliau. Belia dipuja sebagai Siwa Raditya di Padmasana, dipuja sebagai Tri Murti di sanggah, paibon, Kahyanga Desa dan kahyangan jagat. Pemujaan Tuhan pada berbagai tempat sebagai Ista Dewata sesuai dengan ajaran Tuhan berada dimana - mana. Demikinalah orang Bali menyembah Tuhan disemua tempat, di Pura Dalem, Pura Desa, Pura Puseh, Bale Agung, Pempatan Agung, Peteula, Setra, Segara, Gunung, Sawah, Dapur dan sebagainya. Disamping itu diberbagai tempat Tuhan dipuja sebagai Dewa yang "Ngiyangin" atau yang memberkati daerah pada berbagai aspek kehidupan, seperti Dewa Pasar, Peternakan, Kekayaan, Kesehatan, Kesenian, Ilmu Pengetahuan dan sebagainya. Dengan demikian hampir tidak ada aspek kehidupan orang Bali yang lepas dari Agama Hindu. Dalam pemujaan ini Tuhan dipuja sebagai Ista Dewata, Dewa yang dimohon kehadirannya pada pemujaannya, sehingga yang dipuja bukanlah Tuhan yang absolut sebagai Brahman dalam Upanisad atau Bhatara Siwa sebagai Parama Siwa, namun Tuhan yang bersifat pribadi yang menjadi junjungan yang disembah oleh penyembahnya. Ista Dewata ini dipandang sebagai tamu yang dimohon kehadirannya oleh hambanya pada waktu dipuja untuk menyaksikan sembah bakti umatnya. Oleh karena itu Tuhan dipuja sebagai "Hyang" dari aspek - aspek kehidupan yang rasa kehadiran-Nya sangat dihayati oleh hambanya sama seperti penghayatan umat terhadapa aspek kehidupan tersebut. Pemujaan dilakuakn dalam suasana, tempat cara dan bahan yang paling tepat dan paling dihayati oleh para pemuja-Nya. Terdapat persembahan Banten, pakaian, hiasan yang semuanya dipersembahkan dengan begitu serasi dengan penghayatan, perasaan dan cita rasa dari penyembah-Nya sehingga penghayatan menyusup kedalam lubuk hati yang terdalam. Apapun yang dipersembahkan, maka itu adalah sesuatu yang terbaik menurut para penyembah-Nya. Akibat dari semua itu adalah adanya variasai dan pelaksanaan hidup beragama di Bali. Namun inti dari prinsip ajaran agama Hindu adalah sama, yaitu Tuhan yang ada dimana - mana sama dengan Tuhan Yang Maha Esa yang menampakkan diri dalam berbagai wujud dan pandangan penyembah-Nya, yang abstrak dihayati melalui bentuk. sumber : Kalender Pasraman Yogadhiparamaguhya 2009, susunan IBG Budayoga, S Ag, Msi

Minggu, 20 Juli 2014

GARIS PERGURUAN MARKANDEYA DI BALI

Orang-orang keturunan Austronesia telah menyebar di seluruh wilayah Bali. Mereka tinggal berkelompok-kelompok dengan Jro-jronya (pemimpin-pemimpinnya masing-masing). Kelompok-kelompok inilah nantinya yang menjadi desa-desa di Bali mereka adalah Orang Bali Mula, dan mereka dikenal dengan nama Pasek Bali. Ketika itu, orang-orang Bali mula belum menganut Agama, mereka hanya menyembah leluhur yang mereka namakan Hyang. Menurut para ahli, kondisi spiritual masyarakat Bali pada saat itu masih kosong. Keadaan yang demikan ini berlangsung hingga awal tarih masehi kurang lebih sekitar abad pertama masehi. Dengan keadaan Bali yang demikian maka mulailah berdatangan orang-orang dari luar Bali ke pulau ini. Disamping untuk mengajarkan agama Hindu, mereka juga ingin memajukan Bali dalam segala sektor kehidupan. Untuk hal tersebut datanglah seorang rsi ke Bali yang bernama Maharsi Markandeya. Menurut sumber – sumber berupa lontar, sastra, dan purana, Maharsi Markandeya berasal dari India. Seperti dinyatakan sebagai berikut dalam Markandeya Purana, “Sang Yogi Markandeya kawit hana saking Hindu” yang artinya “sang yogi Markandeya asal mulanya adalah dari India”. Dari data-data yang di dapatkan nama Markandeya bukan nama perorarangan, melainkan adalah nama perguruan atau nama pasraman seperti halnya juga nama Agastya. Perguruan atau pasraman adalah lembaga yang mempelajari dan mengembangkan ajaran-ajaran dari guru-guru sebelumnya. Kebiasaan secara tradisi yang diturunkan dari generasi ke generasi untuk melanjutkan tradisi dari guru sebelumnya, yaitu dari guru ke murid dan seterusnya. Garis perguruan turun temurun ini di sebut Parampara, dan tiap-tiap parampara menyusun pokok-pokok ajarannya, dari parampara yang telah mengangkat guru dan murid untuk melanjutkan garis perguruan ini dinamakan Sampradaya. Dari tiap-tiap sampradaya menyusun pokok-pokok ajarannya dari sumber-sumber yaitu, Catur Weda, Purana, Upanisad, Wedanta Sutra, dan Itihasa. Walaupun memiliki pandangan yang berbeda, namun mereka mengambilnya dari Weda dengan tradisi turun-temurun yang sama dalam menafsirkan dan mengajarkan pokok-pokok ajaran di dalam Weda. Demikian akhirnya, pustaka-pustaka suci tersebut disebarkan, dimana di antaranya adalah Markandeya Purana, Garuda Purana, Siva Purana, Vayu purana, Visnu Purana dan lain sebagainya. Bahkan dari tiap generasi ke generasi terdapat nama diksa (inisiasi) yang sama dengan nama pendahulunya. Jadi sang Maharsi Markandeya adalah seorang rsi dari garis perguruan yang namanya sama dengan nama pendahulunya di India, beliau datang ke Indonesia untuk menyebarkan agama Hindu, terutama paham Waisnava (pemuja Wisnu). Ketika tiba di Indonesia, Maharsi Markandeya berasrama di wilayah Pegunungan Dieng, Jawa Tengah. Lalu beliau ber-dharmayatra ke arah timur, dan tibalah di Gunung Raung, Jawa Timur. Disini beliau membuka pasraman dimana beliau di dampingi oleh murid-murid beliau yang di sebut Wong Aga (orang-orang pilihan). Beberapa tahun kemudian beliau melanjutkan perjalanan ke timur, tepatnya ke pulau Bali yang ketika itu masih kosong secara spiritual. Disamping untuk mengajarkan agama Hindu, beliau juga ingin mengajarkan teknik-teknik pertanian secara teratur, bendungan atau sistem irigasi, peralatan untuk yajna dan lain-lain. Perjalanan beliau diiringi oleh 800 orang murid-muridnya. Saat datang pertama kali ke Bali, beliau datang ke Gunung Tohlangkir. Disana beliau dan murid-muridnya merabas hutan untuk lahan pertanian, tetapi sayangnya banyak murid-muridnya terkena penyakit aneh tanpa sebab, ada juga yang meninggal diterkam binatang buas seperti mranggi (macan), ada yang hilang tanpa jejak, bahkan ada yang gila. Melihat keadaan demikian, Maharsi Markandeya memutuskan untuk kembali ke Gunung Raung, lalu beliau beryoga untuk mengetahui bencana yang menimpa murid-muridnya ketika ke Bali. Akhirnya beliau mendapatkan petunjuk bahwa terjadinye bencana tersebut adalah karena beliau tidak melaksanakan yajna sebelum membuka hutan itu. Setelah mendapatkan petunjuk, Maharsi Markandeya kembali lagi datang ke Bali tepatnya ke Gunung Tohlangkir. Kali ini beliau hanya mengajak 400 orang muridnya. Tapi sebelum merabas hutan dan kembali mengambil pekerjaan sebelumnya, Maharsi Markandeya melakukan upacara ritual, berupa yajna, agni hotra, dan menanam panca datu di lereng Gunung Tohlangkir, Nyomia, dan upacara Waliksumpah untuk menyucikan dan mengharmoniskan tempat tersebut. Demikianlah akhirnya semua pengikut beliau selamat tanpa kurang satu apapun. Oleh karena itu, Maharsi Markandeya kemudian menamakan wilayah tersebut dengan nama Wasuki, kemudian berkembang menjadi nama Basukian dan dalam perkembangan selanjutnya orang-orang menyebut tempat ini dengan nama Basuki yang artinya keselamatan. Hingga saat ini, tempat ini dikenal dengan nama Besakih dan tempat beliau menaman panca datu akhirnya di dirikan sebuah pura yang diberi nama Pura Besakih. Dan Maharsi Markandeya mengganti nama Gunung Tohlangkir dengan nama Gunung Agung. Tidak hanya itu saja, Maharsi Markandeya akhirnya menamakan pulau ini dengan nama Wali yang berarti persembahan atau korban suci,  dan dikemudian hari dikenal dengan nama Bali Dwipa atau sekarang dikenal dengan nama Bali, dimana semua akan selamat dan sejahtera dengan melaksanakan persembahan yajna atau korban suci. Setelah beberapa tahun lamanya beliau akhirnya menuju arah barat untuk melanjutkan perjalanan dan sampai di suatu daerah datar dan luas, sekaligus hutan yang sangat lebat. Disanalah beliau dan murid-muridnya merebas hutan. Wilayah yang datar dan luas itu dinamakan Puwakan, kemudian dari kata puakan berubah menjadi Kasuwakan, lalu menjadi Suwakan dan akhirnya menjadi Subak. Di tempat ini beliau menanam berbagai jenis pangan dan semuanya bisa tumbuh dengan subur dan menghasilkan dengan baik. Oleh karenanya tempat ini di namakan Sarwada yang artinya serba ada. Karena keadaan ini dapat terjadi karena kehendak Tuhan lewat perantara sang maharsi. Kehendak bahasa Balinya kahyun, kayu bahasa sansekertanya taru, kemudian dari kata taru tempat ini dikenal dengan nama Taro dikemudian hari, yang terletak di kabupaten Gianyar. Di wilayah ini Maharsi Markandeya mendirikan pura sebagai kenangan terhadap pasramannya di gunung raung. Pura ini dinamakan Pura Gunung Raung, bahkan hingga saat ini di bukit tempat beliau beryoga juga di dirikan sebuah pura yang kemudian dinamakan Pura Luhur Payogan, yang letaknya di Campuan, Ubud. Pura ini juga disebut pura Gunung Lebah. Selanjutnya Mahasri Markandeya pergi ke arah barat dari arah Payogan dan kemudian membangun sebuah pura yang diberi nama Pura Murwa, sedangkan wilayahnya dan sebagainya di beri nama Parahyangan kemudian orang-orang menyebutnya dengan sebutan Pahyangan. Dan sekarang tempat tersebut dikenal dengan Payangan. Orang-orang Aga, murid-murid maha rsi markandeya menetap di desa-desa yang dilalui oleh beliau, mereka membaur dengan orang-orang Bali mula, bertani dan bercocok tanam dengan cara yang sangat teratur, menyelenggarakan yajna seperti yang di ajarkan oleh Maharsi Markanadeya. Dengan cara demikian terjadilah pembauran orang-orang Bali mula dan orang-orang Aga, kemudian dari pembauran ini mereka dikenal dengan nama Bali Aga yang berarti pembauran penduduk bali mula dengan orang-orang aga, murid Maharsi Markandeya,  dengan adanya hal ini, maka Hindu dapat diterima dengan baik oleh orang-orang Bali mula ketika itu. Sebagai rohaniawan (pandita) orang-orang Bali Aga dimana Maharsi Markandeya menjadi pendirinya, maka orang-orang Bali Aga dikenal dengan nama Warga Bhujangga Waisnava. Dalam jaman kerajaan Bali, terutama zaman Dinasti Warmadewa. Warga Bhujangga Waisnsava selalu menjadi purohito (pendeta utama kerajaan) yang mendampingi raja, antara lain Mpu Gawaksa yang dinobatkan oleh sang ratu Sri Adnyadewi tahun 1016 M, sebagai pengganti Mpu Kuturan. Ratu Sri Adnyadewi pula yang memberikan wewenang kepada sang guru dari Warga Bhujangga Waisnava untuk melaksanakan upacara Waliksumpah ke atas, karena beliau mampu membersihkan segala noda di bumi ini, bahkan sang ratu mengeluarkan bhisama kepada seluruh rakyatnya yang berbunyi : “Kalau ada rsi atau wiku yang meminta-minta, peminta tersebut sama dengan pertapa, jika tidak ada orang yang memberikan derma kepada petapa itu, bunuhlah dia dan seluruh miliknya harus diserahkan kepada pasraman. Dan apa bila terjadi kekeruhan di kerajaan dan di dunia, harus mengadakan upacara Tawur, Waliksumpah, Prayascita (menyucikan orang-orang yang berdosa), Nujum, orang-orang yang mengamalkan ilmu hitam haruslah sang guru Bhujangga Waisnava yang menyucikannya, sebab sang guru Bhujangga Waisnava seperti angin, bagaikan Bima dan Hanoman, itu sebabnya juga sang guru Bhujangga Waisnava berkewajiban menyucikan desa, termasuk hutan, lapangan, jurang. Oleh karena sang guru Bhujangga Waisnava sebaik Bhatara Guru, boleh menggunakan segala-galanya dan dapat melenyapkan hukuman”. Kemudian pada masa pemerintahan Sri Raghajaya tahun 1077 M yang diangkat menjadi purohito kerajaan adalah Mpu Andonamenang dari keluarga Bhujangga Vaisnava. Lalu Mpu Atuk di masa pemerintahan raja Sri Sakala Indukirana tahun 1098 M, kemudian Mpu Ceken pada masa pemerintahan raja Sri Suradipha tahun 1115 – 1119 M, kemudian Mpu Jagathita pada masa pemerintahan Sri Jayapangus tahun 1148 M. Untuk raja-raja selanjutnya selalu ada seorang purohito raja yang diambil dari keluarga Bhujangga Waisnava dan seterusnya hingga masa pemerintahan Sri Dalem Waturenggong di Bali. Saat itu yang menjadi purohito adalah dari griya Takmung dimana beliau melakukan kesalahan selalu acharya kerajaan yang telah mengawini Dewi Ayu Laksmi yang tidak lain adalah putri Dalem sendiri selaku sisyanya. Atas kesalahannya ini sang guru Bhujangga akan dihukum mati, tapi beliau segera menghilang dan kemudian menetap di daerah Buruan dan Jatiluwih, Tabanan. Semenjak kejadian tersebut, dalem tidak lagi memakai purohito dari Bhujangga Waisnava. Sejak itu dan setelah kedatangan Danghyang Nirartha di Bali, posisi purohito di ambil alih oleh Brahmana Siwa dan Budha. Bahkan setelah strukturisasi masyarakat Bali ke dalam sistem wangsa oleh Danghyang Nirartha atas persetujuan Dalem, keluarga Bhujanggga Waisnava tidak dimasukkan lagi sebagai warga brahmana. Namun peninggalan kebesaran Bhujangga Waisnava dalam perannya sebagai pembimbing awal masyarakat Bali, terutama dari kalangan Bali Mula dan Bali Aga masih terlihat sampai sekarang. Pada tiap-tiap pura dari masyarakat Bali Aga, selalu ada sebuah pelinggih sebagai sthana Bhatara Sakti Bhujangga. Alat-alat pemujaan selalu siap pada pelinggih itu. Orang-orang Bali Aga/Mula cukup nuhur tirtha, tirtha apa saja, terutama tirta pengentas adalah melalui pelinggih ini. Sampai sekarang para warga ini tidak pernah/berani mempergunakan atau nuhur Pedanda Siva. Selain itu, para warga ini tidak pernah mempersembahkan sesajen dari daging ketika diadakan pujawali dan biasanya mereka menggunakan daun kelasih sebagai salah satu sarana persembahan selain bunga, air, api dan buah. Warga Bhujangga Waisnava, keturunan Maharsi Markandeya sekarang sudah tersebar di seluruh Bali, pura pedharmannya ada di sebelah timur penataran agung Besakih di sebelah tenggara pedharman Dalem. Demikian juga pura-pura kawitannya tersebar di seluruh Bali, seperti di Takmung, kabupaten Klungkung, Batubulan, kabupaten Gianyar, Jatiluwih di kabupaten Tabanan dan di beberapa tempat lain di Bali. Demikianlah Maharsi Markandeya, leluhur Warga Bhujangga Waisnava penyebar agama Hindu pertama di Bali dan warganya hingga saat ini ada yang melaksanakan dharma kawikon dengan gelar Rsi Bhujangga Waisnava. Sedangkan orang-orang Aga beserta keturunakannya telah membaur dengan orang-orang Bali Mula atau penduduk asli Bali keturunan Bangsa Austronesia, dan mereka dikenal dengan nama orang-orang Bali Aga. Sumber: I Gede Agus Suprapto

Minggu, 11 Mei 2014

SEMETON BHUJANGGA RING DESA ADAT DENKAYU (DAYANKAYU / DADYANKAYU /DAJANKAYU/ DAHENKAYU)

Maosang parindikan kawentenan Desa Adat Denkayu, kasinahanne tadah sukil pisan, sakewanten kruna Denkayu punika sampun wenten munggah ring sajeroning prasasti tembaga (Tambra Prasasti), sane wawu kapanggih sasih Kesanga (Maret), warsa 1964, kawastanin Prasasti Dayan Kayu, sane mangkin prasastine punika magenah ring Pura Dalem Majapahit, ring Banjar Gambang, Desa Mengwi, Kecamatan Mengwi, Kabupaten Badung. Prasastine punika kasurat ring lempengan tembaga, ngangge aksara Bali Kuno lan basanipun taler Basa Bali Kuno. Wenten kabaos asapuniki : ” …tka ring magha mahadiwasa, ring kartikantara purwabhyasa kalayaran salwirannya, ateher karaman i dayankayu, tkapira rakryan rajaputra raja putri, tan pintana pirak …” (Ring sasih kepitu dewasa becik lan sasih kapat sekadi sane sampun-sampun, parindikan palayaran, karaman dayankayu, kapica cihna tulis, maka cihna pikolih panumbas, olih rakryan pangeran, putra putrin sang raja, tan kakenen pajak marupa pirak). Dayan Kayu, yening manut sesuratan Jawa Kuno, dayan dados kawacen den. Dayan dados dajan, kaja, kadya, teges gunung, genah sane kasengguh suci, sane mangkin sampun kaloktah kaja “arah gunung“, ring Bali Selatan mateges kaler (utara). Bandingang ring kruna Den Pasar, Den Jalan, Den Bukit, Den Tiis, Den Carik. Nanging sane sampun kalumrah sane sampun kalumrah ring pambiaran, wenten carita sane munggah ring Babad Brahmana Kemenuh : Kacarita ri sampun jagat Ki Panji Sakti ring Den Bukit, kakuasa olih Mengwi, kala irika ida sang amurweng Kawyapura Ida Cokorda Madhe Agung, nunas Bhagawanta ring Ki Panji, raris katurang warih Ida Padanda Wiraga Sandhi, tereh Kemenuh, sane mapepasih Ida Padanda Sakti Wayan Bukian, kairing olih para panjak, kalinggihang ring Jenggala Kekeran. Ring Jenggala Kekeran, ngawentenang putra catur diri, tur madiksa mapulang rah, makadi; Ida Padanda Wayan Kekeran, Padanda Madhe Kekeran, Ida Padanda Nyoman Kekeran lan Padanda Ktut Kekeran. Suening asue ida malinggih ring Kekeran, dados wenten pikayunan Ida Cokorda Agung Sakti (Blambangan), pacang ngalinggihang Bhagawanta Puri ring huluning Puri. Punika mawinan Ida Padanda Wayan Kekeran kalinggayang genah ring hulu Puri, kawastanin Smi Arum, sane mangkin kabaos Geria Ageng, tur wewidangan desa punika kawastanin Dahenkayu. Jagate ring Dahenkayu sampun wenten sane malinggih irika, "SEMETON BHUJANGGA", nanging sapangrawuh Ida Padanda, panjake katur sami, punika taler panjak-panjak sane wenten ring Kekeran, akeh sane ngiringang, taler sangkaning katitah olih sang ngawisesa jagat. Kirang langkung ring warsa 1856, wenten rawuh saking jagat Leba, kesahe saking Banjar Tunon, saking irika wenten kabaos Dajan Kayu Banjar Tunon, sane mangkin Banjar Denkayu Delodan. Kadadosan sane mangkin Desa Adat Denkayu, wantah mawiwit saking 2 Banjar : Banjar Denkayu Baleran lan Banjar Denkayu Delodan. Manut pangeling-eling ring Desa Adat Denkayu, sane kamanggehang dados Kelihan Desa, inggih punika : Kapertama saking sameton Bhujangga, kaping kalih I Gusti Ngurah Putu Gadhung, kaping tiga Ida Bagus Murdha, kaping papat, Ida Bagus Arnawa, kaping lima Ida Bagus Gede Santhica, kaping nenem Ida Bagus Bawa, kaping pitu I Nyoman Suka, kaping kutus Ida Bagus Ketut Jelantik. Ri kala punumadegan Kelihan Desa Ida Bagus Gede Santhica, raris makarya nyasa simbul, marupa ali-ali. Simbul ali-aline punika, kanirgamayang mamata mirah bolong, sane maka bebaktan Ida Padanda Sakti Wawurawuh, punika mangge ring sajeroning stempel, matetujon pangiket karama Desa Adat Denkayu, madasar pikayunan sane suci. Cutetipun : Desa Adat Denkayu sane mangkin, wastannya sampun wenten saking karihinan manut babahan sane ring ajeng. Manut prasasti sawatara abad 14, sampun wenten kruna Dayan Kayu, ngalantur Dahen (Don) Kayu, pamekas sane kalumrah ring pambiaran Desa Adat Denkayu. Asapunika atur piuning titiang kirang langkung ampurayang, dumogi kabenjang pungkuran kategepang malih mangda dados paripurna.

Senin, 10 Februari 2014

PURA PETALI JATILUWIH DANG KAHYANGAN PENINGGALAN IDA RSI CANGGU (PUTRA IDA RSI WAISNAWA MUSTIKA)

Pura Luhur Pucak Petali terletak di Desa Adat Jatiluwih, Penebel, Tabanan. Menurut beberapa catatan sejarah, pura ini dibangun oleh Bhagawan Rsi Canggu bersama Arya Wangbang pada zaman pemerintah Adhipati Samprangan Sri Kresna sekitar saka warsa 1272 atau 1350 masehi. Salah satu sumber yakni Tattwa Maharsi Markandya diuraikan pembangunan pura ini berhubungan dengan kisah Ida Bagus Angker yang merupakan putra dan Rsi Wesnawa Mustika. Setelah Rsi Mustika wafat di Besakih karena bertapa cukup lama memohon kestabilan negara, Bagus Angker pindah dari Sengguhan Klungkung ke Giri Kusuma. Beliau melakukan yoga samadhi, mempersatukan pikiran sucinya. Tempat beliau beryoga akhirnya dinamakan Gunung Sari, sementara tempat tinggal Ida Bagus Angker dinamakan Jatiluwih, sebab sudah melakukan dwijati dengan bhiseka Ida Bhujangga Rsi Canggu. Beliau bersama Arya Wangbang dibantu oleh masyarakat sekitar membangun khayangan yang diberi nam Pura Petali. Bhujangga Rsi Canggu sangat tersohor dalam satra agama, ilmu kebatinan, baik buruknya hari hingga ilmu pengobatan beliau kuasai. Tentu saja keberadaan Pura Petali ini menjadi pusat kegiatan spiritual Rsi Canggu beserta pengikut dan masyarakat di sana saat itu. Menurut keyakinan masyarakat sekitar Pura Petali sesuai dengan namanya, pura ini merupakan pengikat bumi atau pengikat jagat raya. Jadi pura ini merupakan, pusat produksi gelombang spiritual yang mampu memberikan perlindungan kepada umat manusia dan alam semesta. Awalnya ketika ditemui, pura ini hanya berupa susunan bebatuan berbentuk tugu, terletak di tengah hutan yang berada pada ketinggian ( gunung). Masyarakat sekitar setelah melakukan permohonan kemudian membangun pura di tempat tersebut. Namun berdasarkan petunjuk gaib yang didapatkan, tinggi bangunan pura tidak boleh melebihi batang pohon yang tumbuh juga secara misterius di lokasi tersebut. Di tempat ditemukannya semacam bangunan tugu yang terbuat dari batu dan diretakan dengan tanah liat tersebut, kini telah dibangun beberapa pelinggih. Pelinggih tertinggi merupakan gedong tamblingan dengan tumpang lima, sementara gedong berikut kerinan dan gedong simpen. Selain itu, terdapat beberapa piyasan. Pada tanah seluas sekitar 10 hektar ini, lokasi pura tertata dengan indah berupa jada tandeg, jaba tengah dan jeroan. Di jaba tengah terdapat beberapa pelinggih dan beji. Desa Adat Jatiluwih sejak turun temurun telah menjadi pengempon dan pura peninggalan zaman kuno. Sementara Puri Tabanan sebagai pengenceng. Piodalan di pura ini jatuh pada Buda Kliwon Ugu. Lima banjar Adat di Desa Adat Jatiluwih yakni Jatiluwih Kawan, Jatiluwih Kanginan, Kasambahan Kaja, Kesambahan Kelod dan Kesambi bahu-membahu dalam penyelenggara upacara yadnya. Lokasi pura ini masih berdekatan dengan Pura Luhur Maha Warga Bhujangga Waisnawa, namun dengan posisi lebih rendah. Demikian pula kedua pura ini masih terdapat kaitan sejarah. Hanya Pura Luhur Waisnawan kini berstatus kawitan yang disungsung oleh Maha Warga Bhujangga Waisnawan. Sementara Pura Petali menjadi sungsungan jagat. Pusat Aktivitas Spiritual Para pendiri pura di Bali telah menyalakan semangat yoga, persatuan dengan Tuhan pada berbagai titik-titik nadi Bali. Sebagaimana halnya Pura Petali yang merupakan pusat dari aktivitas spiritual Rsi Canggu dan segenap pengikiutnya. Aktivitas spiritual seperti ini upacara-upacara agama, tapa yoga samadhi dipusatkan pada zaman itu di pura ini, dengan maksud untuk memohon kerahayuan jagat dan kemurnian hati. Selain sebagai pusat aktivitas pemujaan, menurut beberapa catatan sejarah, tempat ini juga merupakan pusat pengkajian dan pengajaran sastra agama bagi para pengikut Rsi Canggu dan masyarakat sekitar Jati Luwih. Terlebih mengingat Rsi Canggu merupakan ahli dalam hal pengajaran Weda dan sastra-sastra agama. Tempat ini hendaknya juga dijadikan sebagai tempat pengkajian ajaran Weda di samping pelaksanaan yadnya sesuai dengan petunjuk satra-sastra suci. Dibangun untuk Kegiatan Asrama Pura Petali sejak awal memang dirancang untuk kegiatan ashram. Dalam pustaka Bhuwana Tattwa Maharesi Markandeya dinyatakan antara lain, “Apa sira wus putus, mangke sira Ida Bagus Angker ingaranan Ida Bhagawan Resi Canggu. Ngkana sira Bhagawan Resi Canggu kalawan Arya Wang Bang iniring wang wadwa akweh akarya Parahyangan ngaran Pura Patali.” Maksudnya : Setelah beliau mencapai tingkatan rohani yang lebih tinggi ( wus putus ) sebagai Dwijati, selanjutnya beliau Ida Bagus Angker bergelar Ida Bhagawan Resi Canggu. Demikianlah beliau Bhagawan Resi Canggu bersama dengan Arya Wang Bang diikuti oleh masyarakat banyak mendirikan tempat suci bernama Pura Patali. Menurut tokoh Hindu, Drs. I Ketut Wiana, M.Ag, tradisi aguron-uuron dalam sistem pendidikan Hindu di Bali bertujuan untuk meningkatkan rohani umat bahkan sampai mencapai status dwijati melalui proses diksa. Setelah berstatus dwijati, proses selanjutnya mendirikan pasraman untuk menuntun masyarakat yang bersedia menjadi murid atau sisya. Lewat proses guron-guron itulah seorang dwijati yang juga disebut Sang Meraga Putus melakukan Panadahan Upadesa artinya menyebarkan pendidikan kerohanian dan menjadi Sang Patirthan. Mengutip Saramuscaya 40, lebih lanjut Ketut Wiana mengatakan, Pasraman itu merupakan tempat umat mohon penyucian, di samping sebagai Sang Satyavadi dan Sang Apta Lebih lanjut Wiana yang juga dosen di IHD Negeri Denpasar itu mengatakan, pendidikan kerohanian itu bertujuan agar masyrakat dapat hidup mengikuti proses berdasarkan konsep Catur Asrama. Tiap- tiap Asrama memiliki batasan-batasan disiplin hidup tertentu. Pada tahap Brahmacari, prioritas hidup adalah untuk mendalami dharma. Pada tahapan hidup Grhastha priorits hidup untuk mewujudkan Artha dan Kama. Sedangkan dalam tahapan Wanaprastha dan Bhiksuka prioritas hidup adalah untuk mewujudkan tujuan hidup tertinggi yaitu moksha. Demikianlah beliau melaksanakan konsep itu dengan membangun pasraman. Setelah Ida Bagus Angker meraga putus dengan gelar Bhagawan Resi Canggu, beliau menjadi Adi Guru Loka. Artinya menjadi gurunya masyarakat luas. Bukan semata-mata guru dari warga atau w3angsanya saja. Bukan di-diksha sebagai seorang dwijati terlebih dahulu melangsungkan upacara mapamit pada sanak keluarganya. Secara formal beliau tidak lagi menjadi milik keluarga saja. Artinya beliau tidak lagi sebagai ayah, kakek, kakak, adik, dst. Besoknya setelah berstatus dwijati beliau menjadi gurunya masyarakat luas, tentunya termasuk mantan keluarganya. Itulah sebabnya, menurut Wiana, keberadaan Pura Patali di Desa Jati luwih Kecamatan Penebel ini menjadi bagian yang tidak terpisahkan dengan Pura Resi dan Pura Jati Luwih Kawitan Bujangga Waisnawa tersebut. Dinyatakan pula, putra Ida Bhagawan Resi Waisnawa Canggu, Ida Bhagawan Guru menikah dengan putra Dalem Watu Renggong yang bernama I Dewa Ayu Laksemi. Ini artinya Pura Patali di bangun oleh Ida Bhagawan Canggu pada zaman pemerintah Dalem Watu Renggong yang memerintah Bali tahun 1460-1550 Masehi. Pelinggih utama di Pura Patali ini adalah berbentuk bebaturan atau terpasang sebagai stana Ida Batara Luhur Pura Patali. Di pura ini terdapat stu benda peninggalan tradisi megalitikum berupa bat persegi yang sisinya tidak beraturan. Peninggalan inilah yang diebut Pejenengan Ida Batara Pucak Patali. Dan proses pendirinya, kita akan melihat bahwa Pura Patalu ini merupakan Pasraman Ida Bagus Angker, leluhur wangsa Bujangga Waisnawa. Karena itu tepat sekali kesimpulan peneliti pura dari IHD ( UNHI sekarang ) tahun 1982 yang menyatakan bahwa Pura Patali sebagai Pura Dang Kahyangan, artinya pura sebagai pasraman suci dan rsi. Di Pura ini terdapat juga berbagai pelinggih pasimpangan seperti meru Tumpang Lima di sudut timur laut oada areal Jeroan Pura Utama Mandala. Meru Tumpang Lima ini sebagai media pemujaan Bhatara Dewi Danu di Danau Tamblingan. Upcara Pujawali di Pura Patali ada;ah setiap emnam bulan wuku, yakini tiap Buda Kliwon Wugu. Dengan adanya pemujaan pada Dewi Danu,berarti Pura Patali di samping sebagai pura pasraman juga sebagai pura untuk memohon keselamatan pertanian dan arti luas. Dengan adanya pelinggih pesimpangan Ida Bhatara Dewi Danu, di Pura Patali ini umat diingatkan untuk menjaga kelestarian danau sebagai sumber air. Kalau melestarikan danau sebagai sumber air tentunya tidak mungkin tidak melakukan upaya Wana Kerti artinya menjaga kelestarian hutan. Di luar areal pura, yakni di sebelah utara temnok penyengker pura terdapat pelinggih Beji. Di Pelinggih inilah umat memohon bahab tirtha yang digunakan di pura Patali pada saat ada upacara baik upacara piodalan atau pujawali maupun saat hari raya upacara-upacara keagamaan lainnya. Oke,,,ulasan tentang Pura Pucak Petali diatas mengukuhkan keberadaan pura ini sebagai sumbernya kekuatan dan inspirasi,karena memang dari awal di Pura ini adalah pesraman yang dibangun sebagai oleh Putra dari Rsi Wesnawa Mustika yang bernama Ida Bagus Angker,,, Semoga bermanfaat, dan mampu memberikan pencerahan untuk kita semua,,, SUMBER By : Abdi Negara

Selasa, 28 Januari 2014

DALEM TAMBLINGAN LELUHUR I DEWA AYU SAPUH JAGAT (ISTRI IDA MAHARSI MADHURA)

Sejarah Singkat Arya Dalem Tamblingan "Om Awighnam Astu Nama Siwaya" Menurut Prasasti Gobleg, Kandan Sanghyang Mertajati, dan Babad Hindu Gobleg diceritakan bahwa Ida Bhatara Siwa memiliki 3 Putra yang turun ke Bumi yakni: Ida Bhatara Dalem Solo, Ida Bhatara Dalem Kelungkung, dan Ida Bhatara Dalem Tamblingan. Ketiga Ida Bhatara ini sering disebut sebagai Ida Bhatara Sanghyang Tiga Sakti, Melinggih ring Pelinggih Gedong/Meru Tumpang Lima ngaran Gedong Kusuma Jati Ning. Semua Keturunan Beliau bergelar Satrya Dalem. Dari sinilah kemudian pengelompokan Keturunan Bali Mula (Bali Kuno/Bali Aga) dibagi menjadi 2 bagian besar yakni: 1. Kelompok Dalem, terdiri dari: Satrya Dalem, Arya Dalem, dan Pasek Dalem 2. Kelompok Abdi Dalem, terdiri dari: Arya, Pasek, dan Pande Ida Bhatara Dalem Solo melinggih ring Solo, Ida Bhatara Dalem Kelungkung melinggih ring Kelungkung, dan Ida Bhatara Dalem Tamblingan melinggih ring Alas Mertajati-Tamblingan (sekitar Danau Tamblingan) . Kemudian Ida Bhatara Dalem Tamblingan merabian ring Dewa Ayu Mas Ngencorong (Putri dari Ida Bhatara Dalem Solo) yang kemudian mempunyai 2 Putra dan 1 Putri yakni: 1. Dewa Dalem Maojog Mambet 2. Dewa Dalem Juna (Nyukla Brahmacari) 3. Dewa Ayu Mas Dalem Tamblingan (Merabian ring Ida Bhatara Dalem Ped ring Nusa Penida) Dewa Dalem Maojog Mambet (Bhatara Guru Nabe) melinggih ring Meru Tumpang Lima di Pura Pejenengan-Gobleg, Keturunan Beliau bergelar Arya Dalem Tamblingan, Beliau mempunyai 2 Istri yakni: 1. Dewa Ayu Manik Subandar (Putri dari Ida Bhatara Dalem Solo) sebagai Siwa ring Tengen melinggih ring Pura Siwa Muka Bulakan-Gobleg, Solo ngaran Jawa yang artinya Piodalannya ring Sugian Jawa. Beliau mempunyai Putra: 1.1.Ngurah Bendesa (Penyarikan Agung), 1.2.Ngurah Nyrita (Penyarikan Gong), 1.3.Ngurah Kubayan (sebagai Kubayan), 1.4.Dewa Ayu Dalem Tamblingan (Dewa Ayu Sapuh Jagad yang kemudian menikah dengan Ida Rsi Gede Madhura)menurunkan sentana Rsi Bhujangga Bali trah Ida Rsi Madhura. 2. Dewa Ayu Ibu (Putri dari Ida Bhatara Dalem Kelungkung) sebagai Siwa ring Kiwa melinggih ring Pura Siwa Muka Suukan-Gobleg, Kelungkung ngaran Bali yang artinya Piodalannya ring Sugian Bali. Beliau mempunyai Putra: Ngurah Pasek (Balian Agung / melinggih ring Bale Agung sebagai Hulu) , Ngurah Ngeng (Balian Banten), Ngurah Mangku (Mangku Agung / Mangku Gede / Mangku Puseh) Selanjutnya diceritakan Ngurah Bendesa mempunyai Putra: Ngurah Pangenter (Pangenter Agung), Kubayan, dan Dewa Ayu Merta Sari. Semua Keturunan Arya Dalem Tamblingan ini tidak diperkenankan memakan Buah Timbul ataupun menebang Pohon Timbul dan membunuh Tetani (rayap), hal ini dikarenakan Ida Bhatara Dalem Tamblingan pernah berhutang jasa terhadap Pohon Timbul dan Tetani. Sebelumnya diceritakan Ida Bhatara Dalem Solo pada waktu turun ke Bumi dianugrahkan Tepak Besi Kuning oleh Aji-Nya yg isinya terdiri dari: 16 parekan, 1 ekor Kidang, dan 2 ekor Macan, kemudian Ida Bhatara Dalem Kelungkung juga dianugrahkan Tepak Besi Kuning yg isinya terdiri dari: 16 parekan, 1 ekor Kidang, dan 2 ekor Macan, sedangkan Ida Bhatara Dalem Tamblingan dianugrahkan Tepak Besi Kuning oleh Aji-Nya yang isinya terdiri dari: 16 parekan, 1 ekor Kerbau Putih, dan 2 ekor Macan yg bernama Gringsing Wayang dan Gringsing Kuning. Setelah Ida Bhatara Dalem Tamblingan sampai di Alas Merta Jati (sekitar Danau Tamblingan) dibukalah Tepak Besi Kuning tersebut, kemudian keluarlah ke-16 parekan tersebut dan diperintahkan oleh Ida Bhatara Dalem Tamblingan untuk membuat Puri atau tempat pemukiman di pesisir Danau Tamblingan. Ke-16 parekan ini diberi nama sebagai Pasek Tamblingan yg dikemudian hari berpindah tempat dan berganti nama menjadi 2 bagian yakni: 1. Delapan parekan pergi ke daerah Sai (Pupuan) dan berganti nama menjadi Pasek Sai 2. Delapan parekan lagi pergi ke daerah Batur Sari dan berganti nama menjadi Pasek Batur Sari Ciri dari ke-2 Pasek ini dapat dilihat dari Pura Kawitannya yg di dalamnya terdapat: 1. Pelinggih Meru Tumpang Tiga 2. Pelinggih Gedong Sari 3. 1 buah Bale Piyasan 4. Warna Gama-nya adalah Merah-Putih Ke-2 Pasek ini Pathirtaan-nya ring Gusti Mancawarna (ring Gobleg). Kemudian Daging Tepak Besi Kuning yang lainnya ikut juga keluar yakni 1 ekor Kerbau Putih dan 2 ekor Macan (Gringsing Wayang & Gringsing Kuning). Setelah selesai membuat Puri/Pasraman serta membuka lahan pertanian, Ida Bhatara Dalem Tamblingan pada waktu itu bergelar sebagai Satrya Dalem Tamblingan. Setelah selesai membangun pasraman di Tamblingan, kemudian ada Pemastu (perintah berisi bisama/kutukan) dari Sanghyang Aji Tiga Sakti agar semua Keturunan Satrya Dalem Tamblingan agar membangun Pura tempat berbakti kepada Ida Bhatara Kawitan. Pura ini terdiri dari beberapa Pelinggih sbb: • Gedong Kunci, dengan 3 (tiga) anak tangga (undagan) • Meru Tumpang Lima (Gedong Kusuma Jati Ning), dengan 5 (lima) anak tangga • Bale, dengan 5 tiang penyangga (adegan/tampul), ditengah Bale diberi 3 (tiga) anak tangga Kalau tidak membangun Pura seperti yang di atas, maka seluruh Keturunan Satrya Dalem Tamblingan akan mendapat Bisama/Kutukan: sengsara terus-menerus tidak bisa diobati/diampuni dan tidak ada kerja/pekerjaan dengan hasil yang baik. Kalau membangun Pura seperti di atas, maka Bisama/Kutukan itu akan terhapuskan. Pada waktu menghaturkan bhakti di Pura ini sebaiknya tidak sembarangan (berhati-hati), sebelumnya harus menghaturkan sembah sebanyak tiga kali dengan Mantram sbb: “ Om Atur ing ulun Ang Eng Syang, Ong Sanghyang Tiga Sakti Yam, Ong Am Om dwa telu papat lima enam dasa syia kutus sada pitu Yam” Singkat cerita, Ida Bhatara Dalem Solo sudah memiliki Istri dengan 2 Putri dan 1 Putra, Ida Bhatara Dalem Kelungkung sudah memiliki Istri dengan 2 Putra dan 1 Putri, Ida Bhatara Dalem Tamblingan belum mempunyai Istri. Kemudian dianugrahkanlah seorang Putri Ida Bhatara Dalem Solo kepada Ida Bhatara Dalem Tamblingan untuk diangkat sebagai Putri Angkat, namun setelah dewasa, Putri Ida Bhatara Dalem Solo diambil sebagai Istri oleh Ida Bhatara Dalem Tamblingan. Kemudian menurunkan 2 Putra dan 1 Putri yang bernama : Dewa Dalem Maojog Mambet, Dewa Dalem Juna, Dewa Ayu Mas. Dewa Dalem Maojog Mambet memiliki 2 Istri (Kiwa-Tengen) dan memperoleh Anugrah untuk menciptakan Mata Air Suci yang disebut sebagai Tirta Pradana Urip dan Tirta Pradana Pati di Pura Pejenengan-Gobleg, Tirta ini diperuntukan bagi alam beserta isinya baik yang berupa benda hidup (urip) ataupun benda mati (pati), Penguasa/Pemilik Tirta ini adalah Ida Bhatara Ibu Sakti (Sanghyang Panca Maha Bhuta), Melinggih ring Pura Pejenengan, Piodalan ring Tumpek Landep. Dewa Dalem Juna tidak memiliki Istri (Nyukla Brahmacari). Dewa Ayu Mas Dalem Tamblingan Merabian (Menikah) Ring Ida Dalem Sakti Dalem Ped (Nusa Penida). Lama kelamaan, berita ini diketahui oleh Ida Bhatara Dalem Solo, dan dipanggilah Ida Bhatara Dalem Tamblingan menghadap ke Solo. Sesampai di Solo bertanyalah Ida Bhatara Dalem Solo kepada Ida Bhatara Dalem Tamblingan, apakah benar Putrinya diambil Istri oleh Adiknya, dan dijawab benar oleh Ida Bhatara Dalem Tamblingan. Akhirnya Ida Bhatara Dalem Solo menjadi Murka (marah) kepada Adiknya, karena kesalahan yang dilakukan oleh Adiknya tersebut, maka diturunkanlah gelar Satrya Dalem Tamblingan menjadi Arya Dalem Tamblingan. Kemudian Ida Bhatara Dalem Tamblingan diperintah oleh Ida Bhatara Dalem Solo untuk menggali sebuah sumur di Solo, setelah sumur digali, lalu ditimbunlah Ida Bhatara Dalem Tamblingan dengan batu, namun semua batu kembali naik ke atas. Di dalam sumur, Ida Bhatara Dalem Tamblingan menemukan lubang semacam goa kecil dan di dalamnya terdapat akar Pohon Timbul yang sudah dimakan rayap (tetani), kemudian dipeganglah akar pohon timbul tersebut sebagai pegangan menelusuri goa tersebut. Akhirnya sampailah Ida Bhatara Dalem Tamblingan di atas permukaan goa yang disebut dengan nama Goa Naga Loka, letaknya diperbukitan (Bukit Gunung Raung) di atas Danau Tamblingan. Goa Naga Loka ini dibuat oleh Ida Bhatara Sorang Dana (Ida Bhatara Dalem Naga Loka). Berhasilnya Ida Bhatara Dalem Tamblingan sampai dipermukaan goa tidak terlepas dari bantuan Akar Pohon Timbul dan Tetani (rayap), oleh sebab itu bersumpahlah Ida Bhatara Dalem Tamblingan kepada seluruh Keturunan-Nya agar tidak makan Buah Timbul dan tidak membunuh serta mengutuk Tetani (rayap). Disini secara garis besar juga saya sampaikan beberapa sebutan Ida Bhatara menurut Prasasti Gobleg, Babad Hindu Gobleg, Kandan Sanghyang Mertajati, dan beberapa sumber media informasi lainnya, yakni: 1. Ida Bhatara Puseh (Ida Bhatara Sanghyang Aji Sakti), Beliau meraga Tiga, yakni sebagai Sanghyang Siwa (Merah), Sada Siwa (Putih/Kuning), dan Parama Siwa (Hitam). Beliau Melinggih ring Pura Puseh, ring Pelinggih Piyasan Tiga Sakti, ring Pelinggih Padma Tiga (ring Penataran Agung Pura Besakih). 2. Ida Bhatara Siwa Guru (Ida Bhatara Aji Sakti / Ida Bhatara Dewa Dalem Majapahit), Melinggih ring Pura Bukit Sinunggal (Desa Tajun), ring Gunung Agung, ring Pelinggih Gedong/Meru Tumpang Pitu. 3. Ida Bhatara Raja Berawa Murti (Ida Bhatara Dewa Dalem Tiongkok), Melinggih ring China/Tiongkok, ring Pelinggih Konco. 4. Ida Bhatara Sanghyang Srimandi (Ida Bhatara Sanghyang Kendi), Melinggih ring Gunung Batur (Pura Batur-Kintamani), ring Pelinggih Gedong/Meru Tumpang Tiga. 5. Ida Bhatara Dalem Solo (Ida Bhatara Dewa Dalem Bremang), Melinggih ring Surakarta-Solo, ring Pelinggih Gedong/Meru Tumpang Lima. 6. Ida Bhatara Dalem Kelungkung (Ida Bhatara Dewa Dalem Bahem), Melinggih ring Kelungkung, ring Pelinggih Gedong/Meru Tumpang Lima. 7. Ida Bhatara Dalem Tamblingan (Ida Bhatara Dewa Dalem Mas Madura Sakti), Melinggih ring Pura Dalem Tamblingan, ring Pelinggih Gedong/Meru Tumpang Lima. 8. Ida Bhatara Surya (Ida Bhatara Dewa Dalem Dasar), Melinggih ring Pura Dalem Dasar, ring Pelinggih Gedong/Meru Tumpang Tiga.

MAHARSI MADHURA DI SEPUTARAN DANAU BERATAN BEDUGUL BALI

Menurut Raja Purana Pura Puncak Pengungangan, Bedugul. Menyebutkan tentang perjalanan Ida Rsi Madura dengan diiring sekitar 400-800 orang pengikut beliau datang dari jawa ke daerah seputaran Danau Beratan untuk melakukan pertapaan dan untuk membangun tempat-tempat suci. Begitu juga seperti tersebut dalam Bhuana Tattwa Rsi Markandeya, dimana dinyatakan bahwa Ida Rsi Madura memperistri anak dari Ida Dalem Tamblingan yang bernama Ida Dewa Ayu Sapuh Jagat. Dari dua sumber tertulis ini dapat ditelusuri bahwa Ida Rsi Madura pernah lama bertempat tinggal di daerah seputaran Bedugul. Di seputaran tempat ini, beliau banyak membangun tempat suci atau pura yang banyak mengadopsi arsitektur Jawa disesuaikan dengan tempat kelahiran dan asal Ida Rsi Madura yaitu dari daerah Madura. Pura-pura ini kalau kita telusuri dari daerah selatan adalah: Pura Puncak Sari, Pura Puncak Kayu Sugih, Pura Puncak Pengungangan, Pura Batu Meringgit, Pura Puncak Terate Bang (Pura Puncak Bukit Tapak), Pura Penataran Beratan, Pura Candi Mas, Pura Puncak Rsi, Pura Puncak Taman Sebatu (Pura Ulun Danu Beratan yang asli). Pura-pura ini terletak diseputaran Danau Beratan. Kemudian di Danau Buyan beliau membangun Pura Ulun Danu Buyan. Di samping di seputaran Danau Beratan dan Banau Buyan, pada jaman itu beliau juga memugar dan memperbaiki serta menandai pura-pura diseputaran Danau Tamblingan seperti : Pura Ulun Danu Tamblingan, Pura Pengubengan, Pura Endek, Pura Dalem Tamblingan, Pura Tirta Mengening, Pura Puncak Lesung, Pura Naga Loka. Ida Rsi Madura merupakan seorang Maharsi sakti yang berasal dari tanah Jawa. Beliau merupakan kombinasi antara karakter seorang brahmana dan ksatria. Dulu di India karakter ini dimiliki oleh salah satu dari 10 awatara dari Dewa Wisnu yaitu Parasu Rama Awatara. Parasu Rama merupakan seorang brahmana yang terlahir sebagai anak dari Rsi Jamadagni. Meskipun beliau terlahir sebagai seorang brahmana akan tetapi karakter utama yang muncul dalam diri beliau justru sifat seorang ksatria, dimana kemana-mana beliau membawa kapak dan memerangi para ksatria yang berbuat tidak adil di muka bumi ini. Begitu juga Ida Betara Lingsir Rsi Madura. Beliau terlahir sebagai putra dari Ida Maharsi Sunia Murti. Dari kecil beliau dibentuk dengan karakter seorang brahmana, akan tetapi semakin mendekati dewasa, justru sifat ksatria yang semakin jelas kelihatan dari diri beliau. Beliau sangat senang berkelahi terutama untuk membela kaum yang tertindas. Beliau sangat senang bertapa untuk mendapatkan wahyu ilmu kedigjayaan. Sampai suatu saat beliau mendapatkan pusaka keris dari hasil bertapa beliau pada waktu remaja mendekati dewasa di pesisir pantai Madura. Semenjak saat itu ida Maharsi Madura tidak pernah terpisahkan dengan keris seumur hidup beliau. Beliau merupakan satu-satunya pendeta brahmana yang setiap saat menyelipkan keris dipinggang beliau. Karena kesaktian beliau yang sangat tinggi, sehingga banyak orang yang berguru kepada beliau. Salah satu murid beliau adalah Arya Wiraraja, yang nantinya akan menjadi penguasa pulau Madura. Ketika Raden Wijaya meminta bantuan kepada Arya Wiraraja untuk membantu menumbangkan kerajaan kedirinya Jaya Katwang, Ida Rsi Madura juga yang memberikan petunjuk-petunjuk perang, bekal-bekal aji kesaktian sehingga akhirnya pasukan Raden Wijaya dan pasukan Arya Wiraraja dibantu oleh pasukan dari negeri Cina bisa menumbangkan pemerintahan Jaya Katwang. Hingga akhirnya Majapahit berdiri. Setelah Majapahit berdiri beliau ditawarkan jabatan untuk menjadi kepala pendeta kerajaan Majapahit, akan tetapi beliau menolak karena pada waktu itu beliau mendapat wahyu dari leluhur beliau Ida Maharsi Markandeya untuk datang ke pulau Bali, melakukan suatu tugas suci membangkitkan tempat-tempat suci serta memperkuat pondasi keagamaan di Bali. Pada waktu keberangkatan beliau dari Jawa menuju Bali beliau banyak diiringi oleh para pengikut beliau, terutama disertai oleh beberapa para mpu pembuat keris yang memang sengaja diajak ikut oleh Ida Rsi Madura untuk membuatkan beliau keris-keris, baik untuk pribadi maupun untuk persenjataan disepanjangan perjalanan. Pada waktu itu belum ada klan atau soroh Pande di Bali. Para pembuat keris yang diajak oleh Ida Rsi Madura beserta para keturunannya inilah yang kelak akan dikenal sebagai klan atau soroh pande di Bali. Singkat cerita sampailah pada perjalanan beliau di daerah seputaran Danau Beratan, disini pertama beliau bermalam di daerah yang sekarang menjadi lokasi pura Penataran Beratan. Karena dinginnya kondisi alam membuat beliau dan para pengikutnya cukup sulit untuk bisa beradaptasi, kemudian beliau mencari tempat yang cocok untuk bersemedi serta untuk menyesuaikan diri dan beradaptasi dengan alam diseputaran Danau Beratan. Kemudian beliau berjalan ke arah selatan dan sampai dilokasi Pura Puncak Pengungangan. Disini beliau bertapa di atas sebuah batu bundar yang sampai sekarang masih ada di pura itu. Di sini beliau memuja kekuatan trimurti dengan mengucapkan japa mantra.. OM ANG UNG MANG OM..berulang kali, mendengar doa pemujaan Ida Rsi Madura yang begitu tulus dan murni maka salah satu Dewa Tri Murti yaitu Dewa Brahma berkenan turun di puncak bukit yang berhadapan dengan lokasi bertapa Ida Rsi Madura ini. Dari atas puncak bukit itu mengalir udara hangat sehingga Ida Rsi Madura dan para pengikut beliau bisa selamat dari bahaya cuaca ekstrim yang sangat dingin pada waktu itu. Lokasi tempat Ida Maharsi Madura bertapa memuja kekuatan Sanghyang Tri Murti itu sekarang dikenal dengan nama Pura Puncak Pengungangan. Dimana kata pengungangan itu berasal dari kata ANG UNG MANG. Puncak bukit dimana Dewa Brahma berkenan turun untuk memberkati doa Ida Rsi Madura, sekarang dikenal dengan nama Bukit Puun. Kenapa dinamakan Bukit Puun? karena khusus hanya di bukit ini, setiap beberapa tahun sekali pasti terjadi kebakaran di puncak bukitnya, sesuatu yang seharusnya sangat susah terjadi di daerah dengan cuaca dingin dan berkabut setiap hari seperti di daerah Bedugul. Akan tetapi menurut beliau hal itu terjadi untuk mengingatkan warga masyarakat di Bedugul bahwa puncak bukit itu dahulu pernah di pake Dewa Brahma untuk menurunkan kehangatan di daerah seputaran Danau Beratan sehingga manusia bisa bertempat tinggal dan hidup menetap ditempat itu. Dan anehnya, setiap kali terjadi kebakaran di puncak Bukit Puun maka apinya sangat susah untuk dipadamkan. Apinya baru bisa dipadamkan jika masyarakat mau berkaul dan melakukan pemujaan di batu bundar tempat bertapa Ida Rsi Madura, setelah itu pasti turun hujan lebat bisa sampai berhari-hari, barulah kebakaran di atas puncak bukit itu bisa padam. Selama bertapa di tempat yang sekarang dikenal dengan nama Pura Puncak Pengungangan, beliau juga membangun Pura Puncak Sari dan Pura Puncak Kayu Sugih, dimana pada tempat ini dipuja sakti dari istri-istri beliau. Setelah beliau dan para pengikut beliau mulai bisa beradaptasi dengan cuaca di seputaran Danau Beratan, barulah beliau memutuskan untuk menetap untuk beberapa waktu yang cukup lama diseputaran daerah itu. Mulailah kehidupan sosial masyarakat berkembang di daerah Bedugul. Sesuai dengan petunjuk Ida Sanghyang Jagatnata ( Ida Maharsi Markandeya). Beliau mulai menata daerah tersebut. Karena sudah mulai ada kehidupan sosial, maka mulailah diperlukan Pasar ( ekonomi ), Sekolah/Pesraman ( Tempat pendidikan dan pengobatan ), Tempat Pertapaan dll. Lokasi pasar jaman itu sekarang dikenal dengan Pura Candi Mas. Lokasi Pesraman Agung jaman itu tempat untuk mendidik manusia supaya siap untuk menghadapi hidup dunia nyata berada di lokasi Kebun Raya Bedugul. Lokasi pesraman agung Ida Rsi Madura di Kebun Raya Bedugul ini dibagi menjadi tiga, yaitu tempat tinggal para murid pesraman, tempat tinggal para guru yang dipimpin oleh Ida Maharsi Madura, dan tempat berlatih para murid. Lokasi tempat tinggal para murid pada jaman itu sekarang dikenal dengan nama Pura Batu Meringgit dan Lokasi tempat tinggal Ida Maharsi Madura dan para guru lainnya sekarang dikenal dengan Pura Puncak Terate Bang. Sedangkan areal tempat latihan dari pesraman agungnya adalah lokasi yang dikenal sekarang ini dengan nama Kebun Raya Bedugul. Untuk areal pemukiman penduduk pada jaman itu adalah dari areal Pura Candi Kuning sampai seputaran areal Pura Puncak Pengungangan. Setelah membangun tempat-tempat untuk perkembangan kehidupan dunia nyata. Kemudian Ida Maharsi Madura, mencari tempat untuk bertapa dalam rangka peningkatan kehidupan spiritual beliau dan para pengikut beliau. Berdasarkan petunjuk dari Ida Maharsi Markandeya yang telah lebih dahulu menapak tempat itu pada jaman sebelumnya, lokasi yang dipilih ada bagian utara dan timur dari danau beratan. Tempat bertapa beliau adalah di Puncak Gunung Beratan yang jaman sekarang dikenal dengan nama Puncak Mangu ( terkait dengan pendiri kerajaan mengwi pernah bertapa disana ) atau dikenal sekarang ini dengan nama lain Puncak Tinggan karena salah satu sisi gunung ini berada di desa tinggan. Selesai bertapa disini beliau akan turun untuk mengajarkan semua wahyu yang beliau dapatkan kepada para murid yang ingin meningkatkan kehidupan rohani menjadi seorang pendeta dan menuntut ilmu pengetahuan rohani yang jaman sekarang dikenal dengan Brahma Widya. Lokasi Pesraman tempat pembentukan para calon pendeta ini sekarang dikenal dengan Pura Puncak Resi, karena tempat ini merupakan tempat para rsi memohon tuntunan spiritual kepada beliau. Disebelah timur pura puncak rsi ini berstana sakti beliau dan pura ini bernama Pura Puncak Taman Sebatu yang merupakan pura ulun danu beratan yang sebenarnya. Inilah sekilas informasi tentang perjalanan Ida Maharsi Madura diseputaran Danau Beratan. Mudah-mudahan informasi ini bisa berguna untuk para semeton sareng sami terutama para semeton yang masih mau meluangkan waktu untuk menapak tilas perjalanan Ida Maharsi Madura sebagai leluhur orang Bhujangga. Sumber : Guru Made Dwijendra Sulastra – Denpasar.

Jejak Perjalanan Maharsi Madhura (abad 12 - 13 M)

Perjalanan Ida Rsi Madura ( abad 12 M - 13 M ) Ida Rsi Madura merupakan seorang rsi maha sakti yang berasal dari Madura, tepatnya ida berasal dari suatu daerah di Madura yang seluruh tanah disekitarnya berwarna merah yang sekarang dikenal dengan daerah Tanah Merah. Lokasi griya beliau disana berupa rumah panggung yang berada di suatu tanah lapang luas yang dekat dengan sumber air seperti danau kecil yang sampai sekarang keberadaannya tetap dikeramatkan dan disucikan di sana. Ida Rsi Madura merupakan guru suci dan guru silat dari Arya Wiraraja, semua ide diBalik kebangkitan Majapahit, termasuk kenapa Arya Wiraraja dari tanah Madura mau membantu Raden Wijaya berasal dari beliau. Akan tetapi keberadaan beliau sebagai pendeta alam yang lebih senang dekat dengan alam terutama alam laut dibandingkan duniawi menyebabkan jarang orang yang mengenal beliau. Dan mungkin tidak ada yang menyangka bahwa beliau adalah aktor utama diBalik kebangkitan Majapahit. Setelah majapahit berdiri beliau ditawarkan kedudukan sebagai pendeta utama penasihat raja, akan tetapi beliau memilih merantau ke tanah Bali untuk menapak tilas dan melanjutkan perjalanan leluhur beliau Ida Rsi Markhandeya untuk menata pulau Bali. Dalam perjalanan beliau dari Jawa menuju Bali, beliau singgah di beberapa tempat seperti kediri ( Pura Agung Sekartaji ), dan yang paling lama beliau singgah adalah Alas Purwo. Tempat pertapaan beliau jaman itu, sekarang ini dikenal dengan nama Pura Situs Kawitan di Alas Purwo yang letaknya didekat Pura Giri Slaka. Disini beliau bertapa tahunan untuk menemukan petunjuk tentang pulau Bali umumnya dan untuk menemukan jejak perjalanan leluhur beliau ida maharsi Markhandeya di tanah Bali khususnya. Selama pertapaan di alas purwo ini beliau didatangi oleh seekor babi hutan besar yang merupakan raja hutan alas purwo yang bernama celeng cemalung. Celeng cemalung meminta ida rsi Madura untuk menata sisi spiritual alas purwo. Oleh karena itu, ida rsi Madura selama pertapaan beliau di alas purwo ini banyak sekali melakukan penataan-penataan tempat spiritual di alas purwo. tempat-tempat yang beliau tapak dan beliau tata inilah yang zaman berikutnya dipakai tempat bertapa oleh Gajah Mada sampai ke jaman Soekarno. Setelah beliau mendapatkan petunjuk tentang tanah Bali. Beliau kemudian melanjutkan perjalanan ke tanah Bali. Singkat cerita ditanah Bali, beliau lama berdiam diri didaerah seputaran danau Tamblingan bahkan beliau memperistri putri dari Ida Dalem Tamblingan ( penguasa daerah seputaran Bali Utara pada jaman itu). Selama beliau bertapa didaerah seputaran Bedugul, beliau membuat sebuah padepokan silat yang sangat besar yang terletak di areal kebun raya bedugul. Di tempat ini beliau banyak mengangkat murid yang berasal dari berbagai etnis yaitu, Bali, cina, dan Jawa. Selama berdiam diri disini beliau banyak mendirikan pura-pura yang pada jaman sekarang telah ditemukan sumber bukti tertulis ( purana/prasasti ) bahwa Beliaulah pendiri pura-pura tersebut. Pura-pura tersebut antara lain : Pura Dalem Tamblingan, Pura Puncak Rsi ( bukit sangkur ), Pura Penataran Beratan, Pura Puncak Pengungangan, Pura Terate Bang, Pura Baru Meringgit dll. Setelah lama berdiam diri disini beliau kemudian melanjutkan perjalanan untuk menelusuri jejak perjalanan leluhur beliau Ida Rsi Markhandeya di tanah Bali. selama perjalanan menelusuri jejak leluhur bhujangga di Bali inilah beliau banyak mendirikan Pura Dalem Pauman Bhujangga ditempat berkumpulnya keluarga bhujangga di daerah-daerah tertentu di Bali. Pada saat menelusuri jejak perjalanan leluhur inilah beliau mendapatkan petunjuk tentang tempat moksanya Ida Rsi Markhandeya yaitu di Gunung Bhujangga Bali. kemudian beliau pergi kesana untuk memohon restu hendak melanjutkan tugas leluhur bhujangga di Bali sebagai penjaga dan pendoa keseimbangan pulau Bali beserta segala isinya. Setelah sungkem di tempat moksa Ida Rsi Markhandeya di puncak sepang bujak (gunung bhujangga) kemudian Ida Rsi Madura turun hendak melanjutkan perjalanan. Sebelum melanjutkan perjalanan beliau membuat pura di sekitar tempat itu untuk sebagai tempat pengayatan ke Puncak Sepang Bujak ( tempat moksa Ida Rsi Markhandeya yang sangat dikeramatkan, sehingga disana tidak boleh dibangun bangunan apapun juga). Pura pengayatan ini yang jaman sekarang ini dikenal dengan Pura Asah Danu. Singkat cerita setelah memohon restu kepada Ida Maharsi Markhandeya beliau kemudian melanjutkan perjalanan mengelilingi Bali. Perjalanan beliau mengelilingi Bali terutama sekali dilalui dengan mengelilingi pantai-pantai di Bali. Di sepanjang pantai-pantai ini beliau bertapa dan membangun pura-pura. Pura-pura inilah yang pada jaman sekarang ini dikenal dibangun oleh Ida Peranda Sakti Wawu Rauh. Setelah selesai mengelilingi pantai Bali ternyata beliau belum menemukan kekuatan dalem segara yang sebenarnya. Dari hasil tapa beliau ternyata beliau menemukan kekuatan dalem segara gni di Bali berpusat di lautan seputaran kepulauan Nusa Penida. Oleh karena itu beliau kemudian melanjutkan perjalanan ke Nusa Penida. Pada tahun-tahun terakhir usia beliau di dunia ini, beliau memilih kepulauan Nusa Penida sebagai tempat bertapa dan tempat untuk kembali ke sang pencipta. Pada awalnya beliau memilih tempat untuk moksa atau kembali ke sang pencipta di Puncak Tunjuk Pusuh, Nusa Penida. Akan tetapi setelah beliau bertapa sekian lama akhirnya beliau mendapat jawaban bukan di sana tempat yang cocok. Akhirnya beliau berjalan ke selatan dan akhirnya menemukan suatu batu berbentuk lingga di tengah laut dengan diameter 3 meter dan tinggi sekitar 33 meter, dimana batu ini sampai sekarang masih berada disana. Sesampainya ditempat ini beliau kemudian bertapa, dan hasil tapanya beliau mendapat petunjuk untuk membuat rakit dan mengayuh rakit ke tengah laut dimana ditengah laut di atas rakit inilah akhirnya beliau moksa dan diberi gelar Ida Rsi Dalem Segara (Ida Betara Lingsir Dalem Segara), berketu hijau berselempang hijau. Dilokasi tebing dekat dengan batu lingga itu sekarang berdiri Pura Sekartaji yang diempon oleh seluruh warga bhujangga yang berdomisili di dusun Sekar Taji, Nusa Penida. Sumber : Guru Made Dwijendra Sulastra.